Pada pukul 05;00 Warga mulai mengumpulkan karung untuk di isi dengan tanah terdekat yang kemudian akan di jadikan sebagai penahan arus air yang sudah merangsek masuk ke jalan desa.Â
Semuanya bergotong-royong, seperti yang imajinasikan semua orang tentang budaya di desa, ibu-ibu mempersiapkan logistik semacam kopi dan seadanya demi mensuport mereka yang sedang bergotong-royong.Â
Berjarak 200m dari Rempagan, arus air ternyata lebih tinggi dari Rempagan dikarenakan permukaan tanah yang lebih landai dari Rempagan sehingga air sudah berhasil masuk pada saluran sekunder desa yang dan menghantarakannya menuju desa tetangga, akantetapi warga masih fokus membangun benteng pertahanan di Rempagan tersebut.Â
Fokus warga pecah dengan adanya titik yang lebih urgent namun masih belum selesai pada titik awal, sementara lupakan sejenak sawah yang tertimpa lumpur di sebelah saluran sekunder tersebut lantaran air meninggi dan mulai memasuki gang dan perlahan masuk ke rumah warga.Â
Kecemasan warga sudah nampak sedari air memasuki rumah mereka, kerja bakti masih terus di upayakan demi meminimalisir debit air yang masuk ke dalam zona pemukiman warga.Â
Hingga pukul 08;00 warga mulai membagi konsentrasi mereka, antara melanjutkan penanhanan tanggul yang langsung di jebol oleh arus air sungai Cimanuk dan membuat pertahanan atas saluran sekunder yang memang juga telah meninggi dalam waktu yang singkat.Â
Sebab melalui saluran sekunder tersebut air dengan leluasa menjangkau rumah warga secara keseluruhan. Bagaimanpun sifat air adalah konstan, ia akan mencari tempat yang lebih rendah.Â
Warga terus membuat pertahanan pada saluran tersebut mekipun air sudah telah merangsek masuk ke rumah warga, terutama blok paling belakang, karena memang kondisi tanahnya yang landai (Jawa; lebak) sehingga blok tersebut menjadi titik utama arus air bermuara menuju Tempat Pemakaman Umum dan melepasnya di sawah milik warga.Â