Melihat dari Standar ke -5: Slogan "SMK Bisa!" Kok Banyak Nganggur? Â Â
Oleh
Luluk Aulia Aghni dan Ahmad Zainudin
Pendidik yang suka makan cilok
Ada yang menarik dari debat cawapres hari Minggu kemarin (17 Maret 2019), salah satu topik yang dibahas yaitu mengenai pendidikan. Mereview apa yang dipaparkan salah satu paslon yaitu lulusan SMK atau sekolah kejuruan/vokasi mendominasi persentase pengangguran paling tinggi. Katanya "SMK Bisa!". Lalu, bisa apa?
Di era global ini, pertumbuhan bisnis dan industri sangat tinggi.  Semakin tinggi pertumbuhan suatu industri di suatu negara, semakin tinggi  pula permintaan sumber daya manusia yang mereka butuhkan. Meningkatkan sumber daya manusia adalah 'Pekerjaan rumah' bagi pemerintah kita untuk bisa bersaing dengan negara lain, salah satu caranya melalui pendidikan kejuruan.
Untuk memenuhi tingginya permintaan sumber daya manusia, SMK harus mengembangkan dan meningkatkan jaminan dan kontrol kualitas mereka. Berdasarkan peraturan pemerintah no.32 / 2013 sebagai amandemen peraturan no.19 / 2005, jaminan dan kontrol kualitas pendidikan yang berdasarkan Standar Nasional Pendidikan harus dilakukan dalam 3 program yaitu evaluasi, akreditasi dan sertifikasi. SMK yang baik harus diakreditasi oleh pemerintah karena akreditasi adalah salah satu wujud dari jaminan dan kontrol kualitas pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (Siringoringo, Daryanto & Rahman, 2017).
Akreditasi sekolah menengah kejuruan, negeri atau swasta, harus mengikuti 8 standar nasional yang dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun fokus artikel ini adalah standar ke-5 yaitu standar sarana dan parasarana yang perlu diperhatikan.
Lalu, apa yang perlu diperhatikan pada sarana dan prasarana SMK Kita?
Ada 27 item dari isi standar ke-5 sarana dan prasarana. Dua pilar utama dari sekolah kejuruan yaitu setiap sekolah kejuruan perlu memiliki unit produksi/business center dan fasilitas bursa kerja untuk mengakomodasi kebutuhan siswa agar siap untuk tempat kerja.
Memang sangat ironis, jika sekolah kejuruan tidak memilik 2 pilar diatas. Bagaimana bisa disebut kejuruan jika tidak memiliki ruang produksi sendiri. Sekolah kejuruan perawat tidak memiliki laboratorium pribadi lengkap dengan alat kesehatan. Ataupun, sekolah kejuruan perhotelan belum memiliki ruang table manner pribadi.
Masih ada masalah dalam kualitas pendidikan untuk sekolah menengah kejuruan, sekolah menghadapi masalah dalam penyediaan peralatan untuk praktik kerja. Slamet (2010) menyatakan bahwa penelitian menunjukkan 55% peralatan praktis sekolah kejuruan berada di bawah fasilitas dan infrastruktur standar nasional. Sebagian besar gurunya pun tidak cukup ICT untuk menangani peralatan. Oleh karena itu, akan berdampak pada kompetensi lulusan.
Lebih lanjut, Slamet (2010) menegaskan fakta bahwa tidak setiap sekolah menengah kejuruan di Indonesia mampu menyediakan bengkel dan laboratorium modern atau membangun kerja sama yang kuat dengan perusahaan (pilar ke 2). Hal ini sangat berlawanan terkait dengan ekspektasi global, sekolah kejuruan perlu memiliki gedung praktik, workshop, agar siswa dapat mengaplikasikan ilmunya dengan keterampilan kompetensi.
Fakta dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah & Madrasah (BAN-S / M) (2017) menunjukkan hasil di Wilayah Sumatera Selatan, ada 27 sekolah menengah kejuruan yang telah terakreditasi dari setiap jurusan di sekolah. Dari 27 sekolah menengah kejuruan, ada satu sekolah kejuruan swasta yang mendapat nilai D di salah satu jurusan yang ditawarkan di sekolah itu, 4 jurusan dari sekolah menengah kejuruan yang berbeda, 2 sekolah swasta dan 1 sekolah negeri mendapat C dan jurusan lain dari sekolah lain mendapat nilai A dan B.
Ditambah angka pegangguran di Sumatera Selatan mencapai 109 ribu, dan penyumbang angka pengangguran tertinggi berdasarkan tingkat pendidikan yakni dari Sekolah Menengah Kejuruan.
Ada keliru karena lulusan SMK itu harus tersalurkan ke dunia kerja. Pemerintah harus bisa memberikan solusi terkait pengembangan keterampilan mereka yang terbatasi karena minimnya sarana dan prasarana. Anggaran harus tepat sasaran mungkin?
Ataupun pemerintah membangun pusat pelatihan yang langsung bisa tersalurkan bekerja sama dengan industri terkait yang relevan.
 "Jangan sampai niat masuk SMK untuk dapat kerja malah nganggur. Harus adakan perubahan karena SMK Bisa!"
Karena penulis percaya adanya korelasi antara fasilitas dan infrastruktur dengan prestasi belajar siswa di sekolah kejuruan akan menunjukkan hasil yang positif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI