Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Islam dalam Krisis Solidaritas dan Ikhtiar Mendorong Kebangkitan Dunia Islam

10 Juli 2021   07:23 Diperbarui: 10 Juli 2021   07:28 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umat Islam tak tegak dan kokoh, kecuali atas dasar persatuan dan solidaritas bersama internal dunia Islam dalam menghadapi krisis solidaritas sosial dan menghadap berbagai fenomena sosial saat ini. Saling bahu membahu dalam memikul beban dan tanggungjawab, saling menopang menghadapi krisis dan problematika di dunia Islam. Solidaritas sosial dunia Islam hanya mampu dibangun dalam konsep persatuan dan kepemimpinan yang matang. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh pemimpin yang memapu penyatukan seluruh elemen masyarakat Madinah dan menjadikan Kota Madinah sebagai kota yang memiliki tatanan sosial yang baik. 

Krisis solidaritas dunia Islam telah berlansung dalam periode tertentu dalam sejarah peradaban Islam, para ulama dan penguasa bersekutu meminggirkan para intelektual dan penguasa Islam yang borjuasi. Untuk menyelesaikan masalah-masalah krisis solidaritas di dunia Islam, seperti otoritarianisme dan ketertinggalan serta mengejar perkembangan Barat, dunia Muslim perlu membangun sistem kompetitif dan meritokrasi. Ini yang membutuhkan reformasi sosioekonomi dan politik mendasar serta politik mendasar dengan dimensi ideologi dan kelembagaan dengan dimensi dan kelembagaan. Maka dunia Islam memerlukan intelektual yang kreatif dan borjuasi independen, yang dapat mengimbanggi kekuasaan otoritas ulama dan negara

Jika turunya wahyu pertama pada 610 masehi sebagai awal kenabian dapat diterima sebagai tonggak dunia Islam di bumi, karier itu berlansung dalam lipatan abad yang sangat panjang. Ini menunjukkan Islam lagi bukan agama sederhana, tapi kompleks sekali. Tafsiran terhadap agama sejak dulu hingga kini sudah berlapis-lapis sehingga dalam menentukan mana yang benar dan keliru menjadi persoalan tidak mudah, kecuali pada orang yang diberikan cara berpikir yang sehat dan tak terbelah dan hati yang tulus tanpa cacat. Sekali pun tak pernah sempurna. Dalam Al-Qur'an pasti membuka diri terhadap orang dengan kualitas prima. Tapi dalam konteks ini manusia dengan segala keterbatasannya. 

Dalam sudut pandang relativisme manusia inilah kita harus memahami mengapa telah terjadi peperangan antara kelompok Aisyah binti Abu Bakar (istrinya Nabi Muhammad SAW), yang dipimpin oleh Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awan yang berhadapan dengan pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib (656-661), sepupu dan menantu. Ini adalah krisis pertama yang berdarah sepanjang sejarah Islam yang dikenal dengan Perang Unta, terjadi 35 H/656 M (Yasmine, 2015). Ini sebuah peristiwa pembunuhan keji atas khalifah. Utsman bin Affan (644-656) yang dilkukan oleh pemberontak Muslim yang menentang kebijakan khalifah yang dianggap tidak adil. Setelah Perang Unta, ada krisis kedua yang lebih dahsyat yang dikenal dengan Perang Shiffin (657) antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Suriah yang diangkat Khalifah Umar bin Khattab (632-644). 

Dalam perang saudara ini, ribuan orang tewas dari kedua belah pihak. Ketika pasukan Ali hampir menang, utusannya Abu Musa Al-Asy'ari, ditipu oleh Mu'awiyah Amr bin Ash panglima perang yang menawarkan perang dihentikan dan menempuh jalan damai (tahkim) di Daumatul Jandal sebuah tempat yang terletak antara Damaskus dan Madinah (Nasution, 2021). Kesempatan ini digunakan oleh Amr bin Ash untuk mengantikan Ali dengan menobatkan Muawiyah sebagai khalifah. 

Tetapi kekuasaan penuh Muawiyah harus menanti dulu kematian Ali bin Abi Thalib yang ditikam di Masjid Kuffah. Kelompok keras ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai golongan Khawarij, sekelompok orang yang memisahkan diri dari Ali karena menentang tahkim (perjanjian) di Daumatul Jandal. Sejarah kelam di atas mengajarkan pada kita bahwa semua sengketa yang berdarah ini sepenuhnya terjadinya merupakan gejala runtuhnya solidaritas internal antar umat Islam saat itu. Ironisnya perpecahan umat Islam bercorak Arab ini rupanya hingga kini masih diwarisi.

