Mohon tunggu...
Ahsanuz Zikri
Ahsanuz Zikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Administrasi Publik FISIP Universitas Andalas

Berminat pada topik sejarah, agama Islam, dan isu-isu sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keteladanan Bung Hatta sebagai Modal untuk Mencapai Generasi Indonesia Emas 2045

21 Agustus 2024   02:13 Diperbarui: 21 Agustus 2024   02:38 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Mohammad Hatta di Rumah Kelahiran Bung Hatta di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Sumber gambar: Dokumentasi pribadi.

Bung Hatta merupakan sosok seorang negarawan bangsa Indonesia yang visioner karena setiap tindakan dan perilakunya mencerminkan pandangan hidupnya yang jauh ke depan. Hal ini dibuktikan dengan bagaimana proses perjalanan hidup beliau mulai dari masa kecil, remaja, dewasa, hingga tua yang penuh dengan hikmah dan kebijaksanaan. 

Kebijaksanaan dan keteladanan beliau yang visioner itu menjadi landasan terciptanya sebuah buku yang diterbitkan oleh Tempo dan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2017 berjudul Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. Penulis sangat setuju dengan judul buku tersebut, terlebih setelah membaca dan menelaah isi dari buku tersebut.

 Bung Hatta di masa kecil dan remajanya merupakan sosok yang aktif dalam kehidupan sosialnya baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan semangat yang tinggi dan kesadaran akan pentingnya pendidikan untuk masa depan, ketika pertengahan sekolah rakyat di Bukittinggi, beliau merantau untuk melanjutkan sekolah dasar dan sekolah menengah (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. 

Bung Hatta dikenal sebagai anak yang mudah bergaul, aktif dalam klub sepak bola, dan sering bermain di Lapangan Imam Bonjol (Plein van Rome). Selain itu, beliau juga aktif sebagai salah satu pendiri dan pengurus Jong Sumatranen Bond yang menghimpun pelajar-pelajar dari Pulau Sumatera. Setamat dari sana, beliau kembali merantau ke tanah Jawa untuk menyambung pendidikan di sekolah menengah dagang (Prins Hendrik School) di Jakarta (Batavia).

 Walau sudah menamatkan pendidikan yang cukup lumayan tinggi untuk ukuran orang pribumi ketika itu, Bung Hatta masih belum puas untuk menimba ilmu. Beliau akhirnya berkesempatan untuk berlayar ke Negeri Belanda dan dengan beasiswa belajar sebagai mahasiswa di sekolah tinggi dagang (Handels Hogeschool) di Kota Rotterdam. Selama di Belanda, Bung Hatta terus mengembangkan kapasitas dirinya. 

Beliau bergabung dalam pergerakan mahasiswa dan akhirnya terpilih menjadi Ketua Perhimpoenan Indonesia. Karena keaktifan beliau yang vokal dalam menentang kolonialisme Belanda terhadap jajahannya di Hindia, beliau dan kawan-kawan ditangkap dan ditahan oleh Belanda atas tuduhan makar terhadap pemerintah kerajaan. Saat persidangan, beliau membacakan pledoi yang sangat terkenal yaitu berjudul "Indonesia Merdeka" (Indonesie Vrij). Di sisi lain, ada keteladanan Bung Hatta yang luput diajarkan dalam pelajaran sejarah di sekolah, yaitu bagaimana keteguhan integritas dan konsistensi diri beliau dalam memegang prinsip. 

Selama berkuliah di Belanda, walau sibuk dalam kegiatan pergerakan sosial, beliau adalah sosok yang kutu buku dan memiliki banyak sekali koleksi buku yang menjadi perpustakaan pribadinya. Hal ini penting sebagai modal dan bekal beliau untuk bermanfaat bagi diri sendiri serta masyarakat dan bangsa Indonesia yang selalu dibelanya. Selain itu, karena kuatnya penanaman kedisiplinan dan moral pendidikan agama Islam dari keluarga dan gurunya ketika masih belia di Bukittinggi, akhirnya hal itu berbuah ketika beliau telah dewasa dan jauh di perantauan: beliau tidak pernah meminum minuman keras (alkohol) selama menetap di Belanda, padahal itu adalah hal yang biasa bagi lingkungan masyarakat di sana.

 Dengan pengalaman hidup yang gandrung dan menggemari pendidikan, walaupun sudah tamat kuliah dan bergelar ekonom, Bung Hatta memiliki kepedulian yang besar terhadap pendidikan bagi masyarakat. Sepulang dari Belanda, beliau bersama Sutan Syahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang bertujuan meningkatkan pendidikan dan rasa nasionalisme bagi rakyat untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia di kemudian hari. 

Beliau yakin bahwa masyarakat yang terdidik akan menjadi investasi modal yang berharga dalam berjuang meraih kemerdekaan serta untuk mengisi dan menjalankan pemerintahan nasional di kemudian hari. Karena keaktifan beliau dalam mengedukasi rakyat, sekali lagi beliau harus berurusan dengan pemerintah kolonial Belanda dengan diasingkan ke Boven Digoel, Pulau Papua yang terkenal dengan lingkungannya yang terpencil dan banyak penyakit malaria. Di sana beliau melanjutkan hobi beliau membaca buku, bergaul dengan sesama tahanan politik, bercocok tanam dan bertukang, serta tidak pernah putus semangat beliau untuk mengobarkan semangat pendidikan kebangsaan dengan cara membuka kursus untuk sesama tahanan dan menulis artikel-artikel untuk surat kabar di Jakarta.

 Beliau tetap menjaga ibadah beliau selama dalam penahanan penjara. Beberapa tahun berikutnya, Bung Hatta dan Bung Syahrir dipindahkan ke Pulau Banda Neira di Maluku. Di sana, beliau terus membuka kursus pengajaran bagi pemuda-pemuda yang ingin menimba ilmu dari beliau. Ada satu sisi menarik yang perlu kita contoh dari Bung Hatta selama dalam pengasingan, yaitu bagaimana disiplinnya beliau dalam menata waktu dan kegiatan beliau sehingga tidak ada waktu beliau terbuang sia-sia. Dalam buku yang telah disebutkan di paragraf pertama di atas (halaman 102), dikisahkan bahwa penduduk Banda Neira tidak memerlukan jam untuk mengetahui waktu pulang sore hari dari ladang, karena Bung Hatta selalu melewati mereka tepat di jam yang sama.

 Pada masa pendudukan Jepang, Bung Hatta bersama Bung Karno memulai strategi untuk bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang dengan niat dan tujuan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Walaupun ia diangkat sebagai penasihat pemerintah pendudukan Jepang, beliau memanfaatkan posisi dan jabatan itu untuk kepentingan bangsa Indonesia. Bersama Bung Karno, Bung Hatta diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Beliau terlibat dalam Panitia Sembilan yang menyusun Piagam Jakarta yang nantinya dijadikan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah penyesuaian sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sidang kedua PPKI 18 Agustus 1945, secara aklamasi Bung Hatta diangkat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama mendampingi Bung Karno.

 Sebagai wakil presiden, integritas, moral, dan etika Bung Hatta tetap kokoh dan tidak berubah. Walau sudah berstatus sebagai pejabat negara, beliau selalu menjalankan hidup secara sederhana dan yakin bahwa pemimpin wajib memberikan contoh keteladanan bagi rakyat. Banyak sekali kisah kesederhanaan hidup beliau yang barang kali tidak bisa disebutkan semuanya. Kisah yang masyhur adalah bagaimana hingga di akhir hayatnya beliau tidak mampu membeli sepatu merek Bally yang merupakan sepatu ternama ketika itu. 

Selain itu di akhir hidup beliau, dengan uang pensiun yang jumlahnya relatif sedikit, Bung Hatta juga agak kesulitan finansial untuk membayar tagihan listrik dan air sebelum akhirnya dibebaskan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Sewaktu SMP penulis pernah membaca sebuah buku bahwa Bung Hatta pernah berpesan ketika ada yang memakai kamar mandinya dan membeli sabun batang yang baru agar sabun itu digabung dengan sabun yang lama. Dari kisah-kisah kesederhanaan hidup beliau yang tidak pernah sekalipun melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) itulah, kini kita mengenal penghargaan bagi pejabat yang berintegritas bernama Bung Hatta Anti-Corruption Award.

 Bung Hatta juga merupakan sosok yang demokratis karena mendapatkan pendidikan dan pengalaman politik yang berharga selama menempuh pendidikan dasar hingga berkuliah di Belanda. Di lingkungan keluarga, seperti dikisahkan anak beliau yang bernama Halida Hatta, Bung Hatta selalu berdiskusi dengan keluarganya dalam mengambil keputusan sehingga ini merupakan bentuk komunikasi yang baik sebagai kepala rumah tangga. Pada November 1945, beliau menerbitkan Maklumat X yang berisi anjuran pemerintah agar rakyat mendirikan partai-partai politik untuk menopang suasana sosial politik Republik Indonesia yang baru berumur seumur jagung ketika itu.

 Sebagai ekonom, Bung Hatta merupakan penganut ekonomi kerakyatan yang kemudian diterjemahkan menjadi Ekonomi Pancasila. Beliau menganjurkan sistem koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa sehingga digelari Bapak Koperasi Indonesia. Ketika menjabat wakil presiden, pemerintah Indonesia berusaha untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan seperti melalui misalnya kebijakan Sistem Benteng, kebijakan Ali-Baba, dan lain sebagainya. Pada akhirnya ketika menilai bahwa tidak lagi terdapat kecocokan dengan presiden, Bung Hatta tidak segan dan tidak takut untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden pada 12 Desember 1956 karena dorongan idealisme hati nuraninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun