Tulisan ini mungkin merupakan tulisan kesekian kalinya yang membahas mengenai penyakit yang kita sebut “Covid-19” atau Corona. Akan tetapi, tulisan ini tidak akan menjelaskan metode atau proses pencegahan dan upaya mengantisipasi penyakit tersebut. Sehingga, pembaca tidak akan menemukan definisi dan penjabaran secara spesifik tentang penyakit tersebut.
Penyakit corona memang beberapa pekan terakhir membuat masyarakat menjadi panik dan was-was, karena corona merupakan penyakit yang tergolong kategori mematikan yang penularannya dari satu orang ke orang lainnya melalui udara, pernapasan, dan sentuhan. Tak heran, kewaspadaan menjadi niscaya.
Berawal dari negara China, yang diliput banyak berita: Media maenstream, media sosial, media cetak, dsb., yang entah apa penyebabnya. Juga disertai dengan berita yang tidak jelas sumbernya: Ada yang mengatakan, “Asal penyakit ini akibat dari makanan yang tidak sehat oleh masyarakat China,” ada juga yang mengatakan, “ini merupakan penyakit yang sengaja dibuat dan disebarkan oleh orang-orang Amerika,” bahkan ada yang mengatakan, “Penyakit ini merupakan tanda-tanda kiamat,” dan masih banyak lagi yang mengatakan-mengatakan lainnya.
Dengan semakin berkembang pesatnya tekhnologi di dunia, memperoleh informasi secara cepat adalah konsekuensinya. Tak heran, hal di atas nampak menjadi fenomena. Fenomena yang menjadi isu dalam skala Internasional.
Di negara China, Italia, dan negara Asia-Eropa lainnya, telah menerapkan kebijakan yang tidak memperbolehkan masyarakatnya untuk berkerumun bahkan keluar rumah (lockdown), guna mengantisipasi penyebarannya. Tidak terkecuali Indonesia. Walau hanya beberapa daerah: Jawa dan Sumatera, yang telah menerapkan kebijakan lockdown, karena menurut data statistik bahwa kedua daerah tersebut, merupakan daerah yang masyarakatnya banyak terjadi penularan.
Di daerah Indonesia lainnya masih dalam semi lockdown, ditandai dengan: diliburkannya sekolah-sekolah, kampus, buruh, pedagang, (walaupun tidak semua). Itulah kenapa kemudian saya menyebutnya sebagai semi lockdown.
Di Sulawesi Utara (SULUT) misalnya, yang merupakan daerah tempat saya tinggali, juga tak luput dari berita di atas; yang masih dalam kategori semi lockdown. Kota Manado khususnya, adalah tempat saya mengenyam pendidikan. Dengan diliburkannya kampus, maka agenda kembali kampung adalah hal yang ditunggu-tunggu.
Masih dalam suasana corona: Dalam perjalanan mulai dari Manado sampai ke desa tempat saya dilahirkan, yang memakan waktu kurang lebih 4 jam dengan menggunakan kendaraan roda empat, tidak seperti biasa. Terjadi perbedaan yang signifikan tentang perilaku masyarakat kota - desa dalam menyikapi penyakit corona ini.
Di Manado, walaupun aktivitas yang ada relasi kerumunan diliburkan, tapi masih banyak masyarakat yang nampak berkerumun di jalanan. Berbeda dengan desa, yang nampak ketika sewaktu di perjalanan, mulai dari ditutupnya pintu rumah hingga jalanan yang sepi, senyap.
Dalam perjalanan, terdapat institusi-institusi kesehatan di setiap daerah kecamatan yang bekerja 24 jam. Hanya untuk memeriksa dan menyemprot orang-orang yang berdatangan, sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit corona ini.
Sesampainya di rumah, biasanya akan disambut oleh orang tua dan keluarga dengan pelukan hangat. Kini, disambut dengan tawa dan mengatakan: “Jangan masuk rumah dulu, tetap di situ. Bajunya dilepas, celananya juga,” ujar ibu, disertai dengan nada tawa. “Tadi sudah periksa ketika di perjalanan, bu, Alhamdulillah gejalanya tidak ada,” sahut saya. Kalimat itu agak meredahkan suasana panik ibu. Panik ibu redah. Tapi, saya tetap disuru mandi. Padahal sudah pukul 00:00. Yasudah. Saya turut, demi ibu. Setelah itu, saya disuruh makan, sambil bincang-bincang bersama ibu dengan sedikit menjaga jarak, jarak yang membuat percakapan selalu disertai dengan tawa. Hahaha... “Ibu, waspada boleh; panik jangan”, ujar saya.