Dari konflik Perang Shiffin ini kemudian berkembang menjadi tiga fraksi besar umat Islam yang tidak pernah berdamai, kelompok Sunni, Syiah, dan Khawarij. Sunni yang muncul sebagai golongan mayoritas merasa selalu berada dalam pihak yang benar dengan menuduh kelompok Syiah dan Khawarij yang salah. Cara pandang seperti ini harus dibuang jauh-jauh dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai pendoman dan hakim tertinggi. Kepentingan politik dengan alasan dalih agama. Kelompok Sunni, syiah dan khawarij adalah buah perpecahan dari politik. Perpecahan ini menjadi bukti bahwa solidaritas umat Islam terbelah. (Azra, 2020). 

Pembelahan inilah yang telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam di dunia, termasuk Islam di Indonesia. Jika kita telusuri perjalanan sejarah peradaban Islam dapat diketahui bahwa pernah terjadi kebangkitan peradaban dunia Islam pada abad klasik, khsususnya pada tiga khalifah, yakni Dinasti Abbasiyah di Bagdad, Daulah Umaiyah di Kordoba dan Daulah Fatimiyah di Mesir. (Abdul Hadi, 2021).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia Islam pada saat itu mengalami perkembangan. Dalam seajrah dunia telah mencatat bahwa dunia Islam telah berada pada puncak penting dalam dinamika peradaban dunia. Istilah dalam masa kejayaan dunia Islam (The Islamic Golden Age) terjadi pada abad ke-8 hingga 13 Masehi. Kota-kota Islam saat itu, seperti Baghdad, Damaskus, Alexandaria, dan Kordoba merupakan pusat peradaban dan kebudayaan dunia sebagai tujuan utama belajar mahasiswa dari berbagai penjuru dunia menimba ilmu. Selain itu, lahir banyak ilmuan sains maupun teknologi di masa kejayaan Islam, seperti Ibnu Rusy, Ibnu Khaldun, Al-Idrisi, Ibnu Sina dan tokoh-tokoh lainnya. (Amin, 2021).

Merujuk pada sumber sebagaimana yang dicatat dalam "rahmat Islam bagi alam semesta" diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mengatakan bahwa benih-benih kemunduran dunia Islam dan mulai mundurnya terlihat sejak fase kedua periode Islam klasik (1000-1250 M). Kemudian kemunduran drastis dimulai semenjak di periode pertengahan pertama (1250-1500 M). Inilah masa dalam dunia Islam disebut sebagai fase kemunduran pertama (1). Untuk menjelaskan penyebab krisis soldaritas dunia Islam dan kemunduran Islam. Mengutip bapak sosiologi klasik dan ahli sejarah Islam Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kemunduran dalam dunia Islam disebabkan dua faktor antara lain; internal dan eksternal antara lain;

Konteks internal, krisis solidaritas dunia Islam disebabkan para pemimpin yang tak bertanggungjawab, penghianatan yang dilakukan oleh kelompok internal dunia Islam yang mengincar kekuasaan. Selain itu, terjadinya desentralisasi pada pembagian kekuasaan di daerah dan menerapkan pajak berlebihan menjadi kebijakan merata yang dibebankan pada rakyat. (Ahmaet t. Kuru, 2020). Di tambah lagi dengan menguatnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa untuk menerapkan gaya hidup bermewah-mewah dan bermegah-megah. Di sisi lain prilaku korup, nepotisme, kolusi, dan dekadensi moral tumbuh subur dibidang pemerintahan.

Konteks eksternal, ini muncul dari ketidakpuasan tokoh dan intelektual di negara-negara Islam sehingga mengakibatkan mereka yang punya kapasitas dan integritas ke negara lain yang kemudian menguranggi Sumber Daya Manusia (SDM) terampil di dunia Islam. Akibatnya orang-orang yang mengisi posisi strategis dibidang pemerintahan bukanlah mereka yang memiliki kemampuan (kapabilitas) hingga menyebabkan menurunnya produktifitas. Dalam konteks ini adalah dalam bidang pengembangan sistem politik dan ilmu pengetahuan turut mengalami penurunan (Yakub, 2019). Syamsuddin Nasution dalam Jurnal Pemikiran Islam juga menguatkan tentang argumen kemunduran peradaban dunia Islam atau retaknya solidaritas Islam. Syamsuddin Nasution membaginya dalam tiga masa fase, sebagai berikut;

Pertama, kemunduran Dinasti Abbasiyah yang dimulai dari pemerrintahan Khalifah Al-Muktasim (833-842). Khalifah ini dipandang sebagai tidak memiliki keahlian dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi karena kepercayaan jabatan khalifah harus dipimpin orang-orang keturunan Quraisy (asli keturunan Arab). Pada konteks history ini saat itu pengaruh orang-orang Persia dan Turki sangat kuat dalam pemerintahan Islam sehingga jabatan khalifah hanya sebuah simbol. Semua keputusan-keputusan penting dipengaruhi oleh bawahan khalifah. (Abdul Hadi, 2021). 

Di masa kepemerintahan Al-Muktasim, khalifah-khalifah di bawahnya berada dalam dominasi orang-orang Persia dan bangsa Turki. Fenomena konflik internal ini membuat sistem pemerintahan menjadi keropos. Pada akhirnya di abad ke 11 masehi kekuatan orang-orang Turki semakin menguat ini ditandai dengan hadirnya pengaruh Turki Seljuk. Artinya kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan luasnya wilayah kekuasaan yang tak diimbanggi kapasitas kepemimpinan khalifah dan dalam waktu bersamaan, sistem keuangan negara mengalami krisis dan kontestasi politik intenal demikian kuat.

Kedua, kemunduran Dinasti Umaiyah di Andalusia. Setelah Dinasti Umaiyah runtuh di Timur Tengah, berikutnya kekuasaan berpindah ke Andalusia di bawah kepemimpinan Abdurrahman. Di Andalusia ia mendirikan Dinasti Bani Umayyah II, yang pada masa kekuasaannya Andalusia sebagai pusat kebudayaan Islam dan peradaban. Kemudian pada masa khalifah Hajib Al-Mansur awal mula kemunduran di pemerintahan Islam. Hajib Al-Mansur merbut kekuasaan khalifah sah, Hisyam II secara paksa yang saat itu masih berusia 11 tahun. Hajib Al-Mansur mempengaruhi para tantara Andalusia. (Syafi'i Maarif, 2020). 

Yang mengakibatkan sedikit tantara yang loyal pada khalifah Hisyam II hingga khalifah Hisyam II tak punya pilihan kecuali meletakan jabatannya pada Hajib Al-Mansur. Setelah Hajib-Al-Mansur wafat, perebutan kekuasaan terus berlanjut di tubuh pemerintahan Dinasti Umaiyah yang menjadikan kekuasaan politik kacau pada saat itu. Pada tahun 1013 Dewan Menteri Menghapuskan jabatan khalifah dan Andalusia makin terpecah menjadi negara-negara kecil. Di fase inilah dinasti umaiyah di Andalusia mengalami kemunduran yang saat itu disebut sebgai periode "mulul al-thawaif". Semenjak itu, jabatan pemerintah sebagai simbol belaka. Penguasaaya adalah orang-orang yang menyetir keputusan politik dan kebijakan Dinasti Bani Umaiyah di Andalusia.

Ketiga, fase kemunduran Dinasti Fatimiyah. Dari berbagai rujukan menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran di masa Khalifah Al-Halim Biamrillah. Khalifah Al-Halim Biamrillah wafat setelah jatuh pada pada problem korupsi, nepotisme dan kolusi. Semenjak khalifah Al-Zafir (1021-1036) hingga khalifah terkahir Al-Adid (1160-1171 M). Pada masa itu pejabat pemerintahan terjebak dan tenggelam pada kemegahan duniawi. Pada konteks itu, urusan pemerintahan diserahkan ke perdana Menteri yang secara otomatis mengambil dominasi kekuasaan di pemerintahan. Akibatnya, jabatan khalifah hanya menjadi simbol negara, sementara pengaruh kekuasaan dan politik berada di tangan perdana Menteri. 

Selain pada masa, Al-Halim Biamrillah, terjadi konflik aliran di internal Islam sendiri, yakni Sunni dan Syiah. Khalifah menganut Syiah yang kemudian ia mengangkatnya sebagai mazhab resmi negara (Ghofur, 2018). Pada hal di masa itu, sebagian besar penduduk Mesir berpaham Sunni. Ini yang kemudian menyebabkan terjadinya konflik antara aliran Sunni dan kelompok Syiah dan berdampak pada konflik rakyat dan penguasa. Di tambah para qadhi dan hakim dipaksa untuk mengeluarkan putusan dengan ajaran Syiah yang pada akhirnya melahirkan perbedaan besar antara penduduk dan sistem hukum masyarakat.

Dalam konteks ini, bagi penulis hendak mengatakan bahwa sejak terjadinya Perang Shiffin antara kelompok Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Aisyah. Sejak itu, dunia Islam telah mengalami krisis solidaritas di internal dunia Islam. Selain itu, perlu kita perlu pahami bahwa dunia Islam mengalami krisis solidaritas dunia Islam atau kemunduran beberapa faktor, seperti faktor internal dan eksternal. Dari dunia Islam sendiri munculnya paham taklid pada ulama (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber asalnya). 

Parahnya lagi, praktik keagamaan yang makin mengkultuskan wali, syaikh atau mursid serta berkembangnya paham Islam sinkretis, khufarat, tahayul, dan praktik bid'ah dan meninggalkan kajian-kajian  mengandung unsur filsafat dan berpikir kritis. Kedua, dari luar dunia Islam, yakni datangnya kolonialisme Barat, seperti dari Eropa, yang kemudian melakukan ekploitasi terhadap terhadap sumber daya alam dan melakukan penaklukan wilayah di negeri-negeri yang diduduki Islam, tak hanya di Timur Tengah, tapi juga di Asia Tenggara dan belahan dunia lainnya. Gambaran tentang krisis solidaritas dunia Islam dari periode khalifah dan hingga kini menjadi catatan penting bagi dunia Islam.

Dalam konteks berbeda, penulis melengkapi paper ini dengan data tentang peringkat negara-negara yang paling aman dan berkonflik di dunia. Data yang dirilis oleh Institute for Economic and Peace (IEP) merilis tentang indeks perdamaian global (GPI) 2020. GPI tak hanya mengukur satu negara ada atau tidak perang, tapi juga mengukur adanya kekerasan atau ketakutan akan kekerasan pada tiga domain, seperti konflik yang sedang berlansung, keselamatan, dan keamanan serta mileterisasi. Laporan ini mencakup sekitar 99, 7 persen dari populasi dunia dengan mengunakan 23 indikator.

Berdasarkan laporan IEP 2020 ini, diketahui bahwa indeks perdamaian global tahun 2020 menunjukkan tingkat perdamaian memburuk dengan negara turun 0,34 persen. Tabel di atas juga menunjukkan konflik dan krisis dunia yang muncul dari satu dekade terakhir mulai mereda, namun hal ini digantikan dengan kemunculan ketegangan dan ketidakpastian. Negara paling aman Islandia, Selandia Baru, Austria dan negara yang berada pada urutan paling tidak aman adalah diurutan pertama, Afganistan, kedua disusul Suriah, Irak, Sudan, dan Yaman. Ini juga menunjukkan negara di Timur Tengah dan Afrika Utara menduduki negara yang paling tidak aman di dunia. Kondisi di Timur Tengah paling tidak aman karena faktor meningkatnya aktivitas terorisme, dan konflik yang tak berujung tanpa akhir. Rilis GPI ini juga memberikan gambaran tentang merosotnya solidaritas dan kemunduran dunia Islam yang dalam konteks Timur Tengan dari tahun sebelum mengalami konflik yang terus berkepanjangan. Konflik internal, masih menjadi tantangan yang mendera dalam perkembangan dunia Islam khususnya di Timur Tengah.

Mendorong solidaritas untuk kebangkitan dunia Islam 

Kebangkitan dunia Islam merupakan suatu gerakan yang mengacu pada pandangan dari dunia Islam menjadi penting kembali, karena dunia Islam dikaitkan dengan masa lalunya yang gemilang. Khsususnya kegemilangan yang tampak selama tujuh abad sejak di mulai dari  rasul 23 tahun, Khulafarurasyidin (30) tahun, Daulah Umaiyah (90) tahun dan Daulah Abbasiyah (500) tahun. (Azra, 2016). Hingga masa lalu mempengaruhi cara pandang dunia Islam. Dunia Islam dianggap sebagai satu kekuatan alternatif memperbaiki kondisi umat Islam yang sedang mengalami krisis solidaritas. Sehingga dalam konteks kebangkitan solidaritas dunia Islam yang perlu dilakukan abad ke-21 ini, antara lain;

