Mohon tunggu...
Ahmad Saifullah
Ahmad Saifullah Mohon Tunggu... -

manusia yang terus berjuang menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kemaluan Bapak Guru

17 Februari 2014   08:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari aku harus merasa asing, kalau diriku harus menerima panggilan kata 'Pak' di depan nama panggilanku. Teman-teman dalam satu ruangan, atau dalam satu lingkungan yang kata orang-orang disebut sebagai lembaga pendidikan kadang menyematkan tiga kata itu untuk cukup memanggilku. Anakku sendiri dari kecil diajari ibunya untuk memanggil diriku 'Ayah'. Bukan 'Pak' yang merupakan singkatan dari 'Bapak'.

Di Pekalongan tiga hurup 'pak' lumrah mempunyai arti 'akan, mau' misalnya ada pertanyaan 'pak ring ndi?' pertanyaan itu dapat dimelayukan dengan kata-kata 'mau ke mana?'. Mengapa harus asing segala bila dipanggil Pak? Bukankah itu merupakan panggilan familiar bagi seorang anak untuk memanggil orang tua lelakinya? Kalau pertanyaan itu yang disodorkan dalam keperluan 'budaya sapaan' mungkin bukan masalah. Tetapi kalau sapaan itu meminta konfirmasi dari 'kebenaran hak dan kewajiban' seorang guru dan murid akan bermasalah.

Pandang saja misalnya saya di sekolahan sebagai Bapak, layaknya di rumah tangga. Kalau di rumah tangga misalnya ada yang menyebut saya sebagai Bapak, masih mendekati kebenaran, walaupun senyatanya kadang masih sering kekanak-kanakan, karena saya tahu bahwa saya ikut andil memberikan hak kepada anak dan istri saya, atau biasa orang bilang 'saya ikut berikhtiar memberi nafkah lahir batin kepada mereka'.

Tetapi kalau di sekolahan? Justru saya yang dinafkahi oleh sahabat-sahabat saya. Mereka tiap bulan membayar gaji saya lewat spp, syahriyah, infaq, dll. Mereka juga tidak saya layani layaknya anak istri saya, karena di kelas mereka melayani saya dengan pendengaran dan kepatuhannya.

Menyadari hal itu, seringkali saya terbersit ingin membuat kata-kata di kertas asturo yang ditempel di tembok kelas: 'guru adalah kuli yang digaji murid, murid adalah juragan yang menggaji guru. Guru adalah pelayan murid.' Tapi segera urung niat saya membayangkan wajah-wajah teman pengajar lainnya seandainya mereka membaca kata-kata itu.

Sekali lagi saya mencoba mencari sebaris saja alasan pembenaran kata 'Pak' disematkan dalam nickname saya. Dalam hati mengatakan, "Kata 'Pak' sangat pantas dipandang untuk memanggilku, karena saya telah memberikan 'nafkah batin' kepada 'murid-murid' saya." Nafkah batin dalam konteks keluarga adalah usaha yang berujung pada kata-kata sakral: sakinah, mawadah, warahmah.

Sudahkah saya berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan ketenangan (sakinah) dalam hati 'murid-murid' saya? Bahkan mereka seringkali membaca 'ayat kursi' setiap kali akan berpapasan dengan saya, karena wajah angker saya laksana setan yang segera terbakar oleh khasiat 'ayat kursi'. Dan muncullah semburat senyum dari wajah saya seperti apa yang mereka harapkan. "belanda masih jauh Pak, jangan cemberut melulu." Kata hati mereka.

Sudahkah seorang guru menyemburatkan pamor ketenangan batin murid? Mungkin beribu guru yang mampu membuat murid tenang secara jasad, tapi dalam hati murid menyimpan bom waktu yang siap meledak, karena ketenangannya adalah terpaksa daripada dimarahi; diamnya karena takut dipermalukan di depan teman-temannya karena dibanding-bandingkan dengan teman sekelasnya; sendiko dawuhnya karena ancaman terkena point atau ancaman guru: "awas lho nilainya saya kurangi." Sami'na wa'athonanya karena menghindari nasihat-nasihat ala juragan kepada budaknya. Tak disangka kalau kita renungkan justru kita membuatkan metodologi kemunafikan kepada sahabat-sahabat kita di kelas.

Saya kurang aman, seandainya di panggil Pak, sedang tiap jamnya saya tak menebarkan rasa aman di hati-hati mereka. Sedang aman yang terpancar dari aura kita adalah ukuran kualitas iman.

Sahabat-sahabat saya di kelas menyebutnya sebagai guru killer kepada guru-guru yang jam senyumnya sangat terbatas. Sebutan itu keji dan kejam, tapi sebutan ini merujuk kepada kenyataan. Killer makna harfiahnya adalah pembunuh. Kata sebagian murid, guru killer berarti guru yang membunuh kreativitas murid. Bagi saya guru killer adalah guru yang membunuh otak murid, atau guru yang menggiring otak murid ke arah gelombang delta otak. Kenapa Si Killer membunuh dan disebut sebagai pembunuh?

Dalam ilmu otak (neurologi) kita mengenal beberapa gelombang otak, diantaranya: gelombang alfa, beta, delta, theta. Karena otak merupakan penangkap (receiver)  pelajaran yang disampaikan guru, maka guru harus titen, kapan kira-kira otak murid berada pada empat gelombang tadi. Diutarakan oleh beberapa pakar pendidikan yang mafhum otak: bahwa saat otak murid memasuki gelombang delta, maka murid mustahil menangkap apa yang disampaikan guru. Jadi, seberapapun berbusa-busanya mulut guru menyampaikan pelajaran akan 'masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri' alias mubadzir.

Kapan gelombang delta menjangkiti mayoritas murid di kelas? saat kejemuan, kebosanan, bête, stress, tegang perasaan, khawatir, bersarang dalam lahir batin murid. Secara jasad bisa dilihat dari gusarnya seorang murid, misalnya dengan perlambang garuk-garuk kepala, plengosan, teriakan "kapan istirahat?",  tidak tenang duduknya atau justru tenangnya murid yang terlanjur ketiduran. Otak murid rawan memasuki gelombang delta saat jam-jam akhir pelajaran.

Ketika saya merasa mayoritas otak murid memasuki gelombang delta, langkah yang mudah adalah dengan memberikan gerak fisik yang dipandu (gym), dan yang kecenderungannya membuat mereka tertawa. Misalnya dengan tepuk tangan layaknya anak tk, dengan diselingi tepuk silang dengan teman satu bangkunya, atau teman yang ada di belakangnya. Setelah itu perintah-perintah dadakan yang dilakukan guru kepada murid, misalnya memegang janggut teman, kuping teman, hidung teman. Atau dibikin beberapa kelompok. Satu kelompok menyuarakan secara serempak, "ha...ha...ha..." kelompok satunya, "he...he..he..." kelompok lainnya, "hu...hu...hu..." secara bergantian dan ritmenya semakin dipercepat, hingga terdengar bunyi, "hu,he,hi,ha..ha...ha...ha. Maka gelak tawa itu yang akan membuang kejenuhan mereka. Berangsur otak mereka memasuki gelombang alfa, atau minimal gelombang beta yang siap dimasuki pelajaran.

Gym seperti di atas selain membuat refresh, juga mendekatkan kekariban pertemanan teman-teman di kelas, dan dilingkungannya. Insya Allah hambatan 'perasaan komunikasi' akan terkikis habis dengan cara-cara komunikasi non verbal semacam itu.

Di Australia ada suatu penelitian terhadap sekitar 20 penderita kencing manis. Selama satu jam sepuluh orang dari mereka dimasukkan ke kelas humor, lawakan, dan sepuluh lainnya masuk ke kelas matematika dengan guru killer pula. Apa yang terjadi setelah satu jam? Saat di tes gula darah mereka, sepuluh orang alumni kelas humor gula darahnya normal, sedang sepuluh diabetis di kelas matematika mengalami kenaikan gula darah secara serempak. Ternyata membikin tegang batin murid sama juga menebar penyakit.

Di negara kanguru juga diadakan penelitian terhadap 20 keluarga monyet. Sepuluh keluarga di tempatkan di kandang kawat, sepuluh lainnya di tempatkan di kandang hangat, alias di dalam kandangnya di berikan boneka besar yang dapat menghangatkan keluarga monyet. Sebulan kemudian terjadi perubahan drastis dari kedua kelompok keluarga tersebut. Rata-rata dari keluarga kawat kecenderungan monyetnya agresif, suka menyerang orang yang akan memberikan makan, apalagi yang tidak? Sedangkan monyet keluarga hangat kecenderungannya menjadi monyet jinak, dan bersahabat dengan manusia. Maka keluarga manusia pun bisa bercermin dari uji coba tersebut. Pertanyaannya apakah sekolahan kita ini termasuk sekolah hangat atau sekolah kawat?

Mungkin ukuran itu cukup dengan melihat kenyataan seberapa banyak murid yang merindukan masuk sekolah, dan enggan meninggalkannya? Sebaliknya seberapa banyakkah murid yang tak betah di sekolahan? Atau seandainya murid belum kangen sekolahan, kita bisa bertanya seberapa dikangeninya seorang guru oleh murid?

Inilah yang menurut saya menjadi pondasi pendidikan di sekolah, yakni pilihan menciptakan sekolahan hangat atau sekolahan kawat. Sekolahan hangat berasal dari guru, murid yang hangat (harmonis). Guru, murid yang hangat berawal dari keluarga yang hangat pula. Karena kata orang bilang, "selalu berawal dari rumah." Bagaimana kita membalikkan persepsi itu menjadi, "selalu berawal dari sekolahan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun