Mohon tunggu...
Ahyarros
Ahyarros Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Blogger | Editor book | Pegiat literasi dan Perdamaian |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengenang Al-Mahsyar, Pria Tunanetra Mendulang Prestasi Lewat Musik

29 Januari 2021   15:23 Diperbarui: 29 Januari 2021   15:42 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cacat fisik tak melemahkan semangat hidupnya. Dengan musik ia berbagi kebahagiaan antar sesama. Pepatah lama mengatakan "Gajah mati meninggalkan belang, Al-Mahsyar meninggalkan seribu dendang. Di awal pertengah 1950-an, saat itu umurnya baru menginjak tiga tahun, wabah cacar menyerang desa di kampung halamannya di Lepak Lombok Timur hingga merenggut indra pengelihatannya.

Tak hanya matanya yang didera cacar, Al-Mahsyar juga kehilangan ibunya yang karena wabah cacar. Al-Mahsyar kecil kecil bahkan sudah diikhlaskan keluarganya, jika dipanggil menghadap Tuhan bersama ibunya. "Waktu itu, saya sudah dianggap mati, lantaran serangan cacar itu" Cerita Al-Mahsyar dengan suara agak tercekak di tenggorokannya saat di temui 9 tahun lalu dirumahnya Mataram.

Di saat itu, dokter menjadi barang langka. Di zaman itu juga wabah cacar sama menakutnya dengan ancaman bom saat ini. Tapi rupanya kehendak Tuhan berlaku lain. Al-Mahsyar mampu bertahan hidup dengan kedua pengelihatannya buta. Setelah ada kesulitan, ada kemudahan. Begituah kira-kira pesan bijaksana mengajarkan. Al-Mahsyar yang kecil yang kehilangan pengelihatannya mendapatkan berkah lain, ia mahir memainkan alat musik. Di usianya ke-6 telah akrab dengan gambus, gendang dan gitar.

Suatu hari Al-Mahsyar diajak pentas di sebuah sunatan hajatan massal di Lombok Tengah. Hajatan itu bukan sembarang rowah (hajatan). Waktu itu turut hadir semua petinggi Nusa Tenggara Barat (NTB). Mulai dari Gubernur, Bupati dan pejabat lainnya. Penampilan Al-Mahsyar yang buta rupanya memikat hati para petinggi kala itu. Apalagi ia masih terbilang anak kecil saat itu, kurang dari delapan tahun usianya.

Singkat cerita atas perintah Gubernur Ruslan Cakraningrat Dinas Sosial NTB menawarkan beasiswa Al-Mahsyar kecil agar bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Denpasar, Bali. "Pada awal tahun 1960-an diusia saya 8 tahun, saya merantau menyeberanggi pulau untuk sekolah di SLB Denpasar," Kenangnya Al-Mahsyar.

Pada tahun 1990-an Al-Mahsyar kedatangan tamu istimewa, empat orang awak TV NHK Jepang. Rombongan kecil ini datang ke Mataram untuk meminta izin memutar rekaman Cilokak yang dirilis Al-Mahsyar. "Saya kaget juga dengan kedatangan mereka, saya tidak menyangka, kalalu lagu saya juga di dengar di Jepang." Ungkapnya.  

Nama Al-Mahsyar memang kondang dikalangan pengemar musik melayu Sasak, tak hanya di Lombok, namanya juga dikenal hingga negeri seberang Malaysia dan Arab Saudi, di tempat tenaga kerja NTB mengadu hidupnya. Albumnya, lalo ngaro (pergi membajak) terjual lebih dari 20 ribu keping kaset selang satu bulan setelah diluncurkan ke pasaran. Ia mengaku dibayar 10 juta untuk merekam album tersebut.

"Saya memang tidak memakai sistem keuntungan, sebab mesti menunggu lama dan agak rumit menghitung." Sejauh ini, ada 20 album yang dirilisnya. Album pertama dibuatnya 1981. Ketika itu, seseorang produser lokal di Kota Mataram memboyongnya ke studio rekaman RRI Mataram. "Saya kontrak enam album selama 2 tahun, setiap album dibayar 700 ribu," Kenangnya Al-Mahsyar.

Menurut pengakuan Al-Mahsyar, orkesnya dibayar 3-6 juta rupiah setiap kali pentas. Namun bisa juga dengan sistem bagi hasil "Kami 75 persen dan panitia penyelenggara 25 persen," Jelasnya. Dalam membesarkan grup musiknya, ia menerapkan asas kekeluargaan yang kental. Dengan pola seperti itu, Al-Mahsyar mampu menghidupi sekitar 40 orang personil orkesnya.

Selain pentas rutin, orkes melayunya juga menjadi langganan tetap untuk mendampinggi penyanyi Dangdut dari Jakarta yang pentas di Lombok. Nama-nama beken seperti itu, Cici Paramida, Euis Dahlia, Hamdan ATT adalah beberapa penyanyi yang pernah yang didampingginya.

Dalam group musiknya, selain sebagai pemilik dan manajer Al-Mahsyar juga pencipta hampir semua lagu yang didendangkan orkesnya. Ia mengaku tak ingat lagi berapa banyak lagu yang telah dibuatnya. Yang ia ingat lagu-lagunya kebanyakan berlirik sederhana tentang kehidupan keseharian masyarakat. Bisanya Al-Mahsyar mengarang lirik lagunya dengan huruf steno atau mengunakan musik ketik manual. Sekali pun ia tunanetra, Al-Mahsyar jago mengetik sepuluh jari. "Saya mendapatkan pelajaran mengetik waktu sekolah di Denpasar." Katanya

Dari perjalanan bermusik sejak 1981, orkesnya telah memiliki aset 5 kendaraan operasional, mulai dari truk, pickup dan kijang. Ada juga sound system berkapasitas 20 watt serta panggung pentas permanen. Al-Mahsyar menyebut total asetnya saat itu berkisar 500 juta. "Ya, kalau hitung-hitung aset orkes kita saat itu, sekitar 500 juta lah." Ujar mendiang Al-Mahsyar.

Ketika kembali dari Denpasar pada 1974, hanya ada dua cita-cita Al-Mahsyar. Pertama ia membuat orkes Melayu. Kedua membuat sekolah bagi penyandang tunanetra, seperti dirinya. Cita-citanya itu dikabulkan Tuhan. Kedua mimpinya terpenuhi. Orkes Melayu Pelita Harapan yang didirikan sejak 1975, sekarang menjadi orkes Melayu papan atas di seantero NTB. Sementara, Sekolah Tunanetra yang dimimpikannya telah berdiri di atas lahan seluas 34 are dipinggiran Kota Mataram. Sekolah itu mendidik puluhan tunanetra seperti dirinya dengan belasan tenaga pengajarnya.

Al-Mahsyar tak henti-hentinya bersyukur bersyukur atas karunia Tuhan padanya. Musik sekolah tunanetra dan istri serta tiga anaknya mereka sebut sebagai pemberianTuhan yang tak terhingga. "Ini istri saya yang tak pernah saya lihat parasnya," Ujarnya seraya memperkenalkan Siti Aisyah perempuan separuh baya yang terlihat tetap cantik, yang telah mendampingginya puluhan tahun mengarunggi biduk kehidupan rumah tangga.

Gajah mati meninggalkan gading, Al-Mahsyar mati meninggalkan dendang dan juga teladan untuk tidak menyerah dalam kehidupan dengan keterbatasan yang Tuhan berikan padanya. Al-Mahsyar tunanetra yang meniti jalan kebagian lewat orkes dan sekolah tunanetranya. Pada Al-Mahsyar kita belajar tentang kegigihan dan getar getirnya perjuangan kehidupan. Predikat tunanetra tak membuat ia menjadi hambatan untuk berkarya dan menciptakan karya serta kebermanfaataan antar sesama.

Al-Mahsyar menghembuskan nafas terakhir hari Minggu, 20 September 2020 di Mataram. Semoga mendiang Al-Mahsyar ditinggikan derajat dan pusaranya dijadikan kebun surga oleh Allah SWT.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun