Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi remaja. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi ruang di mana remaja Indonesia tidak hanya berinteraksi dengan teman sebaya, tetapi juga mengekspos diri mereka terhadap berbagai konten yang terkadang memiliki dampak negatif.
Salah satu efek psikologis yang cukup mengkhawatirkan dari penggunaan media sosial yang berlebihan adalah peningkatan negativity bias atau kecenderungan untuk lebih fokus dan mengingat hal-hal negatif dibandingkan hal-hal positif.
Negativity Bias dan Dampaknya
Negativity bias adalah fenomena psikologis yang mengacu pada kecenderungan manusia untuk lebih memperhatikan, merespons, dan mengingat pengalaman atau informasi negatif dibandingkan dengan yang positif.
Ini adalah respons evolusioner yang mungkin pada awalnya berfungsi untuk membantu manusia bertahan hidup dengan mengidentifikasi dan menghindari bahaya.
Namun, dalam konteks modern, terutama di kalangan remaja yang aktif di media sosial, bias ini bisa menjadi bumerang yang memperburuk kesejahteraan psikologis mereka.
Menurut studi yang dilakukan oleh Purboningsih et al. (2023), meskipun media sosial memberikan manfaat emosional, sosial, dan praktis bagi remaja Indonesia, ada risiko besar yang perlu diwaspadai. Remaja cenderung terpapar pada konten negatif yang dapat memperkuat bias negatif mereka.
Konten semacam ini dapat mempengaruhi cara mereka melihat diri sendiri dan dunia di sekitar mereka, seringkali mengarah pada peningkatan kecemasan, depresi, dan perilaku negatif lainnya.
Media Sosial: Pedang Bermata Dua
Salah satu masalah utama dari penggunaan media sosial adalah bagaimana platform ini dirancang untuk menarik perhatian pengguna selama mungkin, seringkali dengan menampilkan konten yang bersifat provokatif atau emosional.
University of Manchester (2019) menyoroti bahwa eksposur berlebihan terhadap konten negatif di media sosial dapat memperburuk kondisi psikologis, terutama bagi remaja yang sudah rentan terhadap pengaruh eksternal.
Algoritma media sosial sering kali memprioritaskan konten yang memicu reaksi emosional kuat — baik itu kemarahan, ketakutan, atau kesedihan — karena konten semacam ini lebih mungkin untuk di-share dan dikomentari.
Namun, ini bukan berarti media sosial sepenuhnya buruk. Media sosial juga dapat digunakan sebagai alat untuk edukasi, membangun komunitas positif, dan memberikan dukungan sosial.
Sayangnya, risiko negatif yang ditimbulkan sering kali lebih menonjol, terutama di kalangan remaja yang sedang dalam fase pencarian jati diri dan sangat dipengaruhi oleh opini orang lain.
-
Pemahaman mengenai pengaruh media sosial terhadap negativity bias di kalangan remaja sangat penting karena remaja adalah kelompok usia yang sangat mudah dipengaruhi.
Masa remaja adalah periode kritis dalam perkembangan psikologis, di mana mereka membentuk identitas dan pandangan hidup mereka.
Jika bias negatif ini terus-menerus diperkuat oleh paparan konten negatif di media sosial, maka hal ini dapat berdampak jangka panjang pada kesehatan mental mereka.
Studi dari Jakarta Globe (2023) menunjukkan bahwa konten negatif di media sosial tidak hanya mempengaruhi persepsi pribadi remaja tetapi juga perilaku sosial mereka, termasuk peningkatan intoleransi dan perilaku agresif.
Ini menjadi alarm bagi orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan untuk lebih memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh remaja di dunia maya.
—
Di sinilah kita harus berhenti sejenak dan merenung: Mengapa kita membiarkan algoritma, yang didesain untuk memaksimalkan profit, mendikte apa yang dilihat dan diingat oleh generasi muda kita?
Mungkin, dalam obsesi kita terhadap konektivitas dan akses tanpa batas, kita lupa bahwa tidak semua informasi diciptakan sama.
Sementara kita sibuk mengumpulkan “likes” dan “followers”, kita mungkin secara tidak sadar sedang menanamkan benih-benih ketakutan, kecemasan, dan kebencian dalam diri anak-anak kita.
Ironisnya, dalam dunia yang seharusnya lebih “connected” dari sebelumnya, kita justru mungkin sedang membangun tembok yang semakin tinggi antara realitas dan persepsi, antara fakta dan opini, antara diri kita yang sebenarnya dan citra yang kita ciptakan secara online.
-
Menghadapi fenomena ini, penting bagi kita untuk tidak hanya membekali remaja dengan keterampilan literasi digital, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan online yang lebih sehat.
Ini bisa dimulai dari kebijakan yang lebih ketat terhadap penyebaran konten negatif, serta edukasi yang lebih baik tentang dampak psikologis dari konsumsi media sosial.
Karena pada akhirnya, jika kita tidak hati-hati, kita mungkin sedang menciptakan generasi yang lebih peduli pada hal-hal negatif yang disuguhkan oleh layar kaca, daripada keindahan dan kebaikan yang ada di dunia nyata.
Artikel ini telah tayang sebelumnya di situs berikut:
https://www.aietama.my.id/2024/08/bahaya-negativity-bias-pada-remaja.html
Referensi:
- Purboningsih, E. R., Massar, K., Hinduan, Z. R., Agustiani, H., Ruiter, R. A. C., & Verduyn, P. (2023). Perception and use of social media by Indonesian adolescents and parents: A qualitative study. PubMed. https : // pubmed . ncbi. nlm. nih. gov/ 36687903
- University of Manchester. (2019, June 17). Social media use contributing to poor mental health in Indonesia. ScienceDaily. https://www. sciencedaily. com/releases/ 2019/06/ 190617104140. htm
- Jakarta Globe. (2023). Negative social media content breeds intolerance among Indonesian youth. https: //jakartaglobe.i d/ news/ negative-social-media-content-breeds-intolerance-among-indonesian-youth
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H