Segudang masalah seringkali membuat seorang dalam usia muda menjadi dilema dalam mengambil sebuah keputusan, apalagi dalam jika keputusan itu memiliki implikasi yang berisiko. Bagaimana seharusnya pemuda bersikap? Bagaimana pemuda menentukan sikap atau mengambil sebuah keputusan dalam menghadapi sebuah fenomena, sosial dalam hal ini?. Pertanyaan tersebut seringkali membingungkan seseorang dengan apa yang sedang dihadapi dalam tempo yang begitu singkatnya.Â
Sebagaimana pada waktu Pemilihan Kepala Desa (selanjutnya; Pilwu) yang dalam hal ini pemuda desa menjadi begitu kabur dalam menentukan arah dalam menentukan sikap atas desanya, bukan saja untuk masa kepemimpinan yang baru, akan tetapi dalam masa tahapan Pilwu juga tak luput dari buah simalakama, memilih A atau B akan begitu berisiko dalam waktu yang singkat tersebut. Jika tidak memilih atau golput jelas akan juga berdampak baginya secara individual, lebih-lebih jika pemuda tersebut membawahi banyak teman-temannya - komunal.Â
Apapun yang dilakukan akan terus dibidik oleh para simpatisan atau kader dari setiap calon kuwu tersebut. Politik identitas hingga stigma adalah menjadi mafhum dalam waktu itu, dan persoalan ini yang kiranya sama sekali belum selesai dalam skema pemuda desa. Sikap dan bersikap kala 'pesta' demokrasi desa berlangsung.Â
Pemuda yang dalam konteks ini penulis posisikan sebagai pemilih pemula seringkali di ombang-ambing oleh isu yang bermula dari politik identitas dan stigmatisasi tersebut sebab siapapun tak bisa lepas dari jerat mata para kader, usia 18 tahun misalnya, secara psikologis mereka sudah mulai nyaman dengan orang tuanya dengan sudah terbiasa membuka diri dengan orang di sekitarnya, ini sudah barang tentu seringkali menjadi objek atas kebebasan dalam menentukan sebuah pilihan saat di hadapkan sebuah pemilihan.Â
Tidak sedikit dari mereka yang menuruti kehendak orang tuanya sehingga dengan serta merta mengikuti apa yang orang tuanya pilih. Selain alasan tersebut, alasan pragmatis dan realistis adalah juga berpengaruh besar akan sikap yang diambil oleh pemuda desa, kita sudah tidak kurang maklum dengan persoalan pengangguran yang sudah begitu akrab di desa sehingga tidak kurang-kurang pada setiap tahunnya pemuda-pemudi kita di 'ekstrak' menjadi pekerja di kota (baca; urbanisasi).Â
Oleh sebabnya politik uang adalah juga ekstraksi jitu pada tataran desa secara keumumannya, selain tak ada istilah revolusi disaat rakyat masih militan menanti nomor buntut pada malam hari lalu sialnya pada siang hari bank harian terus menagih cicilan. Jadi apa yang diharapkan atas sebuah sikap?
Kita tidak kurang-kurangnya memaklumi jika sebuah sikap, prinsip, bahkan sebuah idealisme adalah sesuatu yang begitu asing di desa, terlebih pada kalangan pemudanya. Hal itu hanya menjadi sebuah perbincangan pemuda desa yang beruntung dalam mengenyam pendidikan hingga tingkat mahasiswa, selebihnya? Mereka sibuk mempersiapkan masa depan dengan cara bekerja kasar atau masih belum produktif. Sehingga sebuah ungkapan masyhur Tan Malaka bahwa 'Idealisme ialah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda' memang benar adanya, itu pun terbatas pada mereka yang beruntung. Â
Pemuda desa yang familiar dengan berbagai suasana atau bisa disebut berpengaruh atas sejawatnya sudah barang tentu menjadi sasaran para junta dengan segudang 'bayang-bayang' janjinya. Mempertaruhkan segalanya dalam suatu kondisi dimana harus memilih (algemeen kiesrech), meskipun tidak memilih adalah juga sebuah pilihan. Kendati demikian pemuda desa yang aktif tak luput dari sodoran berbagai macam provokasi dan juga agitasi pada masa-masa itu, konflik yang telah tersaji di hadapan mata menjadi sedemikian kabur sebab langkah gamangnya telah dipatahkan. Tak tanggung-tanggung semuanya berlomba dalam berebut pengaruh kepada siapapun.
Menang pada saat ini bahkan kemarin lalu tiada pemilih merdeka, memilih dengan kehendaknya sebab telah di paksa dengan berbagai cara untuk mengikuti sebuah arus panjang lika-liku demokrasi yang menjenuhkan. Pemuda meskipun berlatar belakang pendidikan serta wibawa yang tinggi bukan sebuah jaminan atas kemerdekaannya dalam menentukan sikap, terlebih sikap sosialnya, dalam hal ini jelas dikotomi tak bisa dihindarkan begitu saja. Pemuda dengan segudang keinginannya untuk sebuah harapan akan desa yang lebih maju telah pupus dengan adanya pemaksaan kehendak yang lakukan secara estafet oleh generasi diatasnya. Masalah pengangguran serta dukungan kepercayaan dari pemangku kebijakan di desa masih sangat jauh dari harapan, malah yang terjadi adalah kontrak politik dalam konotasi makna dukungan untuk kelanggengan. Â Â
Tidak ada pemuda yang merdeka dan tidak ada desa yang sejahtera di bawah bayang-bayang imajiner semu. Pemuda bermimpi nirwana namun dibangunkan oleh Asura, dan mimpi itu tetap abadi dalam sudut ruangnya sendiri.Â
Darah liar dan berpikir bebasnya harus di renggut oleh suatu kenyataan pahit di sekitarnya. Nilai desa yang dikenal adiluhung seketika berubah menjadi begitu mencemaskan, semua langkah terhenti, segala ekspresi harus berlabuh pada suatu depresi. Era teknologi informasi yang di tangan kaula muda di yakini bisa mendulang simpati juga membuat mereka terperosok dalam kubangan rasa gamang, antara posisi tengah dan mencairkan kondisi yang carut-marut, kemudian tiba-tiba (saja) dunia terasa jauh lebih kecil, dan cakrawala waktu untuk memikirkan aksi sosial jauh lebih pendek (Harvey 2001: 123).
Dalam kepingan gamang dunia terasa begitu menyakitkan terlebih jika dalam konteks desa yang menjadi aset vital bagi kota dengan siklus dan sirkulasi keberlangsungannya. Sektor agrari dan bahari yang menjadi magnum opus desa terabaikan begitu saja saat riuhnya 'pesta', semuanya seakan lupa untuk terus menanam dan menghidupi banyak orang di luar sana. Pikiran yang dikerdilkan serta gerak yang tak lagi mampu menjangkau entitas-entitas masalah. Peranan pemuda yang memiliki ruang gerak tak terbatas kini harus puas dengan gerak-gerak lokal semata, tugas utamanya telah diganti oleh mereka yang sibuk dengan segala retorikanya.Â
Persoalan pupuk, air dan harga jual yang seharusnya menjadi prioritas utama semua petani telah juga di abaikan begitu saja saat 'pesta', sehingga kesejahteraan ilusif adalah jargon yang tepat dalam mengilustrasikan sebuah kondisi desa ketika dihadapkan pada riuhnya 'pesta'. Benar apa yang dikatakan oleh Pidi Baiq bahwa rakyat adalah mulut yang menjadi bisu karena diambil suaranya waktu pemilu.
Tidak ada kedamaian selepas 'pesta' dan tak ada percik api untuk kembali menyalakan semangat bagi pemuda desa, sekedar berbicara dan mengutarakan apa yang sedang memenuhi ruang gundahnya. Hanya ada doa yang terus terperanjat untuk sebuah kedamaian dan menyudahi segala kebencian atas perbedaan yang telah meruncing. Ruang gerak harus kembali bebas dan pikiran bisa kembali liar tanpa skat perbedaan yang terus dimarjinalkan. Â Â Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H