Oleh Ahmad Soleh
Bagi saya, Ramadhan memiliki makna tersendiri. Pada bulan suci ini, tidak hanya porsi ibadah dan amal baik yang ditambah, tetapi juga meningkatkan kemampuan menulis. Hal ini pernah saya jalani pada Ramadhan sembilan tahun yang lampau. Agaknya sudah begitu lama, tetapi kegiatan yang saya sebut sebagai project 30 hari menulis selama Ramadhan ini menjadi awal karier saya di dunia kepenulisan, bila menulis bisa dikatakan sebagai profesi.
Ya, sekira tahun 2014, saya yang saat itu masih berstatus mahasiswa S-1 di sebuah kampus ternama milik Muhammadiyah di Jakarta bertekad untuk menunaikan janji pada diri. Janji itu ialah melahirkan buku solo yang saya tabung tulisannya selama bulan Ramadhan. Di sisi lain, ini terkesan ambisius, tetapi sebenarnya yang saya lakukan tidak muluk-muluk. Minimal dengan mengisi waktu dengan target tulisan, saya akan disibukkan dengan hal-hal baik.
Bukankah memang begitu seharusnya? Bahwa Ramadhan harus kita lalui dengan kebaikan-kebaikan setiap waktunya, atau setidaknya dengan tidak melakukan hal-hal buruk. Maka, menyibukkan diri dengan banyak membaca dan mengejar target tulisan menjadi jalan ninja yang saat itu memungkinkan saya lakukan.
Kebetulan juga, pada saat itu, saya aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan organisasi. Momen itu juga saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk menangkap ide-ide dasar tulisan saya. Saat itu saya memutuskan untuk menulis setidak-tidaknya satu judul puisi dalam sehari, jadi dalam sebulan saya bisa dapat minimal tiga puluh judul puisi yang bisa dijadikan satu buku sederhana. Target yang tidak terlalu ambisius, bukan? Ya, inilah momen latihan. Bahwa menulis harus dimulai dengan paksaan, target, dan tujuan bukanlah hal yang buruk.
Setiap harinya saya selalu menyediakan waktu untuk mengamati, melihat, merasakan, juga membaca buku-buku puisi untuk pemerkayaan diksi dan kosakata. Selain itu, saya juga biasakan merenungi kembali apa yang saya tulis. Waktu itu sebetulnya sudah ada fasilitas laptop dan ponsel QWERTY, tetapi saya lebih memilih menggunakan satu buku catatan khusus.
Buku catatan khusus mirip-mirip diary sebetulnya, merupakan langkah yang menurut hemat saya bisa membuat diri lebih fokus dalam menulis kata-kata. Sebab di buku catatan kita tidak akan tiba-tiba terdanggu oleh notifikasi pesan masuk atau tayangan Youtube yang biasanya sangat menyita waktu kita. Untuk bisa konsentrasi menulis, memilih buku catatan atau diary adalah jalan yang tepat.
Saya menulis puisi-puisi dengan ragam gaya dan topik. Mulai dari isu sosial, agama, politik, dan lebih banyak sebetulnya membahas tentang perenungan diri. Di mana saya mencoba bertanya-tanya pada diri sendiri. Di sini menulis menjadi wahana membaca diri sendiri bagi saya.
Setiap perjalanan yang saya lalui dalam kegiatan Ramadhan di kampus dan luar kampus, memang tak semuanya termuat dalam puisi-puisi yang saya tulis. Saya hanya mengambil bagian-bagian yang memang bisa dikatakan sebagai momen puitis. Momen yang sebetulnya bisa direka-reka dan dibuat-buat. Namun, dengan kemampuan menulis saya saat itu, rasanya sulit untuk mereka momen puitis. Jadi, semua yang saya tulis berdasarkan panca indera, perasaan, dan imaji yang terbentuk dari pergulatan dengan kehidupan sehari-hari.
Saya pun tak menyangka, usaha iseng-iseng itu membuahkan satu buku kumpulan puisi. Puisi-puisi yang saya tulis selama Ramadhan dan beraktivitas di berbagai daerah, Jakarta, Jogja, dan Karawang. Saat puisi sudah terkumpul dan sudah disusun sedemikian rupa, sampai layak disebut draf buku, saya pun berkonsultasi dengan dekan di kampus tempat saya kuliah, namanya Pak Sukardi. Ia merupakan penyair dan budayawan Betawi yang sekarang menjadi rektor di sebuah kampus Muhammadiyah di Bogor.
Untuk Mak Eha merupakan judul yang direkomendasikan oleh Pak Sukardi. Judul yang dipilih dari salah satu judul puisi, yaitu Untuk Mak Eha. Cerita di balik puisi bertajuk Untuk Mak Eha itu sebetulnya merekam perjalanan panjang saya dan kawan-kawan menembus hutan dan bukit di sebuah daerah di karawang. Di sana tinggal seorang ibu bernama Mak Eha. Ia tinggal seorang diri. Sedang anak-anaknya sudah berpindah ke kota. Mak Eha bertahan di sana karena kesetiaannya pada almarhum sang suami yang telah wafat dan dimakamkan di salah satu sudut bukit itu.
Draf buku Untuk Mak Eha kemudian saya terbitkan secara indie lewat Penerbit Camar, penerbit indie yang saya kenal dari laman Facebook. Saat itu, penerbit indie masih belum semenjamur sekarang. Jadi, info mengenai penerbitan buku indie pun masih tidak terlalu terbuka seperti sekarang ini. Saya bangga sekali, karena buku kecil berisi 48 judul puisi itu mendapat kata pengantar dan apresiasi langsung dari pak dekan.
Buku kumpulan puisi Untuk Mak Eha menjadi buku solo perdana saya yang lahir dari project 30 hari menulis selama bulan Ramadhan. Buku yang terkadang kalau saya baca lagi, rasanya ingin saya hilangkan saja. Tapi, dipikir-pikir, biarlah saja buku itu menjadi bagian dari rekam jejak karya saya. Seburuk apa pun karya itu. Memang saya akui masih banyak kurangnya, bahkan beberapa puisi saya rasa sangat ancur dan belum layak atau belum pas dimasukkan ke dalam buku itu. Tapi, tak apalah, toh menulis buku perdana tidak harus langsung bagus banget, kan?
Nah, itulah pengalaman Ramadhan yang pernah saya lalui dengan latihan menulis tertarget. Bagaimana pengalamanmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H