Mohon tunggu...
Ahsani Fatchur Rahman
Ahsani Fatchur Rahman Mohon Tunggu... Guru - Guru di Pesantren

Mentari pagi akan selalu hadir bersama kita, dengan ribuan harapan dan cita-cita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mbah Sadiman dan Gus Ulum

21 April 2022   06:15 Diperbarui: 21 April 2022   06:18 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Ahsani F Rahman

Selama lebih dari dua puluh tahun, Mbah Sadiman mendedikasikan dirinya untuk menghijaukan kembali ratusan hektar lahan perbukitan di lereng Gunung Lawu, Wonogiri, Jawa Tengah, yang membuat ekosistem hutan kembali pulih dan membawa kebermanfaatan bagi banyak warga sekitar.

Perbukitan di sisi Lereng Gunung Lawu, Wonogiri, Jawa Tengah dahulu dikenal akan tanahnya yang kering dan tandus. Namun lahan tersebut telah berubah hijau, bahkan mampu menyediakan sumber air melimpah bagi warganya. 

Di balik cerita tersebut, ada sosok Mbah Sadiman yang berkontribusi selama puluhan tahun menghijaukan lahan gersang di desanya tersebut.

Mbah Sadiman merupakan seorang petani yang tinggal di Dusun Dali, Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Selain menggarap lahan pertanian, ia juga biasa menjual rumput untuk pakan ternak ke pasar. 

Meski sudah berusia 67 tahun fisiknya tampak masih bugar dan semangatnya tak kalah dengan anak muda. 

Ya, selama lebih dari 20 tahun Mbah Sadiman dengan gigih terjun ke hutan melakukan penghijauan atau reboisasi di area perbukitan tandus, wilayah Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan yang merupakan lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Di mana ketika kemarau tiba terjadi kekeringan, dan ketika musim penghujan kerap terjadi banjir karena tak ada tanaman pengikat air.

Aksi penghijauan tersebut berangkat atas keprihatinan Mbah Sadiman terhadap lahan di desanya yang telah berubah jauh dengan sewaktu masa kecilnya yang asri dan tersedianya sumber pasokan air yang melimpah.

Namun kerusakan akibat penebangan hingga kebakaran hutan membuat kondisi hutan di kedua bukit itu lambat laun menjadi gundul dan sumber pasokan air kian menipis. Meski kemudian area milik Perhutani tersebut telah ditanami pohon pinus, namun hal tersebut tak mampu membalikkan keadaan. 

Ia pun lantas mengambil inisiatif untuk menanam pohon-pohon pengikat air di area lahan hutan seluas lebih dari 200 hektar tersebut setelah mengantongi izin. Mbah Sadiman memilih untuk menanam pohon beringin dan pohon ficus karena dapat menyimpan banyak air dan mencegah erosi.

Sejak tahun 1990-an Mbah Sadiman mulai menanami pohon di area tersebut dan melakukan semuanya sendiri secara sukarela, tanpa bayaran maupun imbalan. 

Tantangan Mbah Sadiman melakukan penghijauan pun tak hanya dalam hal menaklukan medan hutan, namun juga harus menghadapi reaksi miring dari warga sekitar, termasuk keluarganya sendiri. Di mana ia pernah dianggap gila atas upaya penyelamatan lingkungan yang dilakukannya tersebut. 

Karena menukar kambing, bibit tanaman cengkeh dan jati miliknya yang dijual atau barter dengan bibit pohon beringin ___ yang dianggap tidak menghasilkan keuntungan materi. 

Tanaman yang telah ditanam Mbah Sadiman bahkan juga sempat dirusak karena dianggap mengganggu akses jalan serta menghalangi tanaman rumput warga.

Tak hanya sekedar menanam, pria kelahiran 4 Februari 1954 itu pun merawat pohon yang ia tanam, mulai dari memberi pupuk hingga menyianginya. Upaya penyelamatan lingkungan tersebut akhirnya membuahkan hasil, kini warga dapat merasakan manfaat dari puluhan ribu pohon yang telah Mbah Sadiman tanam bertahun-tahun di sisi tenggara lereng Gunung Lawu tersebut. 

Setidaknya sekitar 3.000 warga dapat menikmati air bersih yang mengalir dari Hutan Gendol serta bebas dari krisis air ketika musim kemarau tiba. 

Atas dedikasinya yang tak kenal lelah tersebut, Mbah Sadiman pun mendapat sejumlah penghargaan. Mulai dari, Penghargaan Kalpataru yang diberikan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 2016, hingga penghargaan sebagai tokoh inspiratif Reksa Utama Anindha (Penjaga Bumi yang Penuh Kebijakan) dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Inisiatif penghijauan tanpa pamrih oleh Mbah Sadiman untuk menggerakan perubahan yang mendukung kelestarian lingkungan menjadi salah satu wujud aksi nyata dari Revolusi Mental, khususnya dalam Gerakan Indonesia Melayani dan Gerakan Indonesia Bersih. 

Memperingati Hari Pahlawan yang jatuh setiap tanggal 11 November, Mbah Sadiman menjadi sosok pahlawan penghijauan dari Wonogiri atas dedikasinya yang mampu membuat hutan kembali hijau dan mata air kembali mengalir. Ia memberikan teladan dan inspirasi bagi kita semua untuk memberi manfaat bagi orang banyak.

Kedua, Gus Ulum pemuda berusia 40 tahun, adalah putra dari Almarhum KH. Djalil Randuagung Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Gus Ulum juga memiliki gerakan hampir sama dengan Mbah Sadiman. 

Gus Ulum hijrah ke Dusun Bodean Desa Toyomarto sekitar 10 tahun lamanya, beliau membentuk gerakan penghijauan dan perbaikan alam bernama Wonosantri, hampir setiap hari Beliau menanam pohon disepanjang lereng gunung Arjuno, selain itu Gus Ulum juga berhasil mengenalkan varietas kopi Lemar (Lembah Arjuno) pada kancah internasional sebagai kopi arabica grade terbaik dan masuk dalam jajaran kopi favorit di Amstirdam Coffee.

Usaha Gus Ulum tidak pernah sia-sia dan tahun ini mendapatkan beberapa gelar kehormatan sebagai salah satu orang yang berhasil membuat gerakan perbaikan lereng Gunung Arjuno yang disupport dari berbagai lembaga, mendapatkan karpet hijau dari Pemerintah Jawa Timur sebagai KTH Wonosantri dengan legalitas dan dukungan yang tak main-main. Latar belakang Gus Ulum ini bertujuan untuk membentuk pertanian kopi dengan prinsip konservasi lingkungan dan pemberdayaan petani lokal.

Dahulu, sekitar tahun 1997 pernah terjadi banjir bandang lumpur yang luar biasa dari lereng Gunung Arjuno. Hal tersebut dikarenakan dampak kebakaran hutan, banyaknya pohon-pohon besar yang tumbang, adanya oknum yang menggunduli hutan, dan tidak adanya kepedulian masyarakat akan pentingnya merawat ekosistem hutan. Dari keperhatinan itulah Gus Ulum hijrah untuk merawat lereng Arjuno dengan cara jalan cintanya.

"Kalau saya hanya memikirkan keuntungan pribadi, tanpa mengindahkan prinsip konservasi lingkungan, kebagian apa anak cucu kita kedepan?" ungkap Gus Ulum dengan penuh ceria di Padepokan Wonosantri. "Kalau semua sumberdaya alam kita habiskan (budidaya tanpa prinsip keberlanjutan) akan mendapatkan air darimana anak cucu kita?" lanjut beliau kembali.

Dari cerita kedua sosok diatas, kita menemukan beberapa orang yang dengan tulis mengabdikan dirinya untuk kelestarian alam, kecintaan dan ketulusan itulah yang kemudian hari menghasilkan banyak manfaat yang dirasakan oleh masyarakat luas, hutan yang dulunya gersang dan kering kembali hijau ditangan itu, sumber-sumber air tetap melimpah airnya untuk ekosistem hutan hingga bisa memberikan kemanfaatan bagi petani lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun