Kondisi ini tentu akan membuat warga Afganistan mengalami kekhawatiran, apalagi selama militer AS dan sekutunya menginjakan kaki di Afganistan, konflik gencatan sejata tak kunjung usai sehingga membuat warga Afganistan meninggalkan tanah kelahiran sendiri.
Menurut lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) Persekitan Bangsa-Bangsa (PBB), Afganistan adalah negara ketiga terbesar dengan warganya menjadi pengunsi.Â
Tahun 2020, ada 400 ribu yang harus mengunsi lantaran konflik berkepanjangan. Dan sejak 2012 sekitar lima juta warga Afganistan mengunsi dan tak bisa kembali ke kampung halaman.Â
Mereka mengunsi ke sejumlah negara tetangga, ada pula yang minta suaka. Kini Eropa mengantisipasi aliran pengunsi dari Afganistan. Mereka tak ingin berhadapi derasnya gelombang pengunsian seperti beberapa tahun terakhir.
Selain itu, Afganistan menghadapi persoalan kemiskinan dan krisis pangan. Berdasarkan survei pemerintah Afganistan 2016-2017 dikutip BBC, ada sejumlah 54 persen populasi warga Afganistan berada di bawah garis kemiskinan.Â
Survei dari Gallup Agustus 2019 juga mengungkapkan kekeringan dalam beberapa tahun terjadi di Afganistan dan melahirkan ancaman krisis pangan.Â
Diperparah adanya pandemi Covid-19 yang berdampak pada melemahnya ekonomi setempat. Hingga dalam konteks ini, dibutuhkan langkah dalam penyelesaian tuntas soal pemerintahan dan orang-orang Afganistan sendiri.Â
Pemerintahan yang mengayomani warga dengan baik sehingga persoalan ketimbangan sosial dan ekonomi teratasi. Begitu pun dengan komunitas internasional diharapkan mampu berkontribusi positif dalam proses penyelesaian di Afganistan, seperti memberikan masukan atau mediator dari berbagai negara khsususnya Indonesia.Â
Dan nasib warga Afganistan sangat ditentukan oleh seberapa kuat Taliban melakukan upaya jalan perdamaian dan mengedepankan langkah-langkah kongkrit untuk mewujudkan stabilias di Afganistan. Â Â
Â
Peran diplomasi perdamaian IndonesiaÂ