Sementara bertolak belakang dengan pandangan di atas, para kritikus dan pembenci al-Imam menyebut dia sebagai: "Pembunuh Peradaban Islam" atau "Jagal Ayam Bertelur Emas". Dikarenakan al-Ghazali dianggap telah menghancurkan filsafat dan rasionalisme, sebuah dimensi pengetahuan yang menghidupkan intelektualisme dan peradaban umat manusia. Â Dakwaan semacam ini umumnya dilancarkan oleh para pemikir rasionalis Islam yang progresif. Karyanya "Tahafut al-Falasifah" atau Kerancuan para Filsuf, menjadi titik-kritis al-Ghazali dalam memandang filsafat. Melalui buku ini al-Ghazali mengkritik sejumlah pikiran para filosof.
Tuduhan yang sama juga dikemukakan oleh kaum tekstualis yang konservatif, akan tetapi dengan alasan yang berbeda. Sejumlah ulama ahli hadits menyerang al-Ghazali dengan sangat keras Ali Sami Nasyar menulis :
"Al-Ghazali dihantam habis-habisan oleh sejumlah ulama, seperti Abu Ishak al-Marghinani, Abu al-Wafa Ibn Aqil, Al-Qusyairi, al-Thursyusyi, Al-Maziri, Ibn Shalah dan al-Nawawi".Â
Abu Bakar al-Thurthusi, (w. 520 H), misalnya. Orang ini menyebut al-Ghazali "Mumt 'Ulm al-Dn" atau Orang yang membuat sekarat ilmu-ilmu agama, yang dalam pernyataannya yang lebih panjang dia mengatakan:
"Abu Hamid telah banyak berdusta terhadap Nabi dalam kitabnya Ihy`  'Ulm al-Dn. Saya tidak tahu jika ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak memuat kedustaan kepada Nabi, selain kitab yang dia tulis itu. Di dalam kitab tersebut al-Ghazali  banyak sekali memasukkan pemikiran-pemikiran filsafat dan pikiran-pikiran Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci). Kelompok ini berpendapat bahwa kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan (muktasab)."Â
Tuduhan dan prasangka buruk terhadap al-Ghazali pada umumnya dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli fiqh tekstualis-formalis. Sebagaimana diketahui, para ahli hadits dalam kajian-kajian keagamaan, pada umumnya lebih menekankan perhatiannya pada aspek riwayat atau sanad (jalur) transmisi dari hadits Nabi. Mereka jarang sekali melakukan analisa kritis atas matan (konten)-nya.Â
Siapa yang menginformasikan hadits itulah yang lebih penting. Sepanjang sebuah hadits diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dan berakhlak mulia, maka ia akan dijadikan argumen keagamaan yang valid.Â
Sementara itu, para ahli fiqh lebih melihat pada bentuk legal formal sebuah teks. Logika teks atau aspek-aspek rasionalitas yang ada pada teks acap kali kurang memperoleh perhatian serius bahkan cenderung dinafikan dan harus dikalahkan ketika berhadapan dengan bunyi teks.
Terlihat bahwa kecaman terhadap al-Ghazali muncul dari dua pandangan yang berlawanan. Kelompok rasionalis-progresif dan Kelompok tradisionalis-konservatif.Â
Kelompok pertama mengkritik al-Ghazali karena dianggap anti rasionalisme, sementara kelompok kedua justru karena pembelaan al-Ghazali terhadap rasionalisme atau lebih tepat karena al-Ghazali menggunakan logika untuk memahami pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H