Â
   Sejak pertemuan di kafe Tungku, mereka rajin membuat jadwal untuk ngopi bersama. Puncaknya, setelah satu semester terlewat, Lumbung memutuskan untuk berpindah kos. Tiga serangkai itu akhirnya hidup satu atap. Mereka bertiga menikah. Dengan cinta yang menjelma biji kopi. Kata Kun, akan ada banyak kopi dan kepulan asapnya yang tersaji menyambut pagi. Gelak tawa memenuhi langit-langit kamar mereka. Indah. Penuh harapan. Menyala. Mereka memutuskan sebagai pemenang. Tidak hari itu. Tapi untuk selamanya.Â
   Ia adalah Lumbung Padi. Benar, ini bukan lelucon, namanya memang Lumbung Padi. Kelas menjadi gaduh saat namanya dipanggil untuk kali pertama. Kata mereka, nama itu tidak sekadar unik tapi juga menjanjikan banyak keajaiban. Bahkan mereka menyebut jika nama itu turun langsung dari langit. Lumbung menggelegar di mana-mana. Lumbung mendadak punya banyak karomah. Diciumi punggung tanganyya. Berharap ia berkenan merapal mantra. Dan orang-orang yang susah itu kembali bersenandung. Riang. Tidak membawa beban.
Lumbung gagal mengikuti padatnya jadwal PKPT. Ia mendadak terserang tipes (tyfus) sehari sebelum acara pengenalan kampus itu dilaksanakan. Surat keterangan sakit dari dokter datang lebih awal ke meja panita. Praktis, para panitia tidak sekalipun mengabsen namanya dalam setiap kegiatan. Lumbung harus menjalani upacara pingitan seminggu penuh.Â
   Lumbung berasal dari kabupaten Nganjuk, tepatnya di kecamatan Kertosono. Rumah Lumbung berdiri kukuh di desa Kalianyar. Kota kecil itu masih sangat sepi. Kesepian itu tampak jelas dari garis-garis wajahnya. Keramaian seperti barang illegal di sana. Diserapahi. Dimaki-maki. Tidak boleh. Gak ilok. Malati.Â
Lumbung tidak dilahirkan dalam nuansa pegunungan atau gelimangan harta. Lumbung dilahirkan di tengah-tengah hilir mudik para santri[1] yang sedang mengisi hangatnya sore hari. Lumbung lahir di pesantren. Lumbung adalah putra kiyai[2], begitu Kun menyebutnya. Ya. Lumbung adalah putra Kiyai. Ia harusnya dipanggil Gus. Banyak dalil agama. Banyak nasihat kematian. Aven hanya menatapnya nanar. Heran. Kaget.Â
   Lumbung kecil bernasib hampir sama dengan Aven. Pada umur awal tujuh tahun, ia ditinggal bapaknya. Lumbung kehilangan satu tongkat pegangan hidupnya. Tentu, jalannya tidak sempurna lagi. Tertatih-tatih. Menerjang kerasnya jalan kehidupan. "Kalau Bapak seminggu lagi meninggal piye?" tanya bapaknya di suatu malam setelah waktu Isya. Di pinggiran dipan dengan kasur yang sudah mengeruh. Lumbung bergetar. Ia tidak siap dengan semuanya. Lalu ia berpindah ke pangkuan bapaknya -yang rapuh-. Lalu dengan terbata, ia menjawab, "aku sedih. Aku nangis. Aku wedi[3]!"Â
Barangkali, kisah Lumbung ini paling berwarna dibanding dengan kisah dua sahabatnya itu. Aven, menutup masa kecilnya. Ia tak punya banyak cerita yang musti dibagi. Kun biasa saja. Semua orang juga tahu jika ia anak kandung gunung Kelud. Sementara, Lumbung tidak begitu.Â
   Begini kisahnya. Setelah ditinggal bapaknya, Lumbung lebih banyak bermain dengan para santri. Mereka menjelma bapak. Tapi sayang, kebersamaan mereka hanya bertahan sampai ia berumur sepuluh tahun. Setelahnya, Lumbung kecil ditinggal ingar-bingar pesantren. Pesantren menjadi sepi. Dan berubah menjadi keheningan. Meski masih ada Lumbung dan ibunya, pesantren itu benar-benar sudah banyak kehilangan cahaya. Sekarang, yang terlihat hanyalah punggung yang tetap tangguh merawat harap.Â
   Lumbung beberapa kali meneteskan air mata ketika bercerita tentang peristiwa yang terjadi pada suatu pagi. Saat itu, umurnya masih sepuluh tahun. Lumbung belum mengenal apa arti dunia dengan segala intriknya. Belum mengenal iri dengki. Hasut. Penghianatan. Muka dua. Dan seterusnya.