Konteks eksternal, ini muncul dari ketidakpuasan tokoh dan intelektual di negara-negara Islam sehingga mengakibatkan mereka yang punya kapasitas dan integritas ke negara lain yang kemudian menguranggi Sumber Daya Manusia (SDM) terampil di dunia Islam. Akibatnya orang-orang yang mengisi posisi strategis dibidang pemerintahan bukanlah mereka yang memiliki kemampuan (kapabilitas) hingga menyebabkan menurunnya produktifitas. Dalam konteks ini adalah dalam bidang pengembangan sistem politik dan ilmu pengetahuan turut mengalami penurunan (Yakub, 2019). Syamsuddin Nasution dalam Jurnal Pemikiran Islam juga menguatkan tentang argumen kemunduran peradaban dunia Islam atau retaknya solidaritas Islam. Syamsuddin Nasution membaginya dalam tiga masa fase, sebagai berikut;
Pertama, kemunduran Dinasti Abbasiyah yang dimulai dari pemerrintahan Khalifah Al-Muktasim (833-842). Khalifah ini dipandang sebagai tidak memiliki keahlian dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi karena kepercayaan jabatan khalifah harus dipimpin orang-orang keturunan Quraisy (asli keturunan Arab). Pada konteks history ini saat itu pengaruh orang-orang Persia dan Turki sangat kuat dalam pemerintahan Islam sehingga jabatan khalifah hanya sebuah simbol. Semua keputusan-keputusan penting dipengaruhi oleh bawahan khalifah. (Abdul Hadi, 2021).Â
Di masa kepemerintahan Al-Muktasim, khalifah-khalifah di bawahnya berada dalam dominasi orang-orang Persia dan bangsa Turki. Fenomena konflik internal ini membuat sistem pemerintahan menjadi keropos. Pada akhirnya di abad ke 11 masehi kekuatan orang-orang Turki semakin menguat ini ditandai dengan hadirnya pengaruh Turki Seljuk. Artinya kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan luasnya wilayah kekuasaan yang tak diimbanggi kapasitas kepemimpinan khalifah dan dalam waktu bersamaan, sistem keuangan negara mengalami krisis dan kontestasi politik intenal demikian kuat.
Kedua, kemunduran Dinasti Umaiyah di Andalusia. Setelah Dinasti Umaiyah runtuh di Timur Tengah, berikutnya kekuasaan berpindah ke Andalusia di bawah kepemimpinan Abdurrahman. Di Andalusia ia mendirikan Dinasti Bani Umayyah II, yang pada masa kekuasaannya Andalusia sebagai pusat kebudayaan Islam dan peradaban. Kemudian pada masa khalifah Hajib Al-Mansur awal mula kemunduran di pemerintahan Islam. Hajib Al-Mansur merbut kekuasaan khalifah sah, Hisyam II secara paksa yang saat itu masih berusia 11 tahun. Hajib Al-Mansur mempengaruhi para tantara Andalusia. (Syafi'i Maarif, 2020).Â
Yang mengakibatkan sedikit tantara yang loyal pada khalifah Hisyam II hingga khalifah Hisyam II tak punya pilihan kecuali meletakan jabatannya pada Hajib Al-Mansur. Setelah Hajib-Al-Mansur wafat, perebutan kekuasaan terus berlanjut di tubuh pemerintahan Dinasti Umaiyah yang menjadikan kekuasaan politik kacau pada saat itu. Pada tahun 1013 Dewan Menteri Menghapuskan jabatan khalifah dan Andalusia makin terpecah menjadi negara-negara kecil. Di fase inilah dinasti umaiyah di Andalusia mengalami kemunduran yang saat itu disebut sebgai periode "mulul al-thawaif". Semenjak itu, jabatan pemerintah sebagai simbol belaka. Penguasaaya adalah orang-orang yang menyetir keputusan politik dan kebijakan Dinasti Bani Umaiyah di Andalusia.
Ketiga, fase kemunduran Dinasti Fatimiyah. Dari berbagai rujukan menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran di masa Khalifah Al-Halim Biamrillah. Khalifah Al-Halim Biamrillah wafat setelah jatuh pada pada problem korupsi, nepotisme dan kolusi. Semenjak khalifah Al-Zafir (1021-1036) hingga khalifah terkahir Al-Adid (1160-1171 M). Pada masa itu pejabat pemerintahan terjebak dan tenggelam pada kemegahan duniawi. Pada konteks itu, urusan pemerintahan diserahkan ke perdana Menteri yang secara otomatis mengambil dominasi kekuasaan di pemerintahan. Akibatnya, jabatan khalifah hanya menjadi simbol negara, sementara pengaruh kekuasaan dan politik berada di tangan perdana Menteri.Â
Selain pada masa, Al-Halim Biamrillah, terjadi konflik aliran di internal Islam sendiri, yakni Sunni dan Syiah. Khalifah menganut Syiah yang kemudian ia mengangkatnya sebagai mazhab resmi negara (Ghofur, 2018). Pada hal di masa itu, sebagian besar penduduk Mesir berpaham Sunni. Ini yang kemudian menyebabkan terjadinya konflik antara aliran Sunni dan kelompok Syiah dan berdampak pada konflik rakyat dan penguasa. Di tambah para qadhi dan hakim dipaksa untuk mengeluarkan putusan dengan ajaran Syiah yang pada akhirnya melahirkan perbedaan besar antara penduduk dan sistem hukum masyarakat.
Dalam konteks ini, bagi penulis hendak mengatakan bahwa sejak terjadinya Perang Shiffin antara kelompok Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Aisyah. Sejak itu, dunia Islam telah mengalami krisis solidaritas di internal dunia Islam. Selain itu, perlu kita perlu pahami bahwa dunia Islam mengalami krisis solidaritas dunia Islam atau kemunduran beberapa faktor, seperti faktor internal dan eksternal. Dari dunia Islam sendiri munculnya paham taklid pada ulama (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber asalnya).Â
Parahnya lagi, praktik keagamaan yang makin mengkultuskan wali, syaikh atau mursid serta berkembangnya paham Islam sinkretis, khufarat, tahayul, dan praktik bid'ah dan meninggalkan kajian-kajian  mengandung unsur filsafat dan berpikir kritis. Kedua, dari luar dunia Islam, yakni datangnya kolonialisme Barat, seperti dari Eropa, yang kemudian melakukan ekploitasi terhadap terhadap sumber daya alam dan melakukan penaklukan wilayah di negeri-negeri yang diduduki Islam, tak hanya di Timur Tengah, tapi juga di Asia Tenggara dan belahan dunia lainnya. Gambaran tentang krisis solidaritas dunia Islam dari periode khalifah dan hingga kini menjadi catatan penting bagi dunia Islam.
Dalam konteks berbeda, penulis melengkapi paper ini dengan data tentang peringkat negara-negara yang paling aman dan berkonflik di dunia. Data yang dirilis oleh Institute for Economic and Peace (IEP) merilis tentang indeks perdamaian global (GPI) 2020. GPI tak hanya mengukur satu negara ada atau tidak perang, tapi juga mengukur adanya kekerasan atau ketakutan akan kekerasan pada tiga domain, seperti konflik yang sedang berlansung, keselamatan, dan keamanan serta mileterisasi. Laporan ini mencakup sekitar 99, 7 persen dari populasi dunia dengan mengunakan 23 indikator.
Berdasarkan laporan IEP 2020 ini, diketahui bahwa indeks perdamaian global tahun 2020 menunjukkan tingkat perdamaian memburuk dengan negara turun 0,34 persen. Tabel di atas juga menunjukkan konflik dan krisis dunia yang muncul dari satu dekade terakhir mulai mereda, namun hal ini digantikan dengan kemunculan ketegangan dan ketidakpastian. Negara paling aman Islandia, Selandia Baru, Austria dan negara yang berada pada urutan paling tidak aman adalah diurutan pertama, Afganistan, kedua disusul Suriah, Irak, Sudan, dan Yaman. Ini juga menunjukkan negara di Timur Tengah dan Afrika Utara menduduki negara yang paling tidak aman di dunia. Kondisi di Timur Tengah paling tidak aman karena faktor meningkatnya aktivitas terorisme, dan konflik yang tak berujung tanpa akhir. Rilis GPI ini juga memberikan gambaran tentang merosotnya solidaritas dan kemunduran dunia Islam yang dalam konteks Timur Tengan dari tahun sebelum mengalami konflik yang terus berkepanjangan. Konflik internal, masih menjadi tantangan yang mendera dalam perkembangan dunia Islam khususnya di Timur Tengah.