Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Roman

Siluet-Buku I (Lumbung)-3

26 Agustus 2024   11:59 Diperbarui: 31 Agustus 2024   13:10 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Koleksi Pribadi

LUMBUNG

 

     Sejak pertemuan di kafe Tungku, mereka rajin membuat jadwal untuk ngopi bersama. Puncaknya, setelah satu semester terlewat, Lumbung memutuskan untuk berpindah kos. Tiga serangkai itu akhirnya hidup satu atap. Mereka bertiga menikah. Dengan cinta yang menjelma biji kopi. Kata Kun, akan ada banyak kopi dan kepulan asapnya yang tersaji menyambut pagi. Gelak tawa memenuhi langit-langit kamar mereka. Indah. Penuh harapan. Menyala. Mereka memutuskan sebagai pemenang. Tidak hari itu. Tapi untuk selamanya. 

     Ia adalah Lumbung Padi. Benar, ini bukan lelucon, namanya memang Lumbung Padi. Kelas menjadi gaduh saat namanya dipanggil untuk kali pertama. Kata mereka, nama itu tidak sekadar unik tapi juga menjanjikan banyak keajaiban. Bahkan mereka menyebut jika nama itu turun langsung dari langit. Lumbung menggelegar di mana-mana. Lumbung mendadak punya banyak karomah. Diciumi punggung tanganyya. Berharap ia berkenan merapal mantra. Dan orang-orang yang susah itu kembali bersenandung. Riang. Tidak membawa beban.

Baca juga: Ompyang Jimbe

Lumbung gagal mengikuti padatnya jadwal PKPT. Ia mendadak terserang tipes (tyfus) sehari sebelum acara pengenalan kampus itu dilaksanakan. Surat keterangan sakit dari dokter datang lebih awal ke meja panita. Praktis, para panitia tidak sekalipun mengabsen namanya dalam setiap kegiatan. Lumbung harus menjalani upacara pingitan seminggu penuh. 

     Lumbung berasal dari kabupaten Nganjuk, tepatnya di kecamatan Kertosono. Rumah Lumbung berdiri kukuh di desa Kalianyar. Kota kecil itu masih sangat sepi. Kesepian itu tampak jelas dari garis-garis wajahnya. Keramaian seperti barang illegal di sana. Diserapahi. Dimaki-maki. Tidak boleh. Gak ilok. Malati. 

Lumbung tidak dilahirkan dalam nuansa pegunungan atau gelimangan harta. Lumbung dilahirkan di tengah-tengah hilir mudik para santri[1] yang sedang mengisi hangatnya sore hari. Lumbung lahir di pesantren. Lumbung adalah putra kiyai[2], begitu Kun menyebutnya. Ya. Lumbung adalah putra Kiyai. Ia harusnya dipanggil Gus. Banyak dalil agama. Banyak nasihat kematian. Aven hanya menatapnya nanar. Heran. Kaget. 

     Lumbung kecil bernasib hampir sama dengan Aven. Pada umur awal tujuh tahun, ia ditinggal bapaknya. Lumbung kehilangan satu tongkat pegangan hidupnya. Tentu, jalannya tidak sempurna lagi. Tertatih-tatih. Menerjang kerasnya jalan kehidupan. "Kalau Bapak seminggu lagi meninggal piye?" tanya bapaknya di suatu malam setelah waktu Isya. Di pinggiran dipan dengan kasur yang sudah mengeruh. Lumbung bergetar. Ia tidak siap dengan semuanya. Lalu ia berpindah ke pangkuan bapaknya -yang rapuh-. Lalu dengan terbata, ia menjawab, "aku sedih. Aku nangis. Aku wedi[3]!" 

Barangkali, kisah Lumbung ini paling berwarna dibanding dengan kisah dua sahabatnya itu. Aven, menutup masa kecilnya. Ia tak punya banyak cerita yang musti dibagi. Kun biasa saja. Semua orang juga tahu jika ia anak kandung gunung Kelud. Sementara, Lumbung tidak begitu. 

     Begini kisahnya. Setelah ditinggal bapaknya, Lumbung lebih banyak bermain dengan para santri. Mereka menjelma bapak. Tapi sayang, kebersamaan mereka hanya bertahan sampai ia berumur sepuluh tahun. Setelahnya, Lumbung kecil ditinggal ingar-bingar pesantren. Pesantren menjadi sepi. Dan berubah menjadi keheningan. Meski masih ada Lumbung dan ibunya, pesantren itu benar-benar sudah banyak kehilangan cahaya. Sekarang, yang terlihat hanyalah punggung yang tetap tangguh merawat harap. 

     Lumbung beberapa kali meneteskan air mata ketika bercerita tentang peristiwa yang terjadi pada suatu pagi. Saat itu, umurnya masih sepuluh tahun. Lumbung belum mengenal apa arti dunia dengan segala intriknya. Belum mengenal iri dengki. Hasut. Penghianatan. Muka dua. Dan seterusnya.

Pagi itu, bapak-bapak mendatangi rumahnya. Jumlahnya sekitar lima belas. Si yatim kecil ini hanya bisa menggigit jari. Ia tidak mampu berbicara banyak atau bertanya lebih tentang kedatangan mereka. Sementara ibunya telah lebih dulu tergolek lemas di ranjang reot peninggalan sang bapak. 

Lumbung seperti ingin berteriak tapi ia tidak mengerti harus meneriakkan apa. Yang di depannya hanyalah abstraksi kehidupan. Jari-jari takdir yang sebentar lagi akan menggamitnya. Ia tak mampu membicarakan itu semua. Meski kelak, ia sendiri yang akan menjalaninya. 

Lumbung melihat dengan detail bagaimana tembok-tembok itu runtuh satu per satu. Kenangan masa kecilnya tidak bisa dipungut lagi. Semuanya telah bercampur dengan tanah. Rumah Lumbung ditelan tanah. Puing-puing hanya menyisakan emosi yang terkemas rapat.  

Kata Lumbung, bapak-bapak itu memang tidak tahu bagaimana rasanya menjadi yatim. Lalu Lumbung kecil menangis sejadi-jadinya. Telinga bapak-bapak itu sudah telanjur tuli. Air mata Lumbung tak terjawab. Menetes. Mengaliri pipinya yang pucat. Lalu jatuh ke tanah. Membahasi apa saja yang ada di sana.

Sekarang, lembar-lembar masa lalu itu perlahan-lahan ditutup. Lumbung, sang yatim kecil, kini telah menjadi remaja yang perkasa. Remaja yang telah terdaftar sebagai mahasiswa. Ada masa depan yang siap didekap. Ada persahabatan yang selalu hangat. Sejak dulu, Lumbung selalu menginginkan rumah dan keluarga baru. Ia telah menemukannya sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun