Mohon tunggu...
Ahmad Yudi S
Ahmad Yudi S Mohon Tunggu... Freelancer - #Ngopi-isme

Aku Melamun Maka Aku Ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Narapidana dan Cerita yang Belum Selesai

23 Maret 2020   11:34 Diperbarui: 23 Maret 2020   13:28 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tinggal menghitung jam menuju eksekusi. Setelah menjalani sidang putusan terakhirnya, sang Napi tak banyak bergeming. Pandangannya jatuh ke bawah bahwa ia pasrah akan hasil final meja hijau itu. Tak lama kemudian tubuhnya diringkus polisi dan diseret menuju mobil tahanan untuk dipindahkan ke rutan para napi. Dari jauh tampak seorang pengacara mengejar kliennya yang akan menjalani hukuman mati.

"Tunggu sebentar!" ucap pengacara itu. Napasnya tersengal-sengal.

"Saya telah berusaha sebisa mungkin untuk Anda. Terkadang jalan hidup seseorang tidak bisa ditebak ujungnya. Perkenankanlah saya mengucapkan salam perpisahan dengan sebuah cerita pendek ini."

Pengacara itu menyodorkan manuskrip cerita kepada Napi itu. Sang Napi tersenyum dan mengangguk, kemudian ia bersalaman dengan pengacaranya dan seketika lenyap dari hadapannya.

Sang Napi dipindahkan ke rutan lain, tempat dimana terdapat ruang eksekusi para napi didalamnya. Langkah kaki membawanya menyusuri lorong-lorong rutan dengan voltase bertegangan rendah dan sepi ditambah sikap dingin sipir penjara membuat atmosfer penjara semakin mencekam.

"Kamu tunggu disini. Nanti kami akan kembali jika waktunya tiba." ucap salah seorang sipir yang mengantarkannya ke sebuah ruang isolasi. Sang Napi dibiarkan seorang diri di ruang tersebut untuk beberapa saat.

Hening dan sepi. Tak ada kawan bicara di saat-saat terakhirnya. Paling tidak untuk mencurahkan isi hatinya ataupun hendak berwasiat. Namun ia memilih untuk menunggu; menunggu ajal menjemputnya.

Sang Napi teringat manuskrip cerita yang diberikan oleh pengacaranya sebelum berpisah. Ia merogoh saku celananya dan mulai membaca manuskrip cerita itu. Saat-saat terakhir ia habiskan dengan membaca manuskrip itu sebelum sipir kembali lagi, mungkin bersama algojo yang akan menyudahi hidupnya.

_____


Senja kala itu, sepasang kekasih beradu mesra di tepi pantai. Tampak segerombolan burung laut terbang ke arah selatan untuk menghabiskan musim semi dengan berkembang biak. Keramaian pantai sore itu membuat sepasang kekasih tampak bersemangat menggelorakan asmaranya.

"Kanda, kita sudah lama ini pacaran. Kapan kamu menghadap bapak aku?" Sang perempuan membuka pembicaraan.

Laki-laki itu tak langsung menanggapinya melainkan dengan senyuman. Tangannya mulai menyentuh rambut perempuan itu dan membelai layaknya sepasang suami istri.

"Gak usah genit deh, jawab Kanda. Cewek itu butuh kepastian. Apa gak bosen begini terus?" ucapnya lagi dengan penekanan.

"Sabar. Suatu saat Kanda pasti menemui orang tuamu. Sementara waktu Kakanda sedang menabung untuk menghalalkanmu." bujuk laki-laki itu.

Rona pipi perempuan itu memerah. Tampak merona dengan bibir tipisnya yang tersungging merah merekah. Sebisa mungkin ia menyembunyikan ke-geer-annya bahwa ia tengah di landa asmara. Samar-samar tatapan mata laki-laki itu menembus mata perempuan bak panah dewa cinta. Melihatnya membuat detak jantungnya saling berkejaran. Bibirnya terlihat basah dan uratnya menegang.

Semakin laki-laki itu menyemburkan kata-kata gombalan, semakin layu perempuan itu dibuatnya. Mengatasi kekalapannya, ia mengalihkan perhatiannya kemudian tangan laki-laki itu disambut oleh perempuan itu lalu ditariknya untuk berjalan beriringan menyusuri jalanan di tepi pantai. Mereka berdua menghabiskan malam dengan berjalan di pinggir pantai dan menepi untuk menyantap  jagung bakar Mak Rinah.

"Bagaimana kabar bacaanmu, apakah sudah selesai?" Laki-laki itu memulai percakapan.

"Belum. Butuh waktu untuk menyelesaikan buku dengan bab-bab yang terkadang sulit dipahami" jawabnya.

Laki-laki itu tak menjawab. Ia hanya melempar senyum kemudian melanjutkan membersihkan jagungnya.

"Cowok yang misterius." timpal perempuan itu disambut gelak tawa Mak Rinah, penjual jagung bakar.

_____


Setelah selesai berurusan dengan jagung bakar, sepasang kekasih kembali ke desa. Perempuan tersebut tinggal di desa yang jaraknya tak jauh dari bibir pantai, sebuah perkampungan para nelayan. Mereka berdua melewati ladang warga sebagai jalan pulang sembari bersenda gurau di bawah sinar rembulan. Dari kejauhan tampak dua sosok pria mengikuti mereka dari belakang. Sepasang kekasih itu tak sadar bila mereka sedang dibuntuti dua orang begal. Dengan balok kayu tergenggam kuat ditangannya, begal tersebut siap mengayunkannya ke tubuh korban.

"Brakkkk!"

"Kandaa!" teriak perempuan itu. Ia kaget bukan kepalang. Sebuah balok kayu menghantam tubuh pacarnya dengan kuat dari belakang. Pria tersebut seketika roboh setengah sadar. Laki-laki itu berusaha bangun walau kepalanya pusing setelah menghantam sebatang pohon didepannya.

"Serahin uang dan hartamu atau tamat disini!" ancam begal itu.

"Kami tidak membawa apa-apa" jawab perempuan itu.

Tidak lekas percaya, di geledah pakaian mereka. Begal tidak menemukan benda berharga satupun pada kedua korbannya. Kedua begal tersebut kebingungan. Tidak ada satu koin pun yang bisa mereka jarah untuk hari ini. Namun, begal tersebut terpesona melihat kemolekan perempuan yang barusan mereka jerat. Hawa nafsu membuncah dan tanpa berpikir panjang para begal mulai mengeksekusi tubuh perempuan itu.

"Karena tidak ada barang yang bisa kami ambil, minjam tubuhmu sebentar juga jadi." ucap begal.

"Jangan. Aghhh. Tolong!!!" teriak perempuan itu sembari memberontak.

Mulut perempuan itu disumpal dan tangannya di ikat. Kedua begal tersebut mulai beraksi untuk memperkosa perempuan itu.

"Beraninya kalian." teriak laki-laki itu setelah bangun dari setengah kesadarannya.

Kedua begal tersebut kaget, mengira bahwa laki-laki itu tidak akan bangun untuk beberapa saat setelah hantaman yang keras. Seorang begal mulai mengancam dengan menyodorkan pisau ke arah kekasihnya yang kini dalam bahaya, dan begal lainnya mulai mendatangi laki-laki itu untuk menghabisinya.

Seketika duel terjadi antara begal dan laki-laki itu. Dengan pisau ditangan begal itu berusaha menghunuskannya ke laki-laki itu. Setiap hunusan pisau berhasil di elak namun, "Jrettt" pisau tersebut menyayat perut laki-laki itu yang nyaris tertusuk bila tidak di tangkis. 

Begal tersebut tetap menyerengsek maju menghujam dengan pukulan dan tendangan lain, hingga pada tangkisan telak laki-laki itu, pisau yang dihunuskan begal tersebut berbalik menusuk perut begal sendiri. "Arghh!" begal meringis kesakitan.

Pisau tersebut menancap di perutnya dan mulai menyemburkan darah banyak. Kemudian laki-laki tersebut menerjang hingga begal itu tumbang dan menginjaknya tepat di pisau tersebut sehingga menembus dan sobeklah perut begal tersebut. Beberapa menit kemudian, tamatlah begal tersebut akibat kehabisan darah.

Begal yang melihat temannya mati berduel menjadi ketakutan. Lalu ia melepaskan ikatan dan sumpalan dari perempuan yang hendak diperkosanya kemudian melarikan diri. Melihat laki-lakinya berduel, perempuan itu tampak syok melihat seorang pria paruh baya mati di tangan kekasihnya. Laki-laki itu mulai mendatangi perempuan itu dan memeluknya.

"Untung aku segera bangun dan menghajar begal itu sehingga kamu tidak jadi diapa-apain oleh mereka." kata laki-laki itu

"Kamu tadi cukup nafsu, tenangkanlah sejenak dirimu" jawab perempuan itu sembari memeluk erat baju lusuh laki-laki itu.

"Aku tidak sanggup dan tidak terima jika kamu diperkosa sama  mereka."

"Maksudmu?"

"Mari, aku antar pulang" tutup laki-laki itu menyudahi malam mereka di tengah ladang.

_____


Tiga hari setelah kejadian mengerikan di ladang, masyarakat desa dibuat geger dengan penangkapan seorang laki-laki yang dituduh sebagai pembunuh. Pelapor datang dari seorang warga desa sebelah dan mengaku sebagai teman korban. Pelapor tersebut tidak lain adalah saksi pembunuhan alias begal yang melarikan diri setelah rekannya tewas berduel. 

Perempuan itu bersedia menjadi saksi sekaligus pembela atas perkara yang menimpa kekasihnya. Laki-laki yang kini berstatus sebagai tersangka mulai di proses di pengadilan. Berbagai sidak, uji rekayasa hingga barang bukti di gelar.

"Apakah layak cinta di bela dengan pembunuhan?" Jaksa melemparkan pertanyaan dalam sidang.

"Sebenarnya mereka korban yang berusaha membela diri. Jelas saksi ini adalah begal." Timpal seorang pengacara.

Ruang pengadilan di sesaki dengan adu argumen dan melempar ayat dan pasal. Tak cukup dalam sekali, sidang digelar hingga beberapa kali, sampai pada akhirnya sidang terakhir di gelar sebagai putusan final menurut hukum.

"Jelas sudah, seorang itu mati karena dibunuh. Dengan ketetapan hukum yang berlaku, dengan ini dinyatakan saudara di hukum mati. Tok tok tok!"

Ruang pengadilan riuh dengan putusan hakim. Di pojok ruang sidang, perempuan itu menitikkan air mata. Cinta yang telah mereka bangun kini mesti roboh dengan hukum. Begitulah hukum, ia yang menyatukan dan memisahkan sebuah cinta. Perempuan itu mendatangi kekasihnya yang segera akan menjalani hukuman mati. Lewat pelukan yang terakhir, kedua kekasih tersebut berpisah tanpa sepatah kata pun.

_____


"Kreetttt" suara pintu karatan digeser berat membuyarkan perjalanan membacanya. 

"Sudah waktunya. Saatnya mengakhiri cerita, Pak." ucap salah seorang sipir penjara. Wajah Napi itu tampak teduh, ada lara yang berusaha disembunyikan. Manuskrip cerita yang diberikan pengacaranya ternyata perjalanan kisahnya dari awal timbulnya kasus pembunuhan hingga hukuman mati yang akan mengakhirinya. 

"Cerita ini belum selesai, ia hanya klimaks. Klimaks." ucap Napi itu.

Para sipir mulai membawa Napi tersebut ke ruang eksekusi. Ruangan tersebut tampak sepi, namun dari kejauhan seperti ada yang mengintainya. Tubuh sang Napi di ikat pada sebuah tiang eksekusi. 

"Tunggu. Tolong berikan manuskrip cerita ini ke kekasih saya. Jika berkenan, ia boleh melanjutkan cerita itu, entah apakah dengan itu saya akan diingat sebagai kekasihnya atau sebagai narapidana." Titipnya. Sipir tersebut hanya mengangguk kecil dan menerima manuskrip tersebut kemudian pergi meninggalkannya.

Mulut senapan laras panjang mulai di bidik ke arah narapidana dari jarak beberapa meter, dengan mata ditutup para algojo tinggal menunggu komando untuk melepaskan tembakan. "Bidik, siap. Tembak!" Ctasss..

Tak lama kemudian, Narapidana itu menghembuskan napas terakhirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun