Darah liar dan berpikir bebasnya harus di renggut oleh suatu kenyataan pahit di sekitarnya. Nilai desa yang dikenal adiluhung seketika berubah menjadi begitu mencemaskan, semua langkah terhenti, segala ekspresi harus berlabuh pada suatu depresi. Era teknologi informasi yang di tangan kaula muda di yakini bisa mendulang simpati juga membuat mereka terperosok dalam kubangan rasa gamang, antara posisi tengah dan mencairkan kondisi yang carut-marut, kemudian tiba-tiba (saja) dunia terasa jauh lebih kecil, dan cakrawala waktu untuk memikirkan aksi sosial jauh lebih pendek (Harvey 2001: 123).
Dalam kepingan gamang dunia terasa begitu menyakitkan terlebih jika dalam konteks desa yang menjadi aset vital bagi kota dengan siklus dan sirkulasi keberlangsungannya. Sektor agrari dan bahari yang menjadi magnum opus desa terabaikan begitu saja saat riuhnya 'pesta', semuanya seakan lupa untuk terus menanam dan menghidupi banyak orang di luar sana. Pikiran yang dikerdilkan serta gerak yang tak lagi mampu menjangkau entitas-entitas masalah. Peranan pemuda yang memiliki ruang gerak tak terbatas kini harus puas dengan gerak-gerak lokal semata, tugas utamanya telah diganti oleh mereka yang sibuk dengan segala retorikanya.Â
Persoalan pupuk, air dan harga jual yang seharusnya menjadi prioritas utama semua petani telah juga di abaikan begitu saja saat 'pesta', sehingga kesejahteraan ilusif adalah jargon yang tepat dalam mengilustrasikan sebuah kondisi desa ketika dihadapkan pada riuhnya 'pesta'. Benar apa yang dikatakan oleh Pidi Baiq bahwa rakyat adalah mulut yang menjadi bisu karena diambil suaranya waktu pemilu.
Tidak ada kedamaian selepas 'pesta' dan tak ada percik api untuk kembali menyalakan semangat bagi pemuda desa, sekedar berbicara dan mengutarakan apa yang sedang memenuhi ruang gundahnya. Hanya ada doa yang terus terperanjat untuk sebuah kedamaian dan menyudahi segala kebencian atas perbedaan yang telah meruncing. Ruang gerak harus kembali bebas dan pikiran bisa kembali liar tanpa skat perbedaan yang terus dimarjinalkan. Â Â Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H