2. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
Era, dimana, Pancasila di dalam konteks interpretasi, yang menyoal gagasan, NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme) sebagai manifestasi Pancasila
- Konteks: Polarisasi ideologi global dan upaya Soekarno menyeimbangkan kekuatan politik
- "Benar" pada masa ini: Penafsiran yang mengakomodasi berbagai aliran ideologi
3. Era Orde Baru (1966-1998).
Era, dimana, interpretasi pancasila terhadap, P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang konteksnya, lebih meyoal pada stabilitas politik dan pembangunan ekonomi sebagai prioritas. Lebih, berpotensi "Benar" pada masa ini, sebagai penafsiran yang mendukung stabilitas dan otoritas pemerintah.
4. Era Reformasi (1998-sekarang).
Sementara di era ini, interpretasi terhadap Pancasila dalam konteks demokrasi dan HAM, yang mengaitkan, konteks, pada keterbukaan politik, desentralisasi, dan globalisasi. Yang berpotensi "Benar" pada masa ini, sebagai penafsiran yang menekankan kebebasan, keadilan, dan partisipasi masyarakat.
Perihal ini dapat dilihat sebagai kesinambungan, dalam perubahan dinamis yang menafsirkan definisi terbuka Pancasila, yang mirip sebagai pembabakan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Tafsir.
Tentunya, untuk dapat dipahami, bagaimana, dan faktor apakah yang terjadi sebagai suatu konsekunsi dari munculnya ide perubahan di dalam konteks tafsir dan juga pemaknaannya, Pancasila, hingga saat ini melalui, perubahan konteks sosial-politik nasional dan global, yang bersamaan dengan waktu. Dan juga dalam faktor, pergantian kepemimpinan dan rezim pemerintahan, sebagai konsekuensinya yang berakibat pada perkembangan pemikiran dan wacana intelektual, maupun konsekuensi bagi perubahan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan pertanyaan tantangan dan krisis yang dihadapi bangsa dari waktu-ke-waktu tentunya.
Menyoal Dinamisme: Kekuatan atau Kelemahan?
Dinamisme penafsiran tentu saja, memiliki, konsekuensinya dimulai dari keutamaan sebagai kekuatan, dalam pendekatan, problematika, yang menjadikan hal atau (ide) Pancasila sendiri sebagai suatu konotasi dan notasi bagian dari struktur nilai negara dan semisalnya. Yang pertama adalah "Fleksibilitas", di dalam kemapuan dinamisme sebagai pendekatan yang melihat keberadaan, kemampuan Pancasila untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Atau "Relevansi" yang orietasinya terhadap dinamisme penafsiran Pancasila tetap menjadi rujukan ideologis dalam berbagai era, dan arah "Inklusivitas" yang "clear" sebagai kemampuan mengakomodasi berbagai interpretasi sesuai konteks.
Beberapa hal, adalah muncul sebagai narasi hambatan, dalam ide dalam kendala, konsistensi, yang menjaga esensi Pancasila di tengah berbagai interpretasi, yang mungkin saja itu salah kaprah sebagai tidak adanya konsitensi