Dalam hal ini pengendara kendaraan bermotor yang celaka akibat jalan rusak tersebut bisa menuntut ganti rugi sebagaimana yang ada di Pasal 273 UU LLAJ.
Pada Pasal 273 ayat 1 berbunyi, setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sehingga menimbulkan korban luka ringan dan atau kerusakan kendaraan dan atau barang dipidana dengan penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp12 juta.
Kemudian Pasal 273 ayat 2 disebutkan, dalam hal sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 24 juta.
Pada ayat 3 disebutkan jika hal itu mengakibatkan orang lain meninggal dunia pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau paling banyak Rp120 juta.
Pada ayat 4 berbunyi, penyelenggara jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak dan belum diperbaiki dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 juta. Dan hal ini diamini oleh direktur Preservasi Jalan Direktorat Jenderal Bina Marga, Hedy Rahadian.
Setelah ramai menjadi buah bibir netizen dan menyeruak pada wilayah publik akan mirisnya jalan rusak tersebut makan bentuk tanggung jawab baru dilaksanakan. Maka kesimpulan sementara atas fenomena jalan rusak adalah harus viral terlebih dahulu sampai akhirnya penanganan dilakukan atau dengan bahasa lain harus menunggu korban dan oleh karenanya jalan rusak akibat proyek tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan serta pemerintah desa terkait sebab tidak sedikit masyarakat yang hanya mendapat imbasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H