Lumbung mendadak diam. Kerut-kerut di keningnya mulai tampak. Lumbung sedang dalam proses berpikir hebat. Aven yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecil. Aroma kemenangan dan kepuasan mulai tercium dari wajahnya. Aven tahu betul keadaan itu. Aven tahu betul jika sahabatnya sedang terjebak dalam logika yang seharusnya tidak perlu dinego.Â
Satu hal itu yang selalu menjadi titik perhatian Aven terhadap sahabatnya. Lumbung kerap terpenjara dalam logika yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan. Menurutnya, hal itu juga yang menyebabkan Lumbung terkesan kaku dan praktis dalam berpikir. Tapi bagaimanapun itu, ruang kesadaran Aven lebih luas dari penjara yang memasung pikiran Lumbung. Aven lebih butuh Lumbung yang seperti itu. Lumbung yang selalu menentang dan bertanya tentang semua sesuatu kepada Aven.
Tuh, kan. Butuh Lumbung yang kaku. Kolot. Patuh pada aturan. Tidak toleran dalam aturan Tuhan. Sekarang gini saja, Ven? Pilih aku yang seksi sekali ini, atau Lumbung yang pola pikirnya mirip buldoser? Ah. Mir. Kita semua sama. Kita bukan pilihan. Aku sayang kamu. Sebagai manusia pemabuk. Bukan manusia seksi. Nggak bikin gairah. Â
"Agama itu tidak perlu jadi materi perdebatan, Mbung! Itu poinnya."
"Kamu benar juga."
"Setiap agama punya standar kebenaran masing-masing. Berdiskusi tentang siapa yang benar, ibarat memasukkan tubuh onta ke dalam kecilnya lubang jarum. Itu ajaran agamamu, kan?"
"Itu memang ayat Tuhan. Kamu tahu itu?"
"Untuk sekadar tahu itu, aku tidak butuh agama. Bukankah Tuhan pula yang menyuruh kita untuk membaca dengan nama-Nya?"
"Memang seperti itu. Benar apa yang kamu bilang. Ternyata dari tadi kita sedang berusaha memasukkan tubuh onta ke dalam kecilnya lubang jarum!"
"Lalu?"
"Yaah!? Sebagai temanmu, aku berharap yang terbaik buat kamu. Perihal kamu punya agama atau tidak, itu tak penting bagiku. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Selesai!"