Aven mencoba melukisnya melalui garis-garis di wajah Lalang. Lalang teduh. Cemara -mungkin- tidak jauh beda. Lalang misterius. Juga Cemara. Ia terus mengkalimatkan keduanya. Perempuan itu diam. Menerawang jauh. Tidak mungkin mencuri dengar kalimat-kalimat Aven di hatinya.
Aven bermain peran. Ia mencoba membuat deskripsi. Fatamorgana. Tapi ia nyata, katanya meyakinkan. Lalang dan Cemara itu menggenapi. Saling menyumbang energi. Saling menyerap napas kehidupan. Sehingga Lalang adalah Cemara dan Cemara adalah Lalang. Mereka tidak berbeda. Mereka berdua adalah sama. Darah mereka sama dan detak jantungnya juga sama. Cemara mati maka Lalang akan menyusul. Jadi, rumah kaca itu adalah takdir yang ia buat sendiri. Ia Yakini sendiri. Sebagai sebuah jalan panjang yang harus ditempuh. Dicari ujungnya. Jika bisa, sekalian dengan pintunya. Tapi, ah. Aku tidak punya hak. Itu haknya, hak mereka.Â
Aven kembali dari dimensi itu. Suara lembut Lalang memanggilnya dengan cepat.
"Ia pernah bercerita tentang rumah kaca. Semua dindingnya berupa kaca. Ada ia di mana-mana. Ia cemas. Dirinya tidak pernah satu. Ia putus asa!" Lalang kembali berkisah.
"Lalu?"Â
"Dalam kemarahan yang luar biasa. kaca-kaca itu ia pecahkan. Habis tak tersisa. Harapannya hanya satu: "ia bisa utuh". Ketika serpihan kaca itu berhamburan, dirinya menjadi semakin banyak. Dalam serpihan-serpihan itu selalu ada ia. Ia dikepung ketakutan yang tidak pernah ia ketahui."
"Mengapa ia takut?"
"Aku dan Bunda juga sering bertanya. Tapi ia memilih untuk bungkam. Ia kerap membanting tubuhnya ke hamparan kehidupan yang samar. Absurd. Ia selalu menangis. Cemara selalu bertanya: Kenapa ia selalu ada dalam kaca? Tapi pertanyaan itu tidak pernah ada jawabannya. Ia masih tetap dalam rumah kaca. Ia selalu ketakutkan." Kalimat Lalang terdengar sangat berat. Ada bulir-bulir air mata yang menetes dari bola matanya lagi. Sebagian besar wajahnya telah basah.
"Apa yang sering ia risaukan lagi?"
"Waktu yang lebih cepat datang."