Kiai Husein melanjutkan kisah Layla-Majnun yang ditulis pada tulisan sebelumnya mengenai romansa Layla-Majnun yang familiar tersebut.
Kisah Layla-Majnun pun menyebar, dan ayah Layla berang, tak sudi. Ia melarang anak gadisnya menjalin cinta dengan Qais. Laki-laki ingusan itu dipandang tak pantas untuk Layla. Tak level. Akantetapi tidak dengan ibu Layla. Ia mengerti perasaan anak gadisnya yang terus gelisah, acap mengigau dan tubuhnya, menyusut, bertambah kurus.
Tanpa Sepengetahuan suaminya, Layla dibiarkan saja mengunjungi rumah Qais, malam-malam. Hingga mereka berdua kemudian saling menumpahkan rindu, dan menangis panjang sampai fajar merekah cerah. Mata Layla sembab, tetapi menyimpan bahagia.
Sebelum perpisahan yang menitipkan duka dan sakit di relung hati, mereka berjanji untuk saling berkirim surat dan bertemu jika memungkinkan di suatu tempat. Tetapi ayah Layla kemudian mendengar kabar pertemuan itu, dan marah bukan kepalang. Layla dilarang keluar rumah sejak saat itu dan untuk selamanya. Dan Layla luka, bingung, murung dan menangis sepanjang hari sepanjang malam. Ia bersenandung pilu, memelas :
"Duhai cintaku!
Betapa aku merindukan kebersamaan denganmu.
Tetapi, O, Aku tak punya daya. Takdir telah memutuskan kita harus terpisah.
Kasihku,
apakah kita akan terpisah selamanya.
O, kekasih, belahan jiwaku.
Salahkah aku, duhai kekasih?
Hatiku menangis sepanjang hari sepanjang malam manakala aku memikirkan itu."
Tak berbeda dengan Layla, Qais juga tak bisa bertemu Layla. Tembok rumah Layla begitu kokoh dan menjulang. Pikirannya menjadi kacau. Dadanya terus bergemuruh dan bergetar, menahan kecewa dan rindu. Bibirnya selalu menyebut nama Layla. Ia acap melamun sendiri di taman di belakang rumahnya.
Ayah Qais mengerti keadaan anaknya. Ia juga berduka, tetapi tak berdaya. Ia kemudian mengajak Qais pergi ke Makkah untuk mengobati hatinya. Kepada Qais, ia bilang akan mengunjungi kakek moyangnya. Tetapi Qais dibawanya menuju ke Masjid al-Haram. Tiba di latarnya sambil menunjuk ke arah Kakbah, "Bait Allah" (Rumah Tuhan) ia berpesan kepada anaknya:
"Lihatlah, semoga engkau menemukan obat bagi sakitmu. Peganglah kiswah (kain penutup) Kakbah dan berdoalah agar Allah menghilangkan rasa cintamu itu."
Setelah mendengar nasihat ayahnya itu, Qais menangis dan tertawa sendiri. Sambil tangannya memegang kelambu Kakbah itu ia berdoa, "Aku telah menjual ruhku dalam ruang sirkuit rindu-dendam yang menderu-deru. "Isyq" (rindu dendam) adalah makananku, tanpa itu aku akan mati. Jangan takdirkan aku tanpa rindu-dendam kepada Layla. Duhai Tuhan, tuangkan air bening rindu. Cemerlangkan mataku dengan celak hitam selamanya. Duhai Tuhan, tambahkan aku rindu kepadanya. Bila umurku pendek, tambahkan rindu itu kepadanya. Duhai Tuhan, tambahkan rinduku kepada Layla, dan jangan biarkan aku melupakan dia selama-lamanya."
Cerita mengenai Layla yang dipaksa menikah, tanpa cinta
Selang waktu kemudian, cerita berlanjut, Layla akhirnya dinikahkan ayahnya dengan laki-laki lain, tanpa dia sendiri menyukai apalagi mencintanya. Ia menerima laki-laki pilihan ayahnya itu tanpa bisa menolaknya, karena tradisi yang mengakar akan menghukumnya, bila ia menolak. Tradisi di banyak tempat di dunia sejak zaman klasik, dan selama berabad-abad, tak membenarkan perempuan menolak kepentingan ayah.
Pandangan keagamaan juga menegaskan "hak Ijbar" (hak memaksa) ayah atas anak perempuannya. Perempuan seperti tak punya hak atas tubuhnya sendiri. Tubuh dan kehendak perempuan diatur dan didefinisikan oleh kehendak laki-laki, meski ia (perempuan), seperti juga siapa pun, kelak akan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Setelah mengetahui serta Qais mendengar hari perkawinan kekasih hatinya itu, dan ia langsung jatuh pingsan, hatinya terbakar. Ia menangis menderu-deru, meraung-raung, sepanjang hari sepanjang malam. Ia menyesali diri telah mencintai Layla. Ia sempat mengatakan bahwa Layla tidak setia, dan ia akan menyingkir dari kehidupannya. Katanya:
"Duhai hatiku, hiduplah menyepi, tinggalkan mencintai orang yang tak setia."
Qais mengekspresikan kekecewaannya itu dalam puisinya:
"Aku menyesali apa yang telah terjadi, bagai penyesalan orang yang tertipu saat menjual."
Tetapi ia tak bisa menolak kehadiran cinta itu yang telah merasuk diam-diam dan kemudian menyatu ke dalam jantung jiwanya. Ia menjadi "gila"(majnun).
Qais kemudian mengembara tanpa arah dan membiarkan tubuhnya tak terurus.
Sampai-sampai rambutnya penuh debu dan semrawut. Ia mengarungi padang pasir yang luas dalam terik matahari yang membakar tubuhnya, seperti panas hatinya yang terbakar oleh cinta kepada Layla.
Pada ahkirnya Majnun mencoba melempar kekecewaannya dengan mendaki gunung demi gunung dan memasuki hutan-hutan belukar, tanpa manusia. Ia menyendiri, merindu dan menangis. Ia kemudian bersahabat dengan para binatang. Mereka menyayangi Qais,yang manusia itu, dan ia juga menyayangi mereka. Mereka saling menyayangi. Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H