Mohon tunggu...
Aida Nursidah
Aida Nursidah Mohon Tunggu... -

Tahu kau kenapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin. Akan abadi, abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Perjalanan Menambatkan Hati (Menyusuri Kehidupan Muslim di Ranah Korea)

27 Januari 2012   08:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:24 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan kali pertama aku pergi berdua dengan si kecil. Namun saat itu cuaca sungguh terik. Segala perbekalan aku siapkan, botol air minum, makanan ringan, baju ganti, mainan, Alquran semua aku masukkan ke dalam ransel. Ransel aku taruh di punggungku, kemudian bagian depan aku isi untuk menggendong anakku. Tak hanya itu, tangan kananku sibuk mengibas-ngibas kipas yang selalu kubawa di saat musim panas tak bersahabat. Serta tangan kiri yg aku pakai untuk keperluan membawa kartu transport.

Sampailah aku di sebuah halte. Tak sabar kulihat video layar yang menunjukkan bahwa bus akan datang 10 menit lagi. Tampak orang-orang antri dengan rapi. Menunggu bus yang datang menjemput kami. Aku pun patuh dengan rutinitas itu.

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya serta merta menghampiriku. Tatapan herannya menunjukkan kecemasan teramat dalam kepadaku. Dia lihat sisi tubuhku yang terbalut rapi dari atas hingga bawah.

“Aighoo aighoo, Nak apa kamu tidak kepanasan dengan baju seperti itu?”

“Tidak apa-apa Ibu,” jawabku tersenyum. Padahal begitu banyak yang ingin kujelaskan. Bahwa aku seorang muslim. Ini kewajibanku. Namun apa daya akan keterbatasan bahasaku.

“ Kasihan sekali anakmu, tampak kepanasan. Apa yang kau bawa? Sepertinya berat sekali,” sembari memegang ranselku dan sedikit melirik isinya.

Aku sudah terbiasa dengan pembicaraan itu. Sudah menjadi hal yang umum ibu-ibu Korea memang terlampau perhatian. Dibarengi dengan suara yang sedikit meninggi. Kadang kupikir dia marah. Namun belakangan aku paham itu hal yang biasa.

Bus yang aku tunggu akhirnya datang juga. Meskipun sedikit berdesakan, tak mengurangi semangatku untuk menaikinya. Suasana bus cukup padat dan ramai. Namun sudah menjadi aturan bagi warga Korea untuk mendahulukan ibu yang menggendong anak, ibu hamil dan orang tua. Seorang ibu muda mempersilakan tempat duduknya untukku. Alhamdulillah, angin segar menerpaku. Membawaku ke lamunan panjang saat itu.

***

Belum genap dua bulan aku tinggal di Korea.  Aku berkesempatan berkunjung ke Seoul. Dalam sebuah acara Muslimah Gathering Pertama bersama seluruh muslimah I

ndonesia di Korea. Dua sahabatku yang tinggal jauh di ujung selatan Korea mengajakku untuk pergi bersama. Mereka adalah Liyu dan Dita. Aku bertemu mereka dalam pengajian cyber yang baru dua kali aku ikuti.

Aku tinggal di Gyeongsan. Sebuah kota kecil di pinggiran kota besar Daegu Korea. Rasanya seperti punya saudara jauh saja. Demi aku yang masih buta Korea. Liyu yang tinggal di Busan, rela naik bus dulu mengunjungi Dita yang berada di Masan. Demi sebuah kereta yang akan membawa mereka ke tempatku. Kemudian perjalanan kami lanjutkan lima jam lamanya ke kota Seoul.

Pagi-pagi sekali aku diantar suami pergi ke stasiun. Menunggu dua wanita berjilbab yang akan memanggilku di jendela kereta. Hujan sedari pagi turun tiada henti. Sampai seseorang memanggil namaku di kaca jendela. Dengan lesung pipit yang khas. Itulah pertama kali aku menatap wajahnya. Yah, itu pasti Dita saudaraku. Kemudian satu orang lagi sudah menungguku di pintu kereta.

Kami berangkat dengan kereta Mugunghwa jalur Masan-Seoul. Pemandangan sekitar kereta mengingatkanku kepada kereta Parahyangan jalur Jakarta-Bandung. Namun tentunya sedikit lebih bersih dan rapi. Kami pun bercengkerama, seperti saudara yang lama sekali tak bertemu. Padahal itu kali pertama aku bertemu dengan mereka.

Di perjalanan, sudah menjadi lazim kami membawa bekal. Kereta menyediakan kantin yang diberi ruang khusus tersendiri. Tapi tentunya bagi kami seorang muslim sulit sekali mencari makanan yang halal di sana. Sebagai tanda terimakasihku kepada mereka. Aku berjanji menyiapkan makanan untuk bekal di perjalanan.

Sejak saat itu setiap kali bepergian aku selalu menyiapkan bekal di jalan. Aku sendiri bersyukur akan hal ini. Selain bentuk ketaatan kita kepada Illahi, kreativitas dalam membuat bekal pun bertambah. Semua harus disyukuri.

Sampailah kami di kota Seoul. Gemilang ibu kota Korea rasanya itu hal yang wajar bagiku. Sama sekali tidak menyentuh hati. Namun ada satu tempat yang aku rindu di sini. Masjid, ya tentu saja Rumah Allah yang aku rindukan. Tentu saja masjid adalah pemandangan yang kentara di antara gemilang kemewahan dunia di kota ini. Tak sabar rasanya berkunjung ke Rumah Allah dalam gersangnya kehidupan kami di negeri ini. Rindu lantunan azan atau sekadar membiarkan diri bertafakur di dalamnya.

Belum lama kami berjalan kami melihat saudara muslimah yang lain. Seorang ibu berjilbab lebar menggendong anak kecil berjilbab lucu. Di samping mereka ada seorang anak laki-laki  memegang payung yang nyaris terbawa angin. Sebentar-sebentar mereka berhenti. Sang Ibu membetulkan payung anaknya. Kami pun bergegas menghampiri.

“Mbak..” ujar kami serentak.

“Eh dari Indonesia yah?” tanya beliau dengan sapaan ramahnya.

Dari suaranya kami familiar dengan beliau. Yah, beliau Mbak Wanti yang selama ini menjadi Ketua Kemuslimahan kami. Senang sekali rasanya bisa bertemu dengan beliau. Selama ini aku hanya bisa mendengar suaranya di pengajian cyber yang aku ikuti.

Sampailah kami di tempat yang dituju.Masjid Itaewon Seoul. Sebuah masjid kebesaran warga muslim Korea. Bangunan khas dari masjid ini adalah kalimat “Allahu Akbar” yang disimpan di atas bangunan masjid. Jika malam tiba kalimat itu tampak menyala indah ke sanubari.

Beberapa warga muslim hilir mudik beraktivitas di sekitaran bangunan masjid. Ada yang memang menyengaja untuk shalat, ataupun kegiatan dia memang di masjid itu. Saat aku berada di sana pikiranku melayang bahwa ini bukan di Korea. Pemandangan orangnya sungguh berbeda. Jauh sekali dengan keseharian yang aku temui.

Sampailah kami ke rumah saudara kami yang kebetulan berdekatan dengan Masjid Seoul. Aneka hidangan tanah air juga kawan-kawan dari ujung selatan hingga ujung utara Korea berkumpul di sana. Bercengkerama bersama seperti layaknya saudara jauh yang jarang sekali bertemu. Masing-masing kita melepas lelah dari kesibukan yang melenakan. Kondisi lingkungan yang gersang dari sentuhan ruhani.

Kami pun tidur bersama dalam satu barak. Tidak ada perbedaan dari kami. Tidak ada yang teristimewakan. Bahkan sang pemilik rumah pun urung untuk tidur di atas ranjang. Lelap tidur kami dalam gelapnya malam dan naungan Illahi.

***

Tersentak aku dalam lamunan panjangku. Ternyata sudah tiba di Stasiun Sawol. Saatnya aku turun. Melanjutkan perjalanan dengan kereta Subway. Sistem digitalisasi di Korea tentunya sangat membantu ibu-ibu muda seperti aku. Tak perlu repot mencari uang kecil saat naik bus. Aku pun mengikuti arah kebanyakan orang untuk sedikit berlari mengejar kereta subway.

Begitulah kehidupan, berpacu dengan waktu. Terlambat sedikit, selain terkena bayar di kartu transport. Sudah barang tentu waktu terbuang untuk menunggu kereta berikutnya. Itulah yang sedikit aku banggakan di negeri ini. Keteraturan, kedisiplinan dan taat hukum.

Perjalanan segera saja membosankan. Aku harus menempuh sekian banyak stasiun untuk sampai di tempat tujuan. Kulihat di sekelilingku orang-orang terlelap dalam tidur dan lamunan. Beberapa ada yang asyik bermain i-phone. Beberapa di antara mereka menatap senyum anakku. Mereka bilang mata anakku bulat seperti bulan purnama. Aku sendiri hanya bisa tersenyum dibuatnya. Tiba-tiba perasaan merindu menyertaiku. Rindu dalam sebuah kehangatan dan suasana syahdu yang menggelora.

***

Suara azan tiba-tiba membangunkan aku saat itu. Belum genap usia kehamilan aku tujuh bulan. Punggung yang sedikit pegal selepas tidur aku abaikan begitu saja. Aku rindu suara azan. Tersentak aku sadar. Ini bukan di Indonesia. Namun ini Busan di ujung selatan Korea. Yah, aku sedang berada di Masjid Al-Fatah Busan. Lantunan selawat selepas azan tentu saja membawa kesyahduan tersendiri saat itu. Seperti di kampung halaman saja, ujarku. Aku pun bergegas mengemas jilbab untuk mengambil airwudhu. Setiap kali aku berwudhu di masjid, ada yang aku rindu. Keran air yang mengalir di bagian-bagian tubuhku. Tentu saja hal ini kejadian langka yang aku temui di sini. Bahkan di apate saja aku harus merelakan berwudhu dengan shower kamar mandi. Terlebih dalam perjalanan. Terkadang tak sampai aku membuka kaos kaki. Atau dengan melirik kanan kiri untuk dapat menaikkan kaki ke atas washtafel.

Lantunan nyaring Iman Yasir mengiringiku dalam kesyahduan subuh saat itu. Air mata mengalir begitu saja. Baru kali ini melihat orang Korea begitu fasih membacakan lantunan ayat suci Alquran. Imam Yasir adalah seorang warga Korea yang sekian lama menjadi Imam Masjid ini. Meskipun beliau warga asli Korea, namun keseharian beliau lebih sering berinteraksi dengan warga Indonesia.

Pengurus Masjid Busan hampir keseluruhan adalah warga Indonesia. Itulah salah satu keistimewaan Masjid Busan dari masjid-masjid yang lain. Suasananya betul-betul mengingatkan tanah air. Orang-orang yang bersarung hilir mudik di masjid ini dan semarak selawatan selalu menghiasi masjid ini.

13276520121583613314
13276520121583613314

***

Sampailah aku di Stasiun Songseo Industrial Complex. Dari namanya sudah bisa dipastikan bahwa daerah ini adalah kawasan Industri kota Daegu. Daerah ini sungguh banyak ditinggali oleh warga Indonesia yang mengadu nasib di negeri asing.

Aku masih harus berjalan lurus sekitar 500 meter untuk  menuju Musala Al-Amin. Yah itu tujuanku. Tempat aku menambatkan hati dalam lelah berkepanjangan kehidupan ini. Lelah jika diri tak segera merapat pada Ilahi. Inilah salah satu saranaku agar hati tidak lelah menapaki keasingan dalam diri. Meskipun sulit, jauh, penat dan berat namun ada jutaan asa yang aku rindu di sana.

Bangunan lima lantai sudah berada di depanku. Jika kita menengadah di depan bangunan itu. Akan tampak tulisan “Musala Al-Amin” dengan begitu jelas. Berikut tulisan-tulisan Indonesia lainnya. Inilah kekhasan bangunan ini. Begitu banyak tulisan Indonesia di sana. Barangkali hal ini akan sedikit berbeda dengan bangunan yang lainnya.

Bangunan ini sangat beragam. Jauh di paling bawah gedung ini terdapat sebuah Warung Indonesia. Di sana terkadang terdapat para muda mudi yang berkumpul untuk makan atau ngobrol-ngobrol santai. Siapakah mereka? Yah, tentunya orang Indonesia. Namun, saat kita naik ke lantai empat. Suasana tiba-tiba menjadi lain.

Lantunan tilawah dari pengeras suara musala membawa  khazanah tersendiri. Melupakan orang-orang yang bernasib kurang beruntung yang sepanjang jalan kutemui. Tampak di kejauhan Pak Kim sedang membersihkan lantai mushala bagian luar. Yah, seorang bapak paruh baya yang sekian lama mengadu nasib di Korea. Lucunya kawan-kawan memanggil ia dengan sebutan kesayangan Mr. Kim. Kebetulan nama asli beliau adalah Mustakim. Ada yang istimewa dari sosoknya. Meskipun berpenghasilan dua juta won setiap bulan. Namun ia  tetap sederhana dan bersahaja.

Serta merta aku begegas merapikan sepatu yang berjajar di pintu musala itu. Kudengar sayup-sayup suara mba-mba yang sedang bercengkerama. Aku masuk ke ruang wanita musala.

“Assalamu`alaikum” ujarku bahagia.

“Wa `alaikumsalam…” jawab mereka serentak.

Disertai senyuman dan dekapan hangat yang sekian lama ku rindukan. Bergantian aku dekap mereka satu-satu. Ada yang sibuk membantuku membuka gendongan. Salah seorang dari mereka mengambil anakku. Ada juga yang membantu melepas ranselku. Juga ada yang sibuk menanyakan kabarku selama ini.

Cukup hanya itu terkadang bisa membuatku tersenyum kembali. Dalam penatnya kehidupan ini. Sebuah kehangatan dalam lingkaran ukhuwah. Masing-masing kita sama sebagai hamba Allah, tiada yang merasa diistimewakan. Seraya kita berkumpul berharap para Malaikat menaungi kita. Dalam kesyahduan kebersamaan karena Allah semata. Itu semua hanya aku dapat di sini. Sebuah perjalanan menambatkan hati. Di Rumah Allah nan suci.

Selalu saja ada kerinduan untuk berkunjung ke Rumah Allah di negeri ini. Hingga suatu hari, aku pun bercita-cita bersama suami. Jika kelak kami punya umur dan rezeki, boleh kiranya kutemui, semua masjid di ranah ini. Masjid Gwangju. Changwon, Daejon, Jeonju, mudah-mudahan tak satu pun terlewati. Sebagai bukti kecintaaan kami kepada Illahi.

-Jabat erat teruntuk  semua saudariku di Korea-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun