Mendengar lagi adanya RUU Permusikan yang sontak membaut para pelaku musik hingga penikmatnya geram dengan adanya hal tersebut, setidaknya kita bisa melihat apa yang sedang terjadi dengan degan bangsa ini. Mulai dari penggiringan terhadap strukturalisasi hingga pemojokan terhadap ekistensi dari sebuah karya.
Meskipun bukan dengan serta-merta dengan adanya RUU tersebut blantika musik Indonesia menjadi lebih baik, sebailiknya, ia malah makin terpuruk.
Menyoal musik indie dan musik-musik yang sarat akan sub-kulturnya menjadikan pengkerdilan jika RUU tersebut di sahkan nantinya.
Kemudian bangaimana dengan musik yang dalam pengolahannya bertabrakan dengan poin-Poin dalam RUU Permusikan tersebut, seperti dangdut?
Dalam Koalisi Nasional pada 3 Februari 2019 memunculkan adanya bebrapa poin penting yang memang harus dijadikan pertimbangan bagi pemangku kebijakan (carte blanche); Pasal Karet, Meminggirkan musik independen dan berpihak pada industri besar, Memaksakan Kehendak dan Memuat informasi umum dan mengatur hal yang tidak perlu.
Dari keempat poin bantahan tersebut sudah sepatutnya pelaku musik seperti dangdut pun juga ikut menyuarakan penolakan atas RUU tersebut.
Sebab jika nantinya RUU tersebut telah dijadikan sebagai Undang-Undang, maka bisa dipastikan nuansa musik, terutama dangdut akan kehilangan esensinya.
Sebab dengan poin-poin yang terdapat dalam RUU Permusikan sudah barang tentu bertabrakan dengan apa yang biasa kita rasakan pada musik dangdut pada umumnya.
Lagi, musik Pantura atau mafhum dengan apa yang biasa di lafalkan dengan kata tarling, yang juga di dalam tersebut kaya akan nuansa budaya, selain memuat kritik sosial dalam kajian fenomenologinya, juga merepresentasi apa yang sedng terjadi dalam wilayah demografis pantura tersebut.
Kekuatan yang terdapat pada lirik dan saat ini merambah komposer musiknya menjadikan tarling terlalu naif jika tidak membicarakan segudang persoalan yang sedang di hadapi.
Musik Tarling bukan melulu soal kawin-cerai, akantetapi ia juga menyuarakan persoalan sosial seperti kenakalan remaja hingga apa yang belum tersentuh oleh musik mainstream lainnya.
Selain sebagai identitas, musik tarling juga sebagai kontrol barometer atas fakta yang yang terjadi. Lantas pada RUU yang bias akan intepretasi terutama soal pensejahteraan akan pelaku musiknya, setidaknya, menjadikan tarling akan tidak lagi terasa 'sedap' ketika di dendangkan dalam pertunjukan lokal seperti hajatan.
Panggug tarling adalah panggung hajatan, kita tidak bisa naif akan hal tersebut, dan saweran dalah representasi atas pola budaya yang selama ini tercipta darinya, bahkan bisa adalah warisan kolonial. Sebetulnya musik, apapun itu, merupakan rintihan dariapa yang sedang terjadi di masyarakat kita.
Terlebih musik dangdut pada tataran sosialnya merupakan musik yang sebagian besar di terima oleh masyarakat pesisir pantura, sebagai eksistensi akan status-quo, sebagai 'teman' dalam segala aktifitas masyarakat bahkan sebagai alat politik pada saat ini. Yang dalam hal ini arbitrase dari modus vivendi sedang dicari sebagai jawaban atas kerumitan akan adanya RUU tersebut, dengan menggalang kekuatan bersama dan tentu dengan berkarya sebagai senjatanya. Sebab karya haruslah dilawan dengan karya kata Pramoedya Ananta Toer.
Sekali lagi dangdut tarling pantura telah dijadikan berbagai medi atas kepentingan masyarakatnya. Sehingga RUU Permusikan yang di gaungkan menjadi batu sandungan atas sebuah karya dari embrio penciptanya.
Hal ini juga sudah barang tentu akan bertabrakan dengan pasal 28 UU 1945 yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, dan juga Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
Bila dalam musik dangdut atau musik-musik lainnya berbenturan dengan nilai moral maka kemudian akan di temukan tafsir baru atas musik tersebut, yang dalam RUU tersebut di sebutkan poinnya.
Maka perspektinya kadang haruslah di ubah, sebab musik membicarakan apapun, ia tidak terskat ruang dan waktu. Jadi muatan pornografi, provokasi dan kebudayaan barat adalah hal yag lumrah dalam musik.
Semua orang memiliki kapasitas tersendiri dalam menilai sebuah karya, begitu juga dengan musik. Oleh sebabnya musik adalah bukan hanya sekedar sekumpulan nada tanpa makna. Hingga tepat sekiranya atas apa yang dikatakan oleh Dzun Nun Al-Misri (w 245 H) dengan perspektifnya bahwa "Musik itu suara kebenaran yang bisa menggugah hati manusia menuju ilahi, atau menuju kebenaran."
Tarling yang telah menjadi representasi faktual sudah tentu tidak bisa di hindarkan dari hal-hal yan tabu sekalipun, ia jujur terhadap realitas.
Sebagai entitas juga sebagai barometer dari progres blantika permusiakan, musik dangdut juga berjasa telah memeberikan epistemologi baru bagi pendengar pemulanya, anak muda khususnya, ia seringkali menghadirkan istilah yang seringkali tertinggal dan sama sekali belum diketahui oleh generasi saat ini.
Maka RUU Permusikan adalah hal yang sudah sepatutnya di tolak oleh pecinta musik dangdut pantura. Selain bertentngan dengan etos kebudayaan juga bisa menghambat kemjuan berfikir generasi pada saat ini. Dan jangan sampai generasi kita menjadi ahistoris dengan tanah kelahirannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H