Pada 2017 silam, dalam sebuah pidato yang tak berjudul, Presiden Joko Widodo dengan tegas mengatakan Indonesia telah memasuki revolusi industri keempat. Menurut Jokowi perubahan-perubahan besar telah terjadi di depan kita dan perubahan ini harus segera diantisipasi.
Ia pun menambahkan, dalam revolusi industri keempat, ada tiga dimensi yang perlu diketahui yakni digitalisasi, fisik dan biologis.
Dimensi digital yang disebut oleh Presiden, saya kira perlu kita explore lebih jauh, sejauh mana negara beradaptasi dan bertindak untuk menghadapi fenomena ini, khususnya di sektor e-commerce atau perdagangan elektronik.
Faktanya, pemerintah Indonesia dari kasus yang pernah terjadi beberapa tahun silam, antara pengemudi konvensional dan yang berbasis aplikasi daring, telah membuktikan jika pemerintah telat dalam menyusun formula hukum. Bahkan, untuk sektor e-commerce  sejauh ini pemerintah masih memutar otak untuk menyusun regulasi yang tepat dan tidak merugikan pihak manapun.
Tak hanya itu, maraknya ekspansi modal dari Tiongkok dalam dunia ekonomi digital juga berpotesi menciptakan pasar oligopoli yang merugikan pemain-pemain lokal.
Ekonomi digital memang memiliki model bisnis yang unik dan ekosistem yang berbeda dengan pola pola bisnis konvensional, misalnya e-commerce menggunakan perangkat media sebagai platform bisnisnya dan mengandalkan jejaring maya.
Pembeli dengan efesien dan cepat akan membeli barang yang mereka inginkan tanpa perlu berputar-putar di sebuah toko pakaian atau sejenisnya. Inilah hebatnya digital ekonomi, menghemat waktu sekaligus mempersempit ruang.
Namun, siapa sangka, ekonomi digital  yang  sebenarnya merupakan embrio kapitalisme, yang bergerak melintasi dunia tanpa batas dengan bantuan teknologi yang cepat dan pesat juga di sisi lain menciptakan paradoksal.
Banyak negara-negara berkembang (developing countries) yang tidak mampu melakukan adaptasi dengan cepat, sehingga yang muncul adalah masalah-masalah sosial yang sebelumnya tidak pernah diprediksi. Â
Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, data Asosiasi Fintech Indonesia menyebutkan ada sekitar 1,078 orang yang bekerja pada sektor digital di tahun 2014, Â 2,040 Â di tahun 2015 dan 1,074 orang di 2016. Â Dilihat dari data di atas memang ada peningkatan dari tahun ke tahun (yoy), namun data itu hanya berhasil mengurangi jumlah pengangguran sekitar 0,5 per tahun. Â
Internet dan Nilai E-CommerceÂ