Mohon tunggu...
Ahmad Yudi S
Ahmad Yudi S Mohon Tunggu... Freelancer - #Ngopi-isme

Aku Melamun Maka Aku Ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sajak "Ibu Indonesia" yang Melemahkan Indonesia

3 April 2018   18:22 Diperbarui: 4 April 2018   05:42 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukmawati Soekarnoputri sedang membacakan puisinya yang berjudul “Ibu Indonesia”. Gambar: radarindonesianews.com

Lentera Ibu Pertiwi kembali di buat ricuh oleh sebuah sajak yang berjudul "Ibu Indonesia", karya Sukmawati Soekarnoputri yang merupakan budayawati sekaligus putri dari presiden pertama Indonesia, Soekarno. Puisi tersebut dibacakan oleh Ibu Sukmawati dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018.

Pasalnya, puisi yang Sukmawati ciptakan disinyalir mengandung unsur SARA, dimana perkara Adzan dan Cadar dibandingkan dengan Kidung Ibu Indonesia, yang pada akhirnya menuai kontroversi dari berbagai pihak. Berikut sajak "Ibu Indonesia" ciptaan Sukmawati Soekarnoputri.

Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat

Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta

Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu

Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Mengingat betapa luasnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang didalamnya terdiri atas berbagai macam suku, agama, ras, bahasa, dan budaya menjadi tanggung jawab bersama dalam menjaga keanekaragaman dalam bingkai persatuan. Pancasila sebagai falsafah negara memakanainnya dengan Bhinekka Tunggal Ika.

Puisi ciptaan Sukmawati kini menjadi sorotan publik di media massa. Tidak hanya mengundang opini publik, namun menjadi persoalan bagi Kapitra Ampera, pengacara Habib Rizieq Syihab dan pengurus Persaudaraan Alumni 212.

"Saya mendapatkan video itu tadi pagi. Sudah saya cermati ada mengenai adzan dan cadar, menurut saya ada dugaan kuat mendiskreditkan agama", ujar Kapitra Ampera kepada wartawan. (detiknews.com).

Di Indonesia, Isu SARA merupakan hal yang sangat dilarang keras untuk dijadikan diskusi publik, apalagi diangkat didepan publik. Namun, sajak Sukmawati berkata lain. 

Seperti yang kita ketahui bersama, Soekarno merupakan sosok yang nasionalis dan taat beragama. Beberapa kita mungkin ada yang berpikiran bahwa Ibu Sukmawati adalah sosok yang dibesarkan dengan ajaran yang nasionalis dan religus. Namun kenapa karyanya berkata lain? Apakah nasionalismenya telah kendur atau religiusnya yang melemah? Kembali lagi kepada perspektif masing-masing.

Bila dilihat dari kacamata penulis, Ibu Sukmawati sebagai budayawati mungkin saja puisinya merupakan bagian dari isi hatinya yang diresahkan dengan budaya islam yang menganggu budaya lokal. Waullohu A'lam. 

Padahal budaya mampu berkompromi, saling melengkapi dan selayaknya mampu bertahan dari perubahan zaman. Budaya mampu bertahan bila generasinya masih memegang teguh adat dan istiadat yang ada.

Lantas mengapa Adzan dan Cadar yang diangkat dalam puisinya dan dibandingkan dengan konde dan kidung Ibu Indonesia? Kenapa hanya agama Islam yang diangkat? Padahal di Indonesia selain Islam ada Kristen, Hindu, dan Buddha. Di sini identitas agama disinggung. 

Penulis setuju dengan pernyataan Ibu Sukmawati bahwasanya beberapa masyarakat tidak tahu dengan syariat islam, terlebih masyarakat yang berada di Indonesia Timur.

Mari kita perhatikan bersama, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan jutaan penduduk yang menghuninya, apakah semuanya beragama islam, meski agama islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh penduduk di Indonesia? Tentu tidak. Banyak saudara kita yang berlatar belakang dari berbagai ras, agama, dan budaya.

Bagi yang beragama islam, cadar bukanlah sebuah paksaan untuk dikenakan, namun hukumnya sunnah (tidak wajib) bagi perempuan yang beragama islam. Setiap agama memiliki aturannya sendiri sesuai ajarannya masing-masing. Penulis percaya, agama apapun itu pasti mengajarkan tentang kebaikan dan toleransi antar suku dan agama.

Lalu Adzan yang dibandingkan dengan kemerduan kidung Ibu Indonesia. Penulis kembali setuju dengan pernyataan Ibu Sukmawati bahwasanya tidak semua orang yang mengalunkan adzan itu bersuara merdu. Lantas, bila suara orang yang melantunkan adzan tidak merdu, apakah adzan harus ditiadakan? Jelas tidak. 

Bila tidak ada adzan, umat muslim tidak bisa melaksanakan ibadahnya. Toh, adzan juga bermanfaat sebagai pengingat dan pertanda waktu bagi mereka yang islam maupun non-islam dalam menjalankan aktivitas sehari-hari yang terkadang tidak sempat melihat jam di dindingnya.

Sajak "Ibu Indonesia" memang kental dengan nilai budaya lokal. Namun tidaklah arif bila isu SARA dijadikan drama didalamnya. Bolehlah puisi tersebut dibilang cerita hasil mengarang, kata Ibu Sukmawati, namun lain soal bila isu agama dijadikan perkara dalam menjaga kebudayaan lokal. 

Sudah jelas pelestarian kebudayaan daerah diatur dan dilindungi oleh Undang-undang dan hak menganut agama dan kepercayaan adalah hak setiap warga negara. Hal inilah yang dapat memancing konflik dan perselisihan yang berakhir pada lunturnya nilai-nilai pancasila sebagai pedoman negara serta melemahnya persatuan bangsa jika dibiarkan.

Terakhir, semua ini kembali kepada pandangan masing-masing. Menjaga kelestarian budaya dan toleransi adalah tanggung jawab bersama untuk terus memperkokoh persatuan. Toh tidak semua perempuan yang beragama islam itu mengenakan cadar. Jadilah sastra yang menyatukan perbedaan, bukan membelah perbedaan. Penulis maklum bila penduduk Indonesia ada yang tidak tahu dengan syariat islam. Memangnya semua penduduk Indonesia beragama Islam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun