Tren dumb phone yang kini merebak di kalangan Gen Z di Eropa dan Amerika Serikat [2][6] memunculkan pertanyaan menarik:
Apakah fenomena ini bisa menjadi solusi efektif untuk mengatasi kecanduan media sosial dan internet di kalangan remaja Indonesia?
Jawaban singkatnya: Mungkin, tapi tidak semudah itu.
Bayangkan seorang remaja Indonesia yang tiba-tiba harus melepaskan smartphone-nya dan beralih ke ponsel jadul. Seperti melepaskan motor matic dan kembali ke era sepeda onthel.
Meskipun terdengar ekstrem, tapi inilah esensi dari tren dumb phone yang kini menjadi semacam detoks digital bagi generasi muda di negara maju [1][6].
Di satu sisi, penggunaan dumb phone memang menunjukkan dampak positif yang signifikan.
Pengguna melaporkan penurunan waktu layar dari 4-5 jam menjadi hanya 20 menit per hari [2]. Ini bukan sekadar angka, tapi representasi dari waktu yang bisa dialokasikan untuk interaksi nyata, hobi, atau bahkan tidur yang cukup - hal-hal yang sering terabaikan di era smartphone.
Namun, konteks Indonesia berbeda. Di negeri ini, smartphone bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga gerbang pendidikan dan mobilitas sosial.
Dengan keterbatasan akses internet di banyak daerah, smartphone menjadi penyelamat bagi banyak remaja untuk mengakses materi pembelajaran dan kesempatan yang lebih luas [5].
Roslina Verauli M.Psi, Psi, seorang psikolog klinis anak, remaja, dan keluarga, dalam sebuah wawancara mengatakan, "Instruksi untuk menghindari gadget di era seperti sekarang ini justru membuat anak penasaran dan malah ingin mencobanya."
Ia menambahkan, "Orangtua harus memahami bahwa gadget sudah menjadi bagian dari kehidupan anak-anak saat ini. Yang penting adalah bagaimana kita mengatur penggunaannya.” [8].
Pendapat ini sejalan dengan temuan bahwa pendekatan yang lebih komprehensif, melibatkan edukasi dan dukungan psikologis, mungkin lebih sesuai untuk konteks Indonesia [3].
Daripada memaksa remaja kembali ke era dumb phone, mungkin lebih bijak untuk mengajarkan mereka menggunakan fitur digital wellbeing yang sudah tersedia di smartphone modern [6].
Ironinya, sementara remaja di negara maju berlomba-lomba kembali ke ponsel jadul, masih banyak remaja Indonesia yang berjuang untuk memiliki akses ke teknologi memadai. Ini menunjukkan bahwa solusi untuk masalah kecanduan teknologi tidak bisa dipukul rata.
Jadi, seberapa efektifkah dumb phone untuk remaja Indonesia?
Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah:
Bagaimana kita bisa menciptakan keseimbangan antara manfaat teknologi dan kesehatan mental remaja kita?
Daripada menjadikan ponsel sederhana sebagai kecenderungan baru, kita perlu lebih memusatkan perhatian pada ‘penggunaan cerdas'. Pendidikan tentang penggunaan teknologi yang bijak, digabungkan dengan kebijakan yang mendukung kesehatan jiwa remaja, adalah jalan tengah yang lebih masuk akal untuk situasi di Indonesia.
Pada akhirnya, seperti kata pepatah, bukan pisaunya yang salah, tapi cara menggunakannya. Begitu pula dengan smartphone.
Mungkin yang kita butuhkan bukanlah ponsel yang lebih bodoh, tapi generasi yang lebih cerdas dalam menggunakan teknologi.
-
Referensi:
[1] https://www.rri.co.id/cirebon/iptek/887465/viral-tren-dumb-phone-dikalangan-gen-z
[3] https://www.rri.co.id/cirebon/iptek/887465/viral-tren-dumb-phone-di-kalangan-gen-z
[4] https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/5988/12/Ratna Julita Simhate. RH.pdf
[7] https://ojs.fkip.ummetro.ac.id/index.php/bk/article/download/8252/pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H