"Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal."(QS. Al-Hujarat: 13)
Perbedaan merupakan keniscayaan yang diciptakan Tuhan. Seperti kutipan ayat Al-Qur'an di atas, yang secara tekstual pun dapat kita pahami bahwa Ia menciptakan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku, termasuk budaya yang beranekaragam - saya tidak sedang menginterpertasi teks kitab suci tersebut, karena memang dengan segala keterbatasan pengetahuan saya tentang ilmu tafsir agama.
Berdasarkan yang saya pelajari, para Kiai yang ada di Indonesia membahas tema tersebut mengatakan bahwa, setiap bangsa mempunyai nilai tersendiri, mempunyai adat dan budayanya sendiri-sendiri.Â
Bangsa Amerika mempunyai nilainya tersendiri, Eropa, Afrika, Asia termasuk Indonesia mempunyai nilai yang khas ia miliki. Maka menyesuaikanlah dengan nilai-nilai bangsa atau adat masing-masing.
Agama; khususnya Islam, tidak pernah melarang budaya, selagi tidak keluar dan tidak bertentangan dengan koridor tuntunan ajaran agama tersebut.
Namun sudah merupakan rahasia umum bahwa ada segelintir orang yang menolak budaya atau adat yang sudah menjadi nilai dari bangsa atau daerah tempat mereka tinggali. Mereka berdalih bahwa, hal itu (tradisi) tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw, para sahabat, tidak ada dalil, dan sebagainya. Mereka sering disebut berpaham Wahabi, yang mengidentikkan: 'Islam identik dengan Arab, dan Arab identik dengan Islam'.Â
Pemahaman semacam ini cenderung lupa di mana mereka berada, apalagi di luar Arab. Kesemuanya dari mereka serba Arab; pakaian, pemahaman, bahkan cara bicara dengan orang; akhi dan ukhti, dsb. Padahal, menurut Prof. Dr. KH. Quraish Shihab, seorang Ulama Tafsir terkenal asal Indonesia, beliau mengatakan bahwa itu bukan merupakan kosa-kata agama, melainkan hanya bahasa Arab saja.Â
Mereka (wahabi) yang berpaham demikian, juga cenderung menolak identitas dan kultur yang berlaku di daerah mana mereka tinggali.
Di daerah saya, Bolaang Mongondow, berlaku tradisi di setiap penghujung Bulan Ramadhan, tepatnya malam ke-27, yaitu tradisi monuntul dan arukus, yang kemudian diletakkan di depan rumah masing-masing. Tradisi ini sudah berlangsung cukup lama.
Monuntul adalah akar dari kata tuntul yakni bahasa asli Bolaang Mongondow, yang artinya lampu. Sering disebut tradisi monuntul yang artinya malam pasang lampu.
Jika dilihat dari sejarahnya, monuntul merupakan upaya untuk menerangi jalan yang dilalui orang-orang untuk pergi Ibadah ke mesjid, dan untuk menerangi para leluhur atau nene moyang zaman dahulu untuk pergi membayar zakat fitrah di penghujung Bulan Ramadhan, dulu belum ada listrik, dengan suasana terang-benderang lampu tuntul, maka orang-orang akan semakin giat meramaikan penghujung bulan Ramdahan dan menyambut hari kemenangan, Hari Raya Idul Fitri.
Ohhh, iya... Lampu tuntul dahulu-kala terbuat dari bulu sebagai wadahnya, dan minyak kelapa merupakan bahan bakarnya. Waktu terus berjalan, dengan perkembangannya, wadah tuntul mengalami perubahan: ada yang terbuat dari kaleng cat, botol bekas, dan lain-lain, minyak tanah sebagai bahan bakarnya.
Sembari memasangkan lampu tuntul, penghuni rumah akan membacakan Al-Qur'an surah Al-Qadr. Ada keyakinan yang melekat bahwa, setiap masyarakat yang memasang lampu tuntul, akan mendapatkan keberkahan malam Lailatul Qadar.
Seiring dengan berjalannya waktu, tuntul tidak lagi hanya sekedar seperti yang disebutkan di atas. Melainkan telah berkembang dan menjadi ajang kesenian bahkan diperlombakan. Namun, substansi dari tradisi monuntul tetap ada: yakni harapan mendapat keberkahan malam Lailatul Qadar.
Secara aturan Islam, memang tradisi ini tidak diatur di dalam Al-Qur'an dan Hadist, namun ada dalam Ijma' atau kesepakatan para ulama bahwa tradisi dibolehkan selagi tidak bertentangan dengan tuntunan agama. Islam tidak menentang apalagi menghilangkannya.
Justru dijaga dan diluruskan pemahamannya dengan strategi mengajak umat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan menggunakan metode dakwah yang mengakulturasi, seperti halnya strategi dakwah para ulama dahulu, para Wali Allah; Wali Songo.
Tradisi monuntul ini, seringkali dipermasalahkan oleh kelompok yang saya sebutkan tadi di atas yang berada di tempat saya tinggali, "Ini tidak dicontohkan oleh rasul, tidak ada dalilnya, bid'ah. Meningan nggak usah dibuat." Dengan bangganya mereka mengatakan demikian, seolah-olah merekalah yang paling paham agama. Padahal jika dilihat dari latar belakang pendidikan agamanya, tidak jelas. Saya hanya mengatakan fakta objektif mereka saja, bukan menyinggung atau semacamnya.
Inilah yang saya maksud orang-orang yang beragama Islam yang mengidentikkan 'Islam adalah Arab dan Arab adalah Islam'. Sehingga, apapun yang diluar kebiasaan Arab, dan berlaku di daerah lain, akan tertolak.Â
Cara berislam mereka pun tak bermanhaj, tidak mengikuti dan menerima salah satu empat imam mazhab, dan menginginkan langsung saja kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah. Lebih mirisnya, mereka mengatakan bahwa Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali bukanlah Nabi Muhammad Saw. Tidak perlu diikuti, langsung saja pada rasulullah.
Pemahaman semacam itu cenderung tidak mampu menyesuaikan sikap agama mereka dengan mazhab dominan yang digunakan oleh masyarakat setempat. Akhirnya, mereka terasingkan di daerah sendiri dan mungkin dengan sengaja mengasingkan diri.Â
Ulama dan para kiai di Indonesia dengan ilmu yang sangat mumpuni yang ditempa di pesantren-pesantren, tidak mempermasalahkan adat dari masyarakat selagi itu tidak bertentangan dengan koridor agama. Namun, tidak jarang para ulama yang notabene latar pendidikannya jelas, dibid'ahkan oleh orang yang latar belakang pendidikan agamanya tidak jelas.
Ada yang mengatakan begini, "Ulama ahli hadist, dibid'ahkan oleh orang yang hafal satu hadist."
Tentu kita sebagai masyarakat beragama, harusnya sadar bahwa kita hanyalah muridnya para ulama. Tidak bisa kemudian kita menginterpertasikan Al-Qur'an dan Hadist di tengah ilmu kita yang tidak berkompeten di bidang itu. Apalagi, penginterpertasian dilakukan sesuai dengan kepentingan kita masing-masing.
Poin selanjutnya, hemat saya: pemerintah desa, bisa menjadi indikator dari hilangnya tradisi masyarakat yang berlaku di wilayah tersebut jika pemerintah tidak ikut mendorong dan hanya mendiamkan tradisi yang telah lama dilestarikan. Apalagi, struktur pemerintahan desa diisi oleh mereka yang menolak kebiasaan dan tradisi masyarakat. Konsekuensinya, banyak yang sudah tidak lagi melestaraikan tradisi-tradisi yang ada.
Ini tentu menjadi pesan dan tanggungjawab bagi para pegiat kebudayaan, untuk terus melestarikan dan mengajak sekitar kita agar tetap terus melestarikannya. Namun, bukan hanya dalam tataran perayaannya saja, melainkan terus mempertahankan substansi dari perayaan tersebut.
Otam, 26 Ramadhan 1441 H/2020 M.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H