Mohon tunggu...
Dina Ahsanta Puri
Dina Ahsanta Puri Mohon Tunggu... Guru - Your story teller

Menyukai kehidupan yang damai dan sedikit lucu. Dulu sempat bercita-cita jadi atlet badminton oleh karenanya gemar menulis. Mengimani filsafat lingkaran; kebaikan melingkar, keburukan melingkar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan dan Sejarah: Menilik Kisah Buram Jugun Ianfu

21 Maret 2023   17:00 Diperbarui: 21 Maret 2023   17:07 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perayaan Hari Kartini dengan mengenakan kebaya dan melakukan carnaval sudah terlampau konvensional. Memahami perjuangan Kartini, pula para perempuan zaman dulu yang bisa jadi terlupakan dari ingatan sejarah akan jauh lebih bijak. Untuk itu, pada perayaan Hari Kartini kali ini LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Vokal mencoba mengubah paradigma masyarakat dengan berdiskusi seputar perempuan dan sejarah.

Selasa (20/04), bertempat di aula PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) lantai dua, Universitas PGRI Semarang, LPM Vokal menggelar acara rutin dwi bulanan, Waroeng Diskusi---membincang dan mendiskusikan buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer sebagai patokan untuk tinjauan perempuan dan sejarah; jugun ianfu. 

Acara yang dimulai pukul 19.00 WIB menghadirkan pembicara Rukardi Achmadi, Sejarawan Kota Semarang, berkolaborasi dengan Widiyanita Anggar V., pengurus LPM Vokal. Peserta diskusi hadir dari kalangan mahasiwa UPGRIS, pengurus LPM-LPM kampus di Kota Semarang serta pegiat komunitas. Meski acara berlangsung malam hari, duduk lesehan di ruang sempit, tak menyurutkan semangat peserta diskusi untuk menyimak dan aktif berdiksusi.

Diskusi diawali dengan pemutaran film dokumenter kesaksian korban jugun ianfu dari Rukardi Achmadi. Dalam film dokumenter tersebut, para korban mengatakan masih belum bisa melupakan trauma masa lalu. Usai menonton film bersama, para peserta diskusi makin  penasaran tentang jugun ianfu secara mendalam.

"Jujur saya tak tahu menahu  masalah  jugun ianfu dan problematikanya. Hadir di acara ini membuat saya tahu dan semakin ingin tahu," tutur Hadi, mahasiswa pendidikan bahasa Indonesia UPGRIS.

Dalam diskusi, Widyanita mengaji buku Pram dengan menilik sisi feminimisme dan ketidakadilan gender.  "Persolanan mengenai ketidakadilan gender yang saya temui di buku ini  terfokus pada masalah kekerasan," jelas Widyanita. Lebih lanjut, ia menglasifikasikan kekerasan itu menjadi dua poin utama.

Pertama, perawan remaja dijadikan budak seks bala tentara Jepang hingga sakit dan diantaranya mati. Kedua, dikisahkan di Pulau Buru, para perawan korban kekejaman Jepang "dibeli" oleh pria di Pulau Buru. Mereka ditukar dengan tombak atau babi. Bagi mereka, istri adalah harta bagi suami yang mampu dipertukarkan, dijual, diwariskan, dan lebih parah lagi dijadikan sumber tenaga dan penghidupan bagi suami.

Menyimak tentang kekerasan fisik dan psikis yang dialami perempuan masa itu, Aklis dari Lembaga Kajian PMII, menanyakan tentang perlawanan yang dilakukan perempuan masa itu. Widyanita menjelaskan, meski banyak perempuan tidak berdaya, namun di sisi lain ada satu perempuan luar biasa bernama Malatyati. Dia adalah salah satu dari enam istri kepala Soa Wai Temon Latun. Aksi yang dilakukan oleh Malat adalah menentang suaminya yang suka merampas istri orang. Suatu keluarbiasaan dalam Adat Buru,  perempuan berani menentang suaminyaa, terlebih seorang seorang Kepala Soa.

Jika Widyanita membahasa persoalan jugun ianfu di buku Pram dari kacamata feminisme, Rukardi Achmadi lebih berfokus ke kajian sejarah mendalam. Beliau menjelaskan, semua bermula dari ambisi besar Jepang menguasai Asia. 

Pada 1931 Jepang mendirikan negara boneka bernama Manchuoka di Mancuria di bagian tenggara Tiongkok, sebagai basis militer untuk menyerang Uni Soviet dan menguasai seluruh daratan Tiongkok. Tahun 1936, sebanyak 135.000 pasukan tempur Jepang yang telah menguasai Shanghai merangsek ke ibu kota Tiongkok, Nanking (Nanjing). Hingga pemerintah militer Jepang mengeluarkan perintah: "Bunuh orang Tiongkok yang terlihat di depanmu!"

"Pemerintah Jepang menyebar doktrin bahwa ras orang Jepang lebih mulia dari orang Tiongkok. Serdadu-serdadu itu membantai secara keji orang-orang Tiongkok yang mereka temui, tak terkecuali warga sipil. Tidak hanya membunuh, tentara Jepang juga memerkosa perempuan Tiongkok. " terang Rukardi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun