Mohon tunggu...
Ahmed Rumalutur
Ahmed Rumalutur Mohon Tunggu... -

Penikmat nihilisme, metafisika Schopenhauer dan musik Wagner!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Raja Geser dan Problem Dana Desa

29 Januari 2019   23:18 Diperbarui: 30 Januari 2019   00:41 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sex Pistol, band punk paling radikal asal Inggris dekade 1970-an pernah membuat kegaduhan yang men-distorsi tradisi negara monarki ketika itu. Ikhwalnya sepele, cuma gara-gara bait lirik dalam lagu kebangsaan Inggris: God Save the Queen diubah menjadi seruan anti-fasisme melalui metode satire yang sebetulnya jenaka. 

Sayangnya, kesatiran itu dilabeli sebagai sebuah tindakan asusila dan bentuk propaganda politik yang berakhir dengan pelarangan pertunjukan sekaligus memicu mosi tak percaya di kalangan publik kala itu. Kasus Sex Pistol hanya sebagai ilustrasi singkat, terkait relasi antara Ratu Elizabeth II dan rakjatnya ketika itu. Relasi ini pula akan menjadi fokus perbincangan kita selanjutnya. Hanya saja konteksnya diperkecil: dengan mempertayakan bagaimana relasi antara bapa raja Geser dan masyarakatnya? Kira-kira begitu!

Kronologisnya begini: pekan ini kabarnya akan ada perayaan pelantikan bapa raja atau kepala desa Geser untuk periode ke II, tepatnya 25 Januari 2019 nanti. Tentu, selama masa jabatan sebelumnya, beliau perlu diberikan apresiasi dan sekaligus kritik. Kritik tentu bertujuan sebagai social control sehingga masalah-masalah umat lebih diutamakan ketimbang kepentingan pribadi yang berpotensi menciptakan conflict of interest. 

Kritik juga bertujuan membuka cakrawala. Artinya, semakin baik kerja-kerja raja, maka semakin positif pula opini publik. Namun, jika terjadi sebaliknya, maka berpotensi menciptakan ketidakpercayaan rakjat (unbelieve-society) . Pada titik inilah imaji tentang kekacauan sosial (chaos) terbentuk dengan sendirinya. Setidaknya, hal ini mengkonfirmasi teori Michael Foucalt: kekuasan dan pengetahuan bahwa raja bukanlah pemegang kekuasaan sebab kekuasaan sebenarnya tersebar di berbagai kelas sosial masyarakat. Pendeknya, masyarakat kelas bawah juga memiliiki kuasa. 

Perlu dipahami bahwa posisi bapa raja semakin hits atau populer ketika kebijakan Presiden Joko Widodo terkait dana desa betul-betul terealisasi. Pada konteks ini pula, privilege sang raja makin kuat. Tapi yang harus digaris-bawahi adalah perubahan fundamental di era Jokowi ini sejatinya bukan semata-mata tentang urgensi posisi bapa raja, tapi bagaimana masyarakat melihat fenomena ini sebagai agenda perubahan secara kolektif sehingga keterlibatan rakjat dalam merespons perubahan sosial menjadi mutlak. Rakjat berperan sebagai agent of change atau garda depan bagi kemajuan sebuah desa. Dengan kata lain, kepentingan publik menjadi prioritas nomor satu.

Seperti kata Iwan Fals, desa harus jadi kekuatan ekonomi, agar warganya tak hijrah ke kota. Indikasi dari kalimat di atas, tentu desa selama ini memiliki masalah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya pada tahun 2015, menyebutkan terdapat 20,167 jumlah desa tertinggal secara nasional dari 74.000 desa di seluruh Indonesia. 

Sementara, data dari Kementerian Desa (kemendes) mencatat dari tahun ke tahun dana desa selalu mengalami peningkatan misalnya pada 2015 pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 20,76 triliun. Di tahun 2016 anggaran meningkat menjadi Rp 46,9 triliun dan makin membesar menjadi Rp 60 triliun pada 2017 dan 2018. Bahkan, rencanya, pada 2019 ini dana desa akan meningkat menjadi 1,4 miiar per desa, jauh lebih banyak dari saat ini yakni sebesar Rp 800 juta. Ini belum ditambah Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 10 persen yang berasal dari pemerintah daerah (baca: APBD)

Transparansi Dana Desa

Pelantikan raja Geser, Swilani Kelian kali ini tampaknya harus menjadi otokritik. Pasalnya, alokasi dana desa yang tidak transparan selama periode 2015-2018 telah menimbulkan teka teki bagi masyarakat. Proyek pembangunan desa selama ini pun tidak terlihat signifikan dan marak dilakukan. Berdasarkan pengakuan warga, alokasi dana desa selama ini cuma dialokasikan untuk pembuatan kaving block. 

Akibatnya, masyarakat bertanya-tanya anggaran yang totalnya sebesar Rp 1,7 miliar selama 2015-2018 itu dikemanakan? Isu tentang nepotisme pun makin mengemuka, misalnya bendahara desa yang selama ini berasal dari kalangan keluarga. Hal tersebut tentu makin memupuk kecurigaan bagi masyarakat.

Untuk itu, periode selanjutnya, mau tak mau warga harus dilibatkan. Bendahara desa tidak perlu lagi berasal dari keluarga raja, anggaran dana desa tahun 2019 yang rencannya sebesar 1,4 miliar per desa harus lebih transparan. Perlu adanya prinsip good governance sehingga setiap pembangunan berjalan secara efektif. Rincian anggaran pembangunan desa harus dipublikasikan agar tidak menimbulkan mispersepsi.

Legalitas transparansi dana desa telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014. Pasal 82 secara tegas menyebutkan bahwa masyarakat desa berhak mendapatkan informasi, mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Masyarakat juga berhak melakukan pemantauan terhadap pembangunan desa dan melaporkan hasil pemantauan tersebut kepada pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. 

Selain itu, pemasangan baliho untuk rincian anggaran dana desa juga wajib dilakukan. Kewajiban pemasangan baliho secara hukum diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negerti (Permendagri) No 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, pasal 4O ayat 1 mengenai laporan realisasi dan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa. Harus diakui raja melakukan pemasangan baliho, hanya saja sejauh ini, hasil dari rincian pembangunan tidak dipublikasikan.

Selain problem transparansi dana desa dan isu nepotisme. Masalah lainnya adalah pembangunan SPBU Geser yang masih polemik. Terutama meyangkut status pembangunan SPBU.

Siapa Yakobis? Pemilik SPBU 

Belakangan, melalui wawancara via telephone dengan warga, SPBU ini ternyata milik seorang pedagang China bernama Yakobis. Tapi, yang masih misterius apakah proyek ini akan memberikan pemasukan bagi keuangan desa? atau kantong pribadi segelintir orang? Lagi-lagi, rakyat butuh transparansi. Sebagian masyarakat malah tidak bersepakat tentang pembangunan SPBU, sebab akan mematikan pedagang-pedagang minyak eceran.

Barangkali logika yang terbentuk dalam kepala masyarakat adalah: SPBU ini nantinya dapat menciptakan multiplier effect atau akan membuka lapangan pekerjaan sekaligus akses terhadap BBM makin mudah. Ingat, semakin mudah bukan murah! Konsep "menetas ke bawah" (trickle down effect) ala Hirschman sengaja dipaksakan dalam proyek ini --yang terbukti gagal dan hanya berpihak pada masyarakat kelas atas. Faktanya konsep ini malah menyebabkan Indonesia ambruk terdampar krisis Asia, korupsi, dan yang paling fatal adalah tumbuh suburnya rezim oligarki. (Baca: krisis finansia 98). Lantas, bagaimana seharusnya tata kelola SPBU ini?

Konsep Swa-Kelola

Pembangunan SPBU memang penting, sebab selama ini suplai BBM untuk masyarakat Geser hanya berasal dari kota Bula. Harganya berkisar antara Rp10.000 hingga Rp15.000. Tapi apakah dengan adanya SPBU ini harga BBM makin murah? Tentu tidak! Harga tetap akan mengikuti siklus pasar. Penjual bagaimanapun akan berupaya untuk memaksimalkan profit. Ini terjadi karena usaha tersebut hanya dimiliki oleh sekelompok orang.

Idealnya, proyek strategis seperti ini harusnya dibangun menggunakan dana desa, sehingga status SPBU adalah milik warga. Opsi lainnya, bisa melibatkan investor) tapi tidak 100 persen kepemilikannya. Dengan begitu, SPBU ini menjadi bisnis patungan antara warga dan investor. Hasil dari bisnis patungan ini pun dapat menjadi pemasukan bagi desa secara berkelanjutan dan tidak ada kecurigaan terhadap siapapun. Intinya, warga memiliki hak untuk mengontrol segala aktivitas bisnis SPBU dan tidak ada monopoli raja (baca: konsep perusahaan swakelola, dimana para pekerja mengontrol seluruh jalan produksi tanpa campur tangan pemilik modal dan politisi).  

PLN dan Masalah Lingkungan

Polemik lainnya adalah masalah pemindahan mesin-mesin PLN ke lokasi baru. Rencana pemindahan ini sudah empat tahun yang lalu tapi tak kunjung terealisasi. Lokasi yang menjadi target pemindahan mesin-mesin ini adalah lapangan Galakse (belakang SMA). Tapi, dapat dikatakan isu pemindahan ini hanyalah omong-kosong. Faktanya, sejak periode 2015-2018 berkuasa, raja tak sedikitpun menaruh simpati terhadap masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh PLN, misalnya air di sekitar PLN yang mulai memerah, polusi udara, teropong asap PLN yang pendek hingga menyebabkan asap tersebar ke rumah-rumah warga, dll.

Harusnya pemindahan PLN menjadi prioritas raja. Sebab hal tersebut diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup. Pasal 1 Nomor 21 menyatakan bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat energi baik secara langsung atau tak langsung mencemarkan dan merusak lingkungan hidup, membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain. Dalam UU tersebut juga dinyatakan pemerintah daerah dan perangkat daerah memiliki tanggung jawab terhadap permasalahan lingkungan. 

Penutup

Untuk itu, periode kedua kali ini harus menjadi batu loncatan bagi raja. Raja harus lebih transparan dalam alokasi anggaran desa, raja harus membuat skala prioritas terhadap pembangunan, raja perlu menjelaskan kepada masyarakat menyangkut proyek pembangunan SPBU, apakah pembangunan SPBU ini memberikan pemasukan  bagi keuangan desa? Raja juga perlu menjelaskan kenapa pemindahan PLN yang berlarut-larut. Dengan begitu semua bisa jadi lapang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun