"Hoax," gumanku dalam hati tapi tidak bagi anakku dan ibunya  yang percaya begitu saja dengan apa yang tertulis dalam sms. Alasannya, saat anakku mengklarifikasi siapa Rendy kepada calon istrinya ternyata dia memang mengenalnya dan memang kawan sekelasnya di SMA dahulu dan kini sedang berada di Amerika tengah menyelesaikan program doktornya dari sebuah universitas terkenal.
"Kurang ajarnya, si Des hanya senyum-senyum saja begitu dia memberitahu siapa Rendy. Kayak enggak punya dosa aja. Sok suci banget," lapor istriku sesuai laporan anaknya kepadanya. "Jadi si Des sudah mengaku. Mau apalagi. Untung ketahuan sekarang sebelum menjadi suami istri bagi anak kita," katanya dengan wajah serius sepertinya ikutan mendukung putusan anaknya membatalkan rencana pernikahan sekaligus membenci bakal calon mantunya yang baru saja dikenalnya.
Naluri wartawanku berkedut-kedut minta dipuasi sekarang juga. Terpaksa harus kembali mengangkat senjata penanya yang telah digantungkan begitu lama menjadi hiasan dinding rumah serupa pensiunan jenderal yang menggantungkan senjatanya di lemari.
Aku tidak percaya sepenuhnya dengan informasi yang ada kecuali hanya  untuk diterima dan disimpan saja untuk dicarikan informasi-informasi lainnya biar aku dapatkan informasi berimbang dari kedua belah pihak. Jangan hanya satu pihak saja. Terlebih dari satu pihak yang tidak dikenal sama sekali apa dan bagaimana orangnya si pemberi informasi.Â
Betapa banyak kejadian bangunan keluarga bahkan negara menjadi hancur-lebur gara-gara informasi sepihak tanpa diteliti lebih lanjut kebenaran informasinya dari sumber pertama. Bagaimanapun juga musuh dalam selimut yang kelihatan sebagai teman akrab seringkali menggunting dalam lipatan. Tidak mengherankan kalau Panglima Besar Jenderal Sudirman mengatakan bilamana di tangannya ada sepuluh butir peluru maka sembilan butir peluru untuk para pengkhianat dan hanya satu butir peluru saja buat musuhnya.
***
Bayang-bayang wajah si Des atau Desiwati tampil dalam benakku berkali-kali. Mengingat-ingatnya saat bersilaturrahmi ke rumah ditemani saudaranya dan temannya. Tidak pernah sendiri.
Sosok wanita berjilbab lagi bercadar berbicara lancar mengenalkan dirinya yang kini berjualan makanan ringan hasil olahannya sendiri layaknya home industri di mana-mana. Biasa-biasa saja dalam berbicara agama tanpa banyak mengharamkan ini dan itu apalagi membidah-bidahkan sesuatu. Jauh berbeda dengan informasi yang beredar luar di berbagai media massa kalau wanita berjilbab apalagi bercadar seringkali menuding banyak orang kafir dan hanya dirinya sendiri yang beriman.
Si Des mengakui dirinya belum lama mengenakan cadar kalau ke luar rumah. Alasannya, cadar selain pakaian wanita sholehah yang biasa dikenakan wanita-wanita sholehah dahulu ternyata juga bisa melindungi dirinya dari berbagai hembusan debu di jalanan. Terlebih lagi ketika naik motor. Berkat cadar maka  wajah terjaga kebersihannya dari debu-debu kotor yang beterbangan di jalan-jalan.
Aku juga mengetahui kalau si Des pernah bekerja di sebuah perusahaan hiburan sebagai sekretaris. Biasa berhubungan dengan banyak orang yang membutuhkan jasa perusahaannya terutama dari kalangan elite di kotanya. Karenanya seringkali ke luar masuk hotel buat melakukan lobi-lobi di ruang pertemuan dan biasanya di akhiri dengan makan-makan.
Hanya saja si Des ke luar dari perusahaan tanpa diketahui sebab-musababnya lalu bergabung dengan perusahaan katering. Berusaha menyalurkan hobinya membuat aneka kueh kering dan masak memasak sehingga menjadi bisnis menguntungkan.