Mohon tunggu...
Andika Ahsana
Andika Ahsana Mohon Tunggu... Arsitek - Arsitek

Arsitek, Desainer Grafis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Miskonsepsi Proyek Gedung Kebudayaan Eyang Ranggawulung Kabupaten Subang, Apa yang Kurang?

9 Juni 2022   11:15 Diperbarui: 9 Juni 2022   11:34 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Pusat Kebudayaan Eyang Ranggawulung, Kabupaten Subang | Sumber: www.pasundanekspres.co

Gedung Kebudayaan Eyang Ranggawulung merupakan proyek milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Proyek ini dibangun diatas lahan seluas 4 hektar yang berlokasi di Kecamatan Subang, Kabupaten Subang. Pemerintah Kabupaten Subang dalam hal ini berperan sebagai pemilik lahan. 

Dana yang diturunkan oleh PemProv Jabar untuk proyek ini adalah senilai 33 (tiga puluh tiga) miliyar rupiah. Jadi dalam kasus ini, PemProv berposisi sebagai pemberi anggaran sementara PemKab Subang sebagai pemilik lahan yang juga berotoritas atas pemilihan lahan. Proyek ini dimulai pada tahun 2019. Yu Sing, dari Akanoma Studio, ditunjuk sebagai Arsitek untuk proyek ini.


Masalah yang Mencuat

Semenjak dimulainya proyek pembangunan Gedung Kebudayaan Eyang Ranggawulung pada tahun 2019, muncul banyak kritik dan komentar "pedas" dari berbagai kalangan. Mulai dari pegiat seni, budayawan, hingga atensi turun langsung dari "kursi kemayoran". Bahkan, kritik ini kerap muncul dari Pemerintah Daerah Kabupaten Subang itu sendiri. 

Beberapa kritik yang keluar dari kalangan pegiat seni dan budayawan adalah terkait dengan bentuk dan material yang digunakan oleh Yu Sing pada Gedung Kebudayan ini. Salah satunya yang paling sering disorot adalah penggunaan material bambu untuk sebagian besar struktur di Gedung Kebudayaan. 

Godi Suwarna, seorang pegiat seni dari Ciamis mengkritik struktur Gedung Kebudayaan yang sebagian besar menggunakan bambu. Namun hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan pengkritik terkait jenis bambo yang digunakan oleh Yu Sing. 

Yu Sing mengatakan bahwa modul pada fasad ruang ini didesain dengan menggunakan deretan bambu mikro. Tujuannya adalah untuk digunakan secara fleksibel dengan berbagai fungsi oleh pengguna yang beraneka ragam. 

Yu Sing pun menambahkan bahwa penggunaan bambu didasari oleh kebudayaan Sunda yang sejak dahulu segala sesuatunya menggunakan bambu. Bahkan Yu Sing mempertanyakan beberapa kritik terkait bambu  bahwa apakah orang Sunda sudah lupa dengan kebudayaan dan sejarahnya sendiri.


Fasad Gedung Pusat Kebudayaan Eyang Ranggawulung, Kabupaten Subang | Sumber: www.tintahijau.com
Fasad Gedung Pusat Kebudayaan Eyang Ranggawulung, Kabupaten Subang | Sumber: www.tintahijau.com

Lalu kritik lainnya muncul menyinggung bentuk bangunan yang terlihat seperti kandang burung merpati. Namun, hal ini masih menjadi pertanyaan karena ada masalah lain yang menjadi sorotan publik, yaitu proyek pembangunan ini ternyata "terbengkalai" semenjak tahun 2020. Keterkaitannya dengan komentar "kandang burung merpati" adalah terkait berhentinya proses pembangunan proyek. 

Dari 33 miliyar dana yang dianggarkan, baru sekitar 6 miliyar yang sudah terpakai. Hingga saat ini belum ada informasi pasti tentang kelanjutan proyek tersebut.

Fasad Gedung Pusat Kebudayaan Eyang Ranggawulung, Kabupaten Subang | Sumber: portalbandungtimur.pikiran-rakyat.com
Fasad Gedung Pusat Kebudayaan Eyang Ranggawulung, Kabupaten Subang | Sumber: portalbandungtimur.pikiran-rakyat.com

Dari beberapa sumber, mengatakan bahwa pembangunan tidak berhenti sampai disitu saja. Artinya, "kandang merpati" yang dilihat orang mungkin tidak sepenuhnya tok' "kandang merpati". 