Pertama, Umat Islam perlu melakukan lagi pada upaya melakukan konstruksi sistem ajaran, namun juga pada bagaimana melakukan respon terhadap gerakan modernis yang menurut dunia Islam yang cenderung kebaratan. Sehingga diantara banyak kelompok atau aliran modernis, tradisional, dan revivalis muncul saling kritik dan lontaran pemikiran. Misalkan belajar dari beberapa kasus tuduhan itu ada benarnya bila mengacu pada cara pandang pemikir modern, seperti Thoha Husein (Mesir), Ahmad Khan (Pakistan). Kedua tokoh ini berpikir modernis dalam artinya ia sering menafsirkan Al-Qur'an dalam konteks membenarkan pandangan Barat. Kemudian mengklaim temuan Barat khususnya dalam bidang sains dan teknologi punya dasar kuat dalam Islam. 

Kedua, Konteks sejarah dunia Islam pernah mengalami kejayaan sains di masa lalu, dalam konteks membangkitkan solidaritas dunia Islam, umat Islam perlu perlu menghidupkan kembali gairah tradisi intelektual dikalangan dunia Islam. Keinginan dan harapan atas kebangkitan ini harus berlandaskan pada nilai-nilai Islam dan kemajuan peradaban Islam harus ditopang dengan kemajuan sains dan teknologi yang berasakan nilai-nilai ilahiyah dan agama Islam yang rahmatan lil'alamin. 

Terakhir, mengutip dari bukunya Ahmad T. Kuru (2020) untuk menyelesaikan masalah-masalah krisis solidaritas di dunia Islam, seperti otoritarianisme dan ketertinggalan serta mengejar perkembangan Barat, dunia Muslim perlu membangun sistem kompetitif dan meritokrasi. Ini yang membutuhkan reformasi sosioekonomi dan politik mendasar serta politik mendasar dengan dimensi ideologi dan kelembagaan dengan dimensi dan kelembagaan. Maka dunia Islam memerlukan intelektual yang kreatif dan borjuasi independen, yang dapat mengimbanggi kekuasaan otoritas ulama dan negara.

Daftar Pustaka

Ahmaet T. Kuru. 2019. Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Islam. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

Azrumadi Azra, 2020. Politik Global Tanpa Islam dari Timur Tengah hingga Eropa. Kecana. Jakarta.

Azrumadi Azra. 2016. Transformasi Politik Islam Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokratisasi. Kecana. Jakarta.

Abdul Hadi. 2021. Sejarah Masa Kemunduran Peradaban Islam, Faktor dan Penyebabnya. Tirto.id. Diakses tanggal, 1 Juli 2021.

Abd. Ghofur. 2017. Kebangkitan Islam di Indonesia (Tela'ah Tentang Munculnya Ormas Islam Awal Abad 20 M). UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Muhammad Yakub. Islam dan Solidaritas Sosial, Perkembangan Masyarakat Islam Periode Madinah. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat. Vol 7, 1 2019. Diakses tanggal, 28 Juni 2021

Tsulis Amriuddin Zahri, et.al. Relasi Pemuda Islam dan Media Sosial Dalam Membangun Solidaritas Sosial. Jurnal Literasiologi. Vol 1, No. 2 Juli Desember 2019. Diakses tanggal, 28 Juni 2021.

Shafira Elnanda Yasmine, Arab Spring, Islam dalam Gerakan Sosial dan Demokrasi di Timur Tengah. Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga, Surabaya. Vol, 28, No 2 Tahun 2015. Diakses tanggal, 28 Juni 2021.

Firdaus. Islam di Spanyol Kemunduran dan Kehancuran. UIN Syarif Kasim Riau. El-Harakah, Vol. 11, No, 3 Tahun 2009. Akses tanggal, 28 Juni 2021.

Muhammad Amin. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah Serta Dampaknya Terhadap Dunia Islam Kontemporer. Raden Fatah Palembang. Akses tanggal, 28 Juni 2021.

Syamsuddin Nasution. Penyebab Kemunduran Peradaban Islam Pada Masa Abad Klasik. Jurnal An-nida (Jurnal Pemikiran Islam) UIN Sultan Syarif Qaim Riau. Edisi Juni 2017 Vol. 41 No. 1. Diakses tanggall, 28  Juni 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun