Mohon tunggu...
Ahmed Rumalutur
Ahmed Rumalutur Mohon Tunggu... -

Penikmat nihilisme, metafisika Schopenhauer dan musik Wagner!

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Digitalisasi Bisnis dan Pasar Oligopoli

13 Oktober 2018   11:43 Diperbarui: 14 Oktober 2018   19:44 2604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum bicara lebih jauh tentang ekonomi digital, saya akan menunjukan terlebih dahulu seberapa masif pengunaan internet di Indonesia, ini karena tingginya penggunaan internet sangat erat kaitannya dengan transaksi bisnis online.

Data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menyebutkan sebanyak 132,7 juta orang Indonesia telah menggunakan internet. Diperkirakan, pada tahun 2020, pengguna internet di Indonesia mencapai 215 juta pengguna.

Dari angka di atas tercatat sekitar 67,2 juta orang mengakses internet melalui telephone seluler. Kemkominfo memperkirakan pertumbuhan ekonomi digital pada 2020 akan tumbuh mencapai Rp 1,700 triliun. Potensi ini akan menjadikan Indonesia sebagai raksasa ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara.  

Dari data pengguna internet di atas, saya kira tidak salah jika Bank Indonesia pada 2016 menyebutkan pengguna internet yang melakukan transaksi online di Indonesia mencapai 24,7 juta orang dengan nilai belanja mencapai Rp 75 triliun.

Sementara, Data Brand & Marketing Institute (BMI) menunjukan nilai transaksi e-commerce pada 2016 mencapai Rp 68 triliun, meningkat signifikan dari 2015 yang hanya Rp 50 triliun.  Selain itu, investasi e-commerce di Indonesia hingga 2017 diperkirakan mencapai Rp 120,3 triliun.

Melihat fenomena ekonomi digital yang makin masif, pemerintah saat ini sedang berupaya untuk melakukan revisi atas tarif pajak e-commerce yang ditetapkan saat ini sebesar 1 persen dalam PP No. 46/2013 menjadi 0,5 persen. Tujuannya adalah untuk mendorong pelaku e-commerce  nasional untuk dapat bersaing dengan produk-produk impor.

Sejak maraknya transaksi produk impor e-commerce di Indonesia, pemerintah tidak pernah memberlakukan bea masuk, baru pada April 2018, pemerintah melalui Direktorat Bea dan Cukai, menghapuskan de minimus value  atau pembebasan nilai bea masuk. Artinya, saat ini produk impor e-commerce telah dikenakan bea masuk yang ditangani oleh Pusat Logistik Berikat (PLB).

Tapi saya kira, untuk sektor e-commerce  masalahnya bukan hanya sampai disitu. Maraknya investasi Tiongkok juga menciptakan dilema baru, yakni munculnya pasar  oligopoli atau suatu kondisi dimana pasar hanya dikuasai oleh beberepa pelaku usaha saja. Untuk membuktikan itu, mari kita perhatikan data di bawah ini.

Data Google dan AT Kearney, selama periode tahun 2012 hingga Agustus 2017 menyebutkan nilai investasi China kepada perusahaan start-up terus meningkat signifikan, yakni dari senilai US$ 44 juta menjadi US$ 3 miliar. 

Beberapa perusahaan China yang memberikan modal kepada perusahaan star up Indonesia adalah Alibaba Group, yang berinvestasi sebesar US$ 1,1 miliar kepada Tokopedia, Tencent yang menanamkan investasi ke Gojek senilai US$ 1,2 miliar, sementara,  JD.com menyuntikan investasi sebesar US$ 500 juta kepada Traveloka, Expedia, East Venture, Hillhouse Capital Group dan Sequouia Capital.

Campur Tangan Negara 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun