Pada konstelasi pilkades yang lumrah seperti pada umumnya, adalah berbicara mengenai politik desa secara real tanpa embel-embel lainnya. Namun acap kali hal yang secara umum di pandang sebagai ajang politik yang rasional seringkali, bahkan mafhum, unsur supranatural bermain dalam kancah 'pesta' tersebut. Tiada lain dan tiada bukan tujuannya ialah mencari konstituen. Â
Desa sebagaimana di imajinasikan juga tidak luput dari hal magis, seperti penggunaan kata dukun dan orang pintar yang sudah akrab di telinga yang mengindikasikan bahwa itu sudah sebegitu familiar dengan masyarakat desa, terlepas dari soal apakah yang di gunakannya itu ilmu hitam atau putih yang di gunakan dalam setiap 'aksinya', alih-alih menggunakan eufimisme 'penasehat spiritual' maka dukun tetaplah dukun.
Lalu dalam momen-momen tertentu jasa dukun juga digunakan, sering bahkan meningkat levelnya pada sebuah keharusan menggunakan jasa 'orang pintar' tersebut. Sebagaimana dalam pilkades yang begitu lazim dengan kata dukun, seperti satu kesatuan yang terintegrasi.
Bias terjadi ketika para calon kepala desa di rumahnya mengadakan pengajian al-qur'an secara rutin, setiap malam, namun di tempat lain ia juga menggunakan jasa dukun yang, tidak sedikit masyarakat menolak akan ajaran perdukunan tersebut. Pada momen pilkades yang sudah mengakar bahkan menjadi semacam tradisi.Â
Dalam praktiknya para dukun yang di sewa dari masing-masing calon duduk di depan sesaji, dupa, dan api di kantor desa (Baca; balai desa). Seperti halnya yang terjadi di Cirebon pada tahun-tahun sebelumnya dan sempat ramai di jagat maya, bahwa ritual tersebut oleh masyarakat setempat di namakan Kiat Damar.Â
Dalam ritual Damar, semua calon kuwu membakar kemenyan lengkap dengan sesajen yang disediakan di suatu ruangan. Kemudian calon kuwu juga biasanya memiliki klien dukun pilihan sendiri untuk menggelar ritual tersebut. Ritual tersebut dilakukan tiap malam sebelum pemilihan.
Pada kilasan sejarahnya, pemilihan kuwu seperti yang disampaikan Nurdin M Noor. Kuwu dalam sebuah wawancara, kuwu dalam muatan terminologinya berasal dari kata yang di ambil dari bahasa Sansekerta dengan padanan kata dari Cakradara, berarti 'penguasa selevel adipati'. Seperti Akuwu Tunggul Ametung di Singosari.Â
Pada proses pemilihan kepala desa kali pertamanya di Cirebon dimulai sejak tahun 1604M dengan metode pemilihan One Man One Vote. Kemudian jika dikomparasikan dengan pemilihan Presiden Amerika Serikat yang terjadi pada 1774M dengan dipilih langsung oleh lembaga pemilihan umum, maka demokrasi paling awal melalui pemilihan kuwu di Cirebon telah mencuri strat dari negara Paman Sam tersebut. Sehingga rata-rata para kuwu berkuasa selama belasan tahun, dan dipilih berdasarkan ilmu, akhlak, dan tanggung jawabnya.Â
Pemilihan kuwu sebelum Belanda berkuasa diserahkan kepada masyarakat dan mendapat restu dari Sultan. Pada masa itu kotak suara pada masa pemilihan kuwu waktu itu berupa bumbung bambu.Â
Setiap pemilih mendapat sebuah koin atau biting kayu yang dimasukkan ke dalam bumbung kuwu yang mengikuti pemilihan. Calon kuwu dibungkus dengan kain berwarna tertentu sebagai lambang kuwu pilihannya.Â