Mungkin masih ada elemen-elemen yang belum selesai dibangun di proyek ini. Dalam kata lain, bisa dibilang proyek pembangunan Gedung Kebudayaan ini "belum selesai". Namun, pertanyaan lain muncul terkait gap waktu yang cukup lama. Sejak tahun 2020, pembangunan ini tidak terlihat dilanjut. Ini menimbulkan kritik dan pertanyaan lain terkait proses kelanjutan proyek pembangunan. 

Apakah anggaran dari PemProv Jabar yang tersendat? Ataukah ada hal lain yang menghambat terselesaikannya proyek ini. Kita tahu bahwa pada tahun 2020 covid mulai masuk ke Indonesia, dan harus diakui sebagian besar anggaran negara dialihkan untuk penanganan covid. 

Jadi sebetulnya kritik yang bermunculan saat ini dapat dibilang "belum sampai ke ujung". Bagaimanapun, anggaran yang dialokasikan PemProv belum sepenuhnya dipakai untuk proyek ini. 

Bisa dikatakan kurang dari 25% yang baru digunakan. Artinya, dengan sisa 27 miliyar anggaran yang dialokasikan bangunan ini seharusnya mampu bertransformasi menjadi lebih sempurna dibanding dengan asumsi-asumsi masyarakat yang dilihat sekarang.


3-62a171d22154ae128a2817f2.jpg
3-62a171d22154ae128a2817f2.jpg

Rencana Pengembangan Kawasan Pusat Kebudayaan Eyang Ranggawulung Kabupaten Subang | Sumber: himars.unikom.ac.id/article-2/

 Kritik yang Luput

Alih-alih mengkritik desain Gedung Kebudayaan yang belum selesai, ada hal lain yang mengganggu saya terkait proyek ini. Jika harus mengkritik desain saat ini, seakan mengkritik busana fashion yang belum rampung dijahit. 

Poin lain yang menurut saya seharusnya dipertanyakan dalam proyek ini adalah terkait lokasi pembangunan. Sekilas tentang lahan yang saat ini dipilih sebagai lokasi proyek, yakni Hutan Kota Ranggawulung. Tepatnya berada di area selatan Kecamatan Subang yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Subang saat ini.

Akses Masuk Kawasan Gedung Kebudayaan | Sumber: www.kotasubang.com
Akses Masuk Kawasan Gedung Kebudayaan | Sumber: www.kotasubang.com

Dapat ditebak bahwa penamaan Gedung Kebudayaan Eyang Ranggawulung diambil dari lokasi proyek itu sendiri. Apakah Ranggawulung merupakan simbol kebudayaan Kabupaten Subang? bukan. Ranggawulung menurut beberapa budayawan Subang merupakan seorang tokoh masyarakat lokal pada masa penjajahan Belanda. 

Konon katanya, Ranggawulung selalu menunggangi kuda berwarna hitam. Maka dari itu disebut Ranggawulung dimana kata "Rangga" yang berarti ksatria dan "Wulung" yang artinya kehitam-hitaman. Ada pula yang menyebut bahwa Ranggawulung itu berarti "Tanduk Hitam". 

Jelas dari pemaparan tersebut, tidak ada kaitan yang erat antara Ranggawulung dengan kebudayaan. Namun kembali lagi, bukan penamaan gedungnya yang dikritik. Pemilihan lokasi proyek saat ini dinilai terlalu jauh dari pusat keramaian Kecamatan Subang. 

Tidak sulit, namun lokasi ini tidak berada di pusat "perkotaan". Apakah salah? tidak juga. Namun, sampai saat ini masih banyak lahan di perkotaan yang mampu difungsikan sebagai lokasi proyek ini. Bahkan, dahulu sebelum proyek ini muncu, sempat mencuat kabar bahwa akan dibangun Gedung Kebudayaan di kawasan Kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Subang yang lokasinya dekat dengan alun-alun Subang.

Lokasi Gedung Kebudayaan (merah) dan Alun-alun (Kuning) | Sumber: Ilustrasi Penulis
Lokasi Gedung Kebudayaan (merah) dan Alun-alun (Kuning) | Sumber: Ilustrasi Penulis

Jika ingin dibandingkan dengan contoh kasus serupa dengan fungsi bangunan yang serupa. Katakanlah Dago Tea House, di Bandung yang kini beralih fungsi menjadi Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, tetap tidak apple to apple. Dago Tea House memiliki sejarah yang panjang hingga mampu bertransformasi menjadi balai kebudayaan. Walaupun topografi lokasinya yang mirip dengan Hutan Kota Ranggawulung. 

Lahan yang kini dijadikan lokasi proyek memiliki akses yang harus di tempuh melalui jalan antar kota Subang -- Bandung. Hal lain lagi, lahan ini sebelumnya belum pernah sekali pun dikunjungi masyarakat. Lokasi ini dibangun diatas lahan yang sebelumnya merupakan hutan dan kebun ilalang. 

Hal ini menurut saya menyebabkan muncul masalah lain yang menjadi sorotan publik. Semenjak terbengkalainya proyek ini, banyak berita mencuat terkait kegiatan tidak senonoh atau "mesum" yang dilakukan remaja-remaja di lokasi proyek. Ini dapat disebabkan akibat lokasinya yang jauh dari jalan dan pusat keramaian. Sehingga luput dari perhatian apparat yang berwewenang. Tentu saja fenomena ini menjadi citra negatif bagi masyarakat, khususnya citra lokasi itu sendiri.

Alternatif

Apabila kita berbicara alternatif lain terkait lahan yang mampu digunakan sebagai lokasi proyek, banyak pilihan yang sebetulnya bisa diproses. Katakanlah di sekitar kawasan alun-alun Subang yang notabene kini menjadi pusat kegiatan masyarakat Subang baik siang ataupun malam hari. 

Ditambah pula dikawasan tersebut terdapat dua bangunan heritage yang salah satunya kini menjadi museum sejarah Subang, yakni Gedung Wisma Karya (kini menjadi museum sejarah Wisma Karya) dan bangunan Hotel Subang Plaza yang sudah ditetapkan sebgai warisan heritage. Jika berbicara kebudayaan pasti ada kaitannya dengan sejarah. Dan sejarah pun tidak akan jauh dari istilah heritage. 

Pemaparan diatas mampu menjadi latar belakang yang reasonable terkait pemilihan lokasi proyek Gedung Kebudayaan. Ada setidaknya 3 lokasi yang memenuhi kriteria proyek, salah satunya mungkin adalah luasan. Proyek yang kini berlangsung berada di lahan seluas 4 hektar. Hal ini dirasa lebih kontekstual dibanding dengan lokasi yang kini digunakan.

cover-storyhotel-subang-plaza-3-768x512-62a1724afca4e40dd67117b3.jpg
cover-storyhotel-subang-plaza-3-768x512-62a1724afca4e40dd67117b3.jpg

Hotel Subang Plaza, Bangunan Heritage | Sumber: www.pasundanekspres.co

Museum Wisma Karya, Bangunan Heritage | Sumber: www.kotasubang.com/38/museum-wisma-karya
Museum Wisma Karya, Bangunan Heritage | Sumber: www.kotasubang.com/38/museum-wisma-karya

PemKab Subang selaku pemilik lahan dan juga yang berotoritas memilih lahan seharusnya mampu melihat alternatif lain terkait dengan lokasi lahan. Memang belum ada penjelasan terkait dengan alasan pemilihan lokasi yang kini, namun saya menilai analisa yang dilakukan PemKab dalam hal ini belum optimal. 

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sempat mencuat kabar terkait dibangunnya proyek ini di kawasan Dinas Pariwisata. Menurut saya lokasi tersebut lebih relevan, terlebih PemKab Subang menginginkan adanya Pendapatan Asli Daerah dari Gedung Kebudayaan ini.

site-alternatif-62a1722ebb44867f2812fd72.jpg
site-alternatif-62a1722ebb44867f2812fd72.jpg

Lokasi Bangunan Heritage (merah) dan Ilustrasi Usulan Lokasi (Kuning) | Sumber: Ilustrasi Penulis

Akhir Kata

Kritik ini muncul atas dasar kepedulian terhadap perkembangan Kota Subang. Besar harapan masyarakat Subang akan dibangunnya Gedung Kebudayaan ini. 

Apalagi kini PemKab Subang sedang gencar meningkatkan aspek wisata Kabupaten Subang. Tentunya dengan segera terselesaikannya proyek ini keinginan tersebut bisa tercapai. Namun dengan kondisi tersendatnya pembangunan proyek, sedikit tidaknya menimbulkan banyak kritik, termasuk pembahasan diatas. Semoga tulisan ini mampu menjadi bahan evaluasi dan introspeksi untuk pembangunan yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun