Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Jhon Dewey dalam (Wasitohadi, 2014: 49-61) mengenai kurikulum, Dewey berpendapat perlunya menempatkan serta kebutuhan minatnya sebagai sesuatu yang sentral. Mata pelajaran, mereka claim, seharusnya dipilih dengan mengacu pada kebutuhan siswa. Kebutuhan siswa ini tergantung dari minat dan tujuan mereka, semakin terpenuhi kebutuhan mata pelajaran yang mereka dapat, semakin cepat tujuan tercapai.
Kedua, adanya tugas dalam bentuk proyek. Kurikulum prototipe menerapkan model pembelajaran dalam bentuk proyek untuk mengembangkan soft skill dan karakter yang dilakukan  asesmen lintas mata pelajaran. Penilaian proyek pada jenjang SD paling sedikit diterima siswa sebanyak dua kali dalam setahun, dan jenjang SMP, SMA/SMK paling sedikit tiga kali dalam setahun.Â
Adanya penugasan proyek ini secara tidak langsung memberikan pengalaman yang berbeda dibandingkan dengan tugas yang hanya sekadar menyalin buku bacaan saja dan tentunya berdampak kepada bagaimana siswa bisa menyelesaikan masalah dalam proyek yang dikerjakan. ini juga memberikan siswa banyak kebebasan untuk memilih dalam mencari - cari situasi, belajar berpengalaman yang akan memberikan makna bagi dirinya dalam hal ini, kelas dipandang tidak hanya sebagai tempat untuk bersekolah tetapi dipandang sebagai tempat mencari pengalaman.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dewey dalam (Wasitohadi, 2014: 49-61) kurikulum mestinya dibangun di seputar pertanyaan - pertanyaan mendesak dari pengalaman pengalaman yang di alami dan dirasakan oleh siswa. Mata pelajaran sekolah yang tradisional seperti seni, sejarah, matematika, membaca, dan lain lain mestinya dapat disusun ke dalam teknik problem solving yang berguna untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan pengalaman siswa untuk belajar materi - materi tradisional sebagaimana mereka belajar pada problem - problem atau isu isu yang telah menarik mereka dalam pengalaman sehari - hari.
Ketiga, adanya fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid atau teach at right level. adanya fleksibilitas bagi guru memberikan kebebasan guru untuk menerapkan metode yang sesuai dengan anak didiknya dan mempermudah mendikte kemampuannya. ini tentu lebih efektif dibandingkan dengan menyamaratakan semua kemampuan peserta didik.
Ketiga poin yang sudah dijelaskan di atas menjadi nilai positif bagi pendidikan di Indonesia ke depannya. Hadirnya kurikulum prototipe semoga bisa menjadi "starting point" kemajuan pendidikan di Indonesia karena di dalamnya  mengedepankan nilai - nilai kebutuhan dan kebebasan dalam proses pembelajaran demi sistem pendidikan yang lebih baik.
Referensi
Mustagfiroh, S. (2020). Konsep "merdeka belajar" persfektif progresivisme John Dewey. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 3(1), 141-147.
Sujarwo, S. (2013). Pendidikan Di Indonesia Memprihatinkan. Jurnal Ilmiah WUNY, 15 (1).Â
Wasitohadi, W. (2014). Hakekat Pendidikan Dalam Persfektif Jhon Dewey Tinjauan Teoritis. Satya Widya, 30(1), 49-61.
.