Ahmad Zulha FikriÂ
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJÂ
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu negara. Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia bisa dilihat dari kualitas pendidikan di negaranya. Apabila sistem pendidikan di sebuah negara bagus maka bisa dikatakan kualitas dari sistem pendidikan negaranya juga bagus.
Sebaliknya, apabila kualitas pendidikan di suatu negara buruk maka kualitas sumber daya manusianya juga buruk, hal ini karena pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui proses pembelajaran yang dilakukan yang kemudian berpengaruh terhadap pola pikir dalam menjalankan kehidupan sehari - hari.Â
Disisi lain, adanya pandemi menjadi tantangan tersendiri untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Adanya pandemi covid - 19 berdampak pada sektor  pendidikan, pembelajaran yang tadinya dilaksanakan secara offline kini dilaksanakan secara online, beruntungnya dalam rangka mencegah meluasnya penyebaran virus dan pemulihan pendidikan di masa pandemi pemerintah Indonesia dalam hal ini adalah kementerian pendidikan mengeluarkan berbagai kebijakan.
Salah satu kebijakan yang menarik adalah adanya kebebasan memilih kurikulum. Pemerintah menawarkan beberapa kurikulum yang bisa di terapkan di satuan pendidikan seperti kurikulum darurat  yang membebaskan tiap sekolah untuk memilih tiga opsi kurikulum yaitu tetap mengacu pada kurikulum nasional, menggunakan kurikulum darurat atau melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri dan yang terbaru yang akan diterapkan di tahun 2022 adalah kurikulum prototipe.
Tulisan ini akan fokus membahas beberapa poin penting yang terdapat di kurikulum prototipe yang menjadi salah satu bentuk kebebasan dalam pendidikan dilihat dari persfektif salah satu tokoh pendidikan progresif dunia yaitu Jhon Dewey.Â
Adanya kurikulum prototipe ditujukan sebagai opsi tambahan untuk institusi pendidikan dalam rangka pemulihan pembelajaran selama 2022 - 2024 juga didasari atas fleksibilitas kondisi pembelajaran yang terjadi di masa pandemi, di mana pembelajaran dilakukan secara online.  Dilaksanakannya pembelajaran secara online bukan berarti pasrah akan keadaan dan membiarkan kualitas pendidikan menurun, kita semua tentu ingin walaupun pembelajaran dilakukan secara online kualitas dan pemulihan dari proses pembelajaran di masa pandemi tetap bertahan dan ditingkatkan.
Hadirnya kurikulum prototipe menjadi angin segar bagi terciptanya kualitas pendidikan yang baik serta kebebasan pendidikan di Indonesia. Pasalnya selama ini kita dihadapkan oleh pola kurikulum yang cenderung tradisional yang memahami materi pembelajaran sebagai sebuah hal yang baku, siswa hanya menerima mata pelajaran tanpa adanya diskusi, atau meminjam analogi dari Paulo Freire kegiatan pendidikan selama ini ibarat kegiatan menabung, peserta didik adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya, peserta didik hanya sekadar menerima pengetahuan, mencatat dan mengafal tidak ada proses komunikasi di dalamnya tidak ada kebebasan.Â
Hal tersebut berbeda dengan kurikulum prototipe, ada beberapa poin yang menunjukkan adanya kebebasan di kurikulum ini di antaranya;
Pertama, peserta didik khususnya kelas XI dan XII bisa memilih mata pelajaran sesuai dengan minatnya yang mendukung cita citanya. misalnya siswa yang memiliki minat di bidang IPA dan memiliki cita - cita menjadi dokter maka ia bisa mengambil mata pelajaran yang sesuai seperti biologi, fisika atau kimia. sama halnya siswa yang memiliki minat di bidang IPS dan bercita cita ingin menjadi Akuntan bisa mengambil mata pelajaran seperti ekonomi. Tidak hanya itu, siswa juga bisa mengombinasikan dengan mata pelajaran dari IPA atau IPS yang sesuai dengan rencana kariernya.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Jhon Dewey dalam (Wasitohadi, 2014: 49-61) mengenai kurikulum, Dewey berpendapat perlunya menempatkan serta kebutuhan minatnya sebagai sesuatu yang sentral. Mata pelajaran, mereka claim, seharusnya dipilih dengan mengacu pada kebutuhan siswa. Kebutuhan siswa ini tergantung dari minat dan tujuan mereka, semakin terpenuhi kebutuhan mata pelajaran yang mereka dapat, semakin cepat tujuan tercapai.
Kedua, adanya tugas dalam bentuk proyek. Kurikulum prototipe menerapkan model pembelajaran dalam bentuk proyek untuk mengembangkan soft skill dan karakter yang dilakukan  asesmen lintas mata pelajaran. Penilaian proyek pada jenjang SD paling sedikit diterima siswa sebanyak dua kali dalam setahun, dan jenjang SMP, SMA/SMK paling sedikit tiga kali dalam setahun.Â
Adanya penugasan proyek ini secara tidak langsung memberikan pengalaman yang berbeda dibandingkan dengan tugas yang hanya sekadar menyalin buku bacaan saja dan tentunya berdampak kepada bagaimana siswa bisa menyelesaikan masalah dalam proyek yang dikerjakan. ini juga memberikan siswa banyak kebebasan untuk memilih dalam mencari - cari situasi, belajar berpengalaman yang akan memberikan makna bagi dirinya dalam hal ini, kelas dipandang tidak hanya sebagai tempat untuk bersekolah tetapi dipandang sebagai tempat mencari pengalaman.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dewey dalam (Wasitohadi, 2014: 49-61) kurikulum mestinya dibangun di seputar pertanyaan - pertanyaan mendesak dari pengalaman pengalaman yang di alami dan dirasakan oleh siswa. Mata pelajaran sekolah yang tradisional seperti seni, sejarah, matematika, membaca, dan lain lain mestinya dapat disusun ke dalam teknik problem solving yang berguna untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan pengalaman siswa untuk belajar materi - materi tradisional sebagaimana mereka belajar pada problem - problem atau isu isu yang telah menarik mereka dalam pengalaman sehari - hari.
Ketiga, adanya fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid atau teach at right level. adanya fleksibilitas bagi guru memberikan kebebasan guru untuk menerapkan metode yang sesuai dengan anak didiknya dan mempermudah mendikte kemampuannya. ini tentu lebih efektif dibandingkan dengan menyamaratakan semua kemampuan peserta didik.
Ketiga poin yang sudah dijelaskan di atas menjadi nilai positif bagi pendidikan di Indonesia ke depannya. Hadirnya kurikulum prototipe semoga bisa menjadi "starting point" kemajuan pendidikan di Indonesia karena di dalamnya  mengedepankan nilai - nilai kebutuhan dan kebebasan dalam proses pembelajaran demi sistem pendidikan yang lebih baik.
Referensi
Mustagfiroh, S. (2020). Konsep "merdeka belajar" persfektif progresivisme John Dewey. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 3(1), 141-147.
Sujarwo, S. (2013). Pendidikan Di Indonesia Memprihatinkan. Jurnal Ilmiah WUNY, 15 (1).Â
Wasitohadi, W. (2014). Hakekat Pendidikan Dalam Persfektif Jhon Dewey Tinjauan Teoritis. Satya Widya, 30(1), 49-61.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H