Mohon tunggu...
Ahmad Zainudin
Ahmad Zainudin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Tempat diskusi paling bebas dan aman adalah ruang kelas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru sebagai Pemimpin Pembelajaran di Sekolah

20 April 2021   10:49 Diperbarui: 20 April 2021   11:00 9155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahmad Zainudin_CGP Angkatan 1 Kota Palembang

Pendidikan adalah cara memanusiakan manusia. Lebih tepatnya, bagaimana membuat manusia itu seutuhnya menjadi manusia. Penulis mengambil kata "Seutuhnya" bukan berarti manusia itu harus menjadi manusia yang sempurna bak malaikat karena sejatinya tidak ada manusia yang bisa sempurna. Kata "Seutuhnya" disini lebih mengarah sebagai proses pendewasaan diri baik melalui karakter dan pola pikir sesuai tuntutan zaman.

Di lingkungan sekolah, tugas untuk memanusiakan manusia itu diemban oleh seorang guru. Guru memiliki peran penting sebagai pemimpin pembelajaran untuk mendidik peserta didik dengan segala sumber daya yang ada dengan pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Ini selaras dengan pendapat Ki Hajar Dewantara dengan konsepnya Filosopi Pratap Triloka; Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Melalui filosopi Pratap Triloka ini, guru dapat mengaplikasikannya sebagai pemimpin pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid dengan harap dapat membentuk pemimpin-pemimpin di masa depan.

Lalu, apa yang menarik dari tiga konsep Filosopi Pratap Triloka ini yang berkaitan dengan pemimpin pembelajaran di sekolah?

Ing ngarsa sung Tulada yang artinya di depan membeli teladan. Guru harus menjadi contoh baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Contoh baik ini yang akan ditularkan kepada warga sekolah melalui sikap baik guru itu sendiri. Komunikasi yang baik, menghargai pendapat, santun, berpikir positif, dan toleransi adalah diantara beberapa sikap baik yang muaranya akan menimbulkan budaya positif di sekolah. Guru juga berusaha menanamkan jiwa karakter kepemimpinan kepada peserta didik dengan memainkan peran sebagai pemimpin dalam setiap perilaku pembelajaran.

Ing madya mangun karsa yang artinya membangun kemauan. Guru bisa mengenali potensi-potensi yang dimiliki peserta didik. Bagaimana potensi itu digali dan mampu diterapkan oleh mereka. Guru tidak boleh sekalipun bersikap seolah-seolah "meremehkan apa yang dimiliki peserta didik" melainkan "mampu melihat setiap potensi yang dimiliki peserta didik". Disamping itu, guru membawakan pengaruh positif kepada sesama rekan sejawat untuk terus berprestasi dan berkarya di lingkungan sekolah. Seperti kata Mas Menteri, Nadiem Makarim, mengungkapkan bahwa "Guru yang baik adalah guru yang mampu mendorong dan memotivasi murid dan rekan-rekan lainnya untuk mengeluarkan potensi terbaik yang mereka miliki." 

Tut wuri handayani yang artinya di belakang memberi dorongan. Disini guru sebagai penuntun murid berdasarkan kodratnya. Lalu, menambahkan nilai-nilai dengan karakter dan pengetahuan yang guru miliki. Motivasi murid, adalah kuncinya untuk terus mengembangkan potensi yang dimiliki murid.

Pada praktiknya, tidaklah mudah menjadi seorang guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran di sekolah. Penulis katakan 'tidaklah mudah' namun bukan berarti 'tidak bisa'. Oleh karena itu setiap pengambilan keputusan yang diambil, guru mampu menerapkan nilai-nilai yang ada di dalam dirinya dengan berdasarkan pada paradigma dan prinsip dilema etika. Ada pemikiran yang matang dan logika yang runtun di setiap permasalahan, karenanya didukung dengan sembilan langkah pengambilan keputusan yang tepat.

Penulis melihat tentu guru pernah dihadapkan dengan kondisi dilema etika dan bujukan moral. Dilema etika merujuk kepada kondisi dengan mempertimbangkan nilai benar vs benar; kondisi dimana ketika seseorang dihadapkan dua pilihan yang secara moral atau nilai benar namun bertentangan. Sedangkan, bujukan moral yakni kondisi dimana seseorang dihadapkan dengan kondisi benar vs salah; kondisi yang jelas untuk membuat keputusan benar vs salah.

Ditambah lagi, dalam pengambilan keputusan perlu adanya coaching (bimbingan). Penulis merefleksikan bahwa sebagai guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik kepada murid untuk mengenali karakter dan emosional mereka. Menjadi komunikasi yang asertif kuncinya. Banyak mendengar dan memberikan pertanyaan yang menuntun murid sendiri untuk mengenali diri mereka dan membuat komitmen apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Cobalah untuk banyak meluangkan waktu untuk murid jika mereka sedang butuh 'hal untuk didengar', lalu liat cerahnya wajah mereka jika guru tersebut mampu 'mendengar dan menuntun' mereka dengan bahagia.

Dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, perlu diketahui guru juga manusia biasa. Guru juga pernah mengalami up and down dalam setiap detik yang dijalaninya. Sebaiknya, guru juga bisa mengambil keputusan yang tepat yang bisa berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman. Oleh karena itu, sebagai guru memiliki pengendalian diri yang mencakup pengendalian sosial dan emosional sehingga bisa melihat masalah secara jernih dan luas. Pengelolaan emosi menghadapai permasalahan yang di hadapi apalagi  keanekaragaman karakteristik potensi murid serta masalah sosial murid. Oleh karenanya, guru perlu memahami Kompetensi Sosial Emosional (KSE) yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pendidik.

Disamping itu pembelajaran KSE harus dikombinasikan dengan pembelajaran diferensiasi yang dimana memberikan pembelajaran dengan mengeluarkan potensi dan sesuai minat bakat murid. Lakukan pemetaan sederhana untuk mengidentifikasi gaya belajar yang cocok untuk diterapkan berdasarkan gaya belajar murid-murid itu sendiri. Murid juga merasa senang belajar karena mereka ikut terlibat dalam menentukan cara belajar yang mereka inginkan. Dengan ditambah refleksikan diri terhadap filosopi Ki Hajar Dewantara bahwa hakikatnya guru perlu menuntun peserta didik untuk mengenali dan menemukan dirinya.

Seorang pemimpin pembelajaran dapat mengambil keputusan yang dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya. Kolaborasi dibutuhkan dalam hal ini. Sinergi antara murid, guru, kepala sekolah, orang tua dan masyarakat untuk membentuk mutu pendidikan yang lebih baik. Proses Coaching bisa jadi alternatif pendekatannya, lakukan komunikasi yang asertif antara seluruh pihak sehingga dapat menemukan solusi dalam menghadapi permasalahan yang terjadi. Membangun hubungan positif antar warga sekolah.

Kesimpulan akhir, dalam pembelajaran berdiferensiasi, kompetensi sosial emosional, dan coaching memiliki koneksi yang berkaitan untuk pengembangan kompetensi guru baik secara akademik maupun sosial. Ditambah dengan refleksi Ki Hajar Dewantara, merefleksikan bahwa setiap anak mempunyai keunikan sendiri yang terlahir dari kodrat zaman dan kodrat alam. Guru berperan sebagai penuntun bukan penuntut, agar potensi-potensi yang ada pada anak akan menjadi kekuatan modal untuk menggapai harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun