Selain sebagai identitas, musik tarling juga sebagai kontrol barometer atas fakta yang yang terjadi. Lantas pada RUU yang bias akan intepretasi terutama soal pensejahteraan akan pelaku musiknya, setidaknya, menjadikan tarling akan tidak lagi terasa 'sedap' ketika di dendangkan dalam pertunjukan lokal seperti hajatan.
Panggug tarling adalah panggung hajatan, kita tidak bisa naif akan hal tersebut, dan saweran dalah representasi atas pola budaya yang selama ini tercipta darinya, bahkan bisa adalah warisan kolonial. Sebetulnya musik, apapun itu, merupakan rintihan dariapa yang sedang terjadi di masyarakat kita.
Terlebih musik dangdut pada tataran sosialnya merupakan musik yang sebagian besar di terima oleh masyarakat pesisir pantura, sebagai eksistensi akan status-quo, sebagai 'teman' dalam segala aktifitas masyarakat bahkan sebagai alat politik pada saat ini. Yang dalam hal ini arbitrase dari modus vivendi sedang dicari sebagai jawaban atas kerumitan akan adanya RUU tersebut, dengan menggalang kekuatan bersama dan tentu dengan berkarya sebagai senjatanya. Sebab karya haruslah dilawan dengan karya kata Pramoedya Ananta Toer.
Sekali lagi dangdut tarling pantura telah dijadikan berbagai medi atas kepentingan masyarakatnya. Sehingga RUU Permusikan yang di gaungkan menjadi batu sandungan atas sebuah karya dari embrio penciptanya.
Hal ini juga sudah barang tentu akan bertabrakan dengan pasal 28 UU 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, dan juga Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
Bila dalam musik dangdut atau musik-musik lainnya berbenturan dengan nilai moral maka kemudian akan di temukan tafsir baru atas musik tersebut, yang dalam RUU tersebut di sebutkan poinnya.
Maka perspektinya kadang haruslah di ubah, sebab musik membicarakan apapun, ia tidak terskat ruang dan waktu. Jadi muatan pornografi, provokasi dan kebudayaan barat adalah hal yag lumrah dalam musik.
Semua orang memiliki kapasitas tersendiri dalam menilai sebuah karya, begitu juga dengan musik. Oleh sebabnya musik adalah bukan hanya sekedar sekumpulan nada tanpa makna. Hingga tepat sekiranya atas apa yang dikatakan oleh Dzun Nun Al-Misri (w 245 H) dengan perspektifnya bahwa "Musik itu suara kebenaran yang bisa menggugah hati manusia menuju ilahi, atau menuju kebenaran."
Tarling yang telah menjadi representasi faktual sudah tentu tidak bisa di hindarkan dari hal-hal yan tabu sekalipun, ia jujur terhadap realitas.
Sebagai entitas juga sebagai barometer dari progres blantika permusiakan, musik dangdut juga berjasa telah memeberikan epistemologi baru bagi pendengar pemulanya, anak muda khususnya, ia seringkali menghadirkan istilah yang seringkali tertinggal dan sama sekali belum diketahui oleh generasi saat ini.
Maka RUU Permusikan adalah hal yang sudah sepatutnya di tolak oleh pecinta musik dangdut pantura. Selain bertentngan dengan etos kebudayaan juga bisa menghambat kemjuan berfikir generasi pada saat ini. Dan jangan sampai generasi kita menjadi ahistoris dengan tanah kelahirannya.