Pagi itu, bapak-bapak mendatangi rumahnya. Jumlahnya sekitar lima belas. Si yatim kecil ini hanya bisa menggigit jari. Ia tidak mampu berbicara banyak atau bertanya lebih tentang kedatangan mereka. Sementara ibunya telah lebih dulu tergolek lemas di ranjang reot peninggalan sang bapak.Â
Lumbung seperti ingin berteriak tapi ia tidak mengerti harus meneriakkan apa. Yang di depannya hanyalah abstraksi kehidupan. Jari-jari takdir yang sebentar lagi akan menggamitnya. Ia tak mampu membicarakan itu semua. Meski kelak, ia sendiri yang akan menjalaninya.Â
Lumbung melihat dengan detail bagaimana tembok-tembok itu runtuh satu per satu. Kenangan masa kecilnya tidak bisa dipungut lagi. Semuanya telah bercampur dengan tanah. Rumah Lumbung ditelan tanah. Puing-puing hanya menyisakan emosi yang terkemas rapat. Â
Kata Lumbung, bapak-bapak itu memang tidak tahu bagaimana rasanya menjadi yatim. Lalu Lumbung kecil menangis sejadi-jadinya. Telinga bapak-bapak itu sudah telanjur tuli. Air mata Lumbung tak terjawab. Menetes. Mengaliri pipinya yang pucat. Lalu jatuh ke tanah. Membahasi apa saja yang ada di sana.
Sekarang, lembar-lembar masa lalu itu perlahan-lahan ditutup. Lumbung, sang yatim kecil, kini telah menjadi remaja yang perkasa. Remaja yang telah terdaftar sebagai mahasiswa. Ada masa depan yang siap didekap. Ada persahabatan yang selalu hangat. Sejak dulu, Lumbung selalu menginginkan rumah dan keluarga baru. Ia telah menemukannya sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H