LAKI-LAKI UDARA
Â
Laki-laki itu mematung di atas beton yang disulap menjadi kursi. Pandangannya mendongak ke atas seperti sedang menantang langit. Rambutnya tergerai bebas. Beberapa kali sedikit bergoyang. Udara Malang pagi itu seperti beralun. Melahirkan nada. Harapan-harapan.
Pagi yang dingin. Ia menyambutnya. Kebeningan jiwa; meditasi menyambut hari. Lalu terus mematung. Tanpa suara.Â
Di kanannya berdiri secangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Ia bertelanjang dada. Tubuhnya menjadi parodi gratis gerombolan semut. Mereka bersembunyi di sela-sela kusen kamar. Lantas mengadakan sidang pleno guna membahas bentuk tubuhnya yang semakin menyusut. Sidang itu berlalu tanpa ada keputusan yang bisa dicermati bersama. Ia tetap bernapas. Tidak tersengal. Baik-baik saja. Seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Berjalan seperti yang sudah-sudah.
Detik terus berlalu. Terburu-buru. Ia membungkus tubuh susutnya. Malang sudah mulai menghangat. Beberapa pesan untuk semesta meluncur. "Terima kasih. Semesta Raya. Terima kasih untuk kebaikan pagi ini."Â
Meditasi selesai. Saatnya menikmati kopi.
***
Ia tergila-gila dengan pendakian. Dari Panderman ke Mahameru. Juga beberapa gunung yang ada di luar Jawa. Ia membuat rencana berkeliling dunia. Ia ingin sekali merasakan dinginnya musim dingin di Eropa. Kerasnya tanah hitam Afrika. Megahnya bumi Amerika. Namun, rencana itu harus dikemas dulu. Rapi. Dalam bingkai takdir yang abu-abu. Tuhan tampaknya masih belum setuju.Â
Sejak memutuskan untuk berhenti kuliah, ia lebih sering merenung dan menerawang jauh ke masa depan. Ia -sekarang- selalu menggambar apa saja tentang masa depan. Termasuk jatah hidupnya yang semakin sempit. Sebentar lagi ia akan tamat. Karena monster yang mengunyah livernya sudah tidak bisa didiamkan. Sudah sejak dulu, ia merawat bayi monster itu dengan baik: Hepatoseluler Karsinoma!Â
Ia sadar, tumor ganas yang berasal dari sel parenkim atau saluran empedu itu adalah murni ujian semesta. Ia tahu, tubuh yang ia miliki bukan pewaris sah hepatitis B dari orang tuanya; yang merupakan salah satu faktor pemicu tumbuhnya bayi monster menakutkan itu.Â
Ia juga bukan alkoholik yang juga menjadi umpan bangkitnya bayi monster. Kata dokter, satu syarat yang menjadikan ia layak diuji semesta adalah karena ia telah menelan Aflatoxin B1. Zat kimia yang berasal dari jamur aspergillus flavus yang termakan itu telah berkoloni untuk membangkitkan bayi monster.Â
Ia sering bergumam: "Semua akan segera berakhir."
Tapi keajaiban kerap datang ketika tidak diperhitungkan. Ia berdamai dengan kematian. Hidup dan mati itu sama saja. Hanya berganti tempat tidur. Itu saja, nggak lebih. Sehingga kedamaian selalu datang menguatkannya. Lalu juga ada sahabat dan serbuk kopi yang selalu menjadi penggenapnya.Â
***
Ia terkenal dengan nama laki-laki udara. Sarah, teman satu kelas yang duduk persis di belakangnya, selalu mengatakan jika ia adalah satu-satunya lelaki di kelas yang tidak pernah tercium menggunakan parfum. Menurut Fanny, yang duduk di samping bangkunya, aroma tubuhnya begitu natural dan murni bau udara. Fanny menambahkan jika aroma itu adalah jenis aroma yang sering dirindui. Ia tersipu. Letupan iseng Fanny tidak hanya membuatnya sesak napas, namun juga memaksa kepalanya bengkak. Meski faktanya, Fanny itu jadi-jadian.
Ia Adven Wijaya. Berasal dari keluarga kaya raya yang hidup di Jakarta sana. Dinasti kekayaannya diwarisi dari buyut dan kakeknya. Semua garis keturunan keluargnya selalu menyematkan nama Wijaya untuk nama belakangnya sebagai upaya mempertegas status kekayaannya.Â
Adven anak tunggal di keluarganya. Ayahnya bernama Johan Wijaya dan ibunya bernama Happy Wijaya. Konon, sebelum masuk keluarga itu, nama asli Nyonya Happy Wijaya adalah Happy Sanusi. Tapi karena telah masuk dalam dinasti Wijaya, maka ia harus merelakan nama Sanusi berganti Wijaya. Meski pada akhirnya perang dingin di kedua keluarga itu tak pernah usai sampai hari ini.Â
Adven kecil hidup dalam pelukan kasih sayang dan gelimangan kekayaan yang entah habisnya kapan. Semua tiba-tiba saja berubah sesaat setelah kecelakaan di Minggu pagi itu terjadi.
Adven diasuh oleh kakek dan neneknya yang -kelihatan- sangat malas mengantarnya ke sekolah. Adven kecil menjadi pendiam dan selalu murung. Gemerlap kemewahan yang ada di sekitarnya tidak sanggup menyalakan lilin yang telah padam di hatinya. Gelap gulita selalu datang menakut-nakutinya. Datang tanpa bisa disepakati. Menakutkan. Menenggelamkan.
Waktu begitu cepat berlalu. Anak kecil itu telah menginjak remaja. Di saat keluarga kaya lain harus ke Eropa atau Amerika, ia lebih memilih Surabaya untuk menempuh sekolah menengah atasnya. Di kota itu, ia mulai -perlahan- menemukan jati dirinya. Ia siapa, ia kenapa, ia adalah. Begitu seterusnya.Â
Tiga tahun di Surabaya dijalaninya dengan sangat baik. Lalu ke Malang untuk melanjutkan kuliah. Ia selalu berkeyakinan, kepergiannya ke Malang bukanlah kehendaknya, tapi sudah diatur semesta. Ia mengambil jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang. "Selamat datang Takdir!" Ia menari-nari. Bernyanyi-nyanyi. "Selamat datang Kebebasan!"
Sejak resmi menjadi mahasiswa, ia mengenalkan dirinya dengan Aven bukan Adven. Dan lengkapnya adalah Aven Semesta. Simbol kekayaan Wijaya runtuh. Saat itu juga. Lalu mereka berebut bertanya. Maka ia menjawab: "Sudah kehendak semesta!"Â
Aven, anak Semesta, sangat ramah; paradoks dengan masa kecilnya sering murung nan sepi. Sehingga, Kun dan Lumbung; yang merupakan sahabat dekatnya, tak pernah sekalipun melihat ia gelap. Selalu ada nyala di setiap sudut pandangan matanya.
Seperti ia, Kun dan Lumbung adalah manusia-manusia 'penyembah' kopi. Persahabatan mereka terikat kuat oleh aroma kopi yang mengepul tiap paginya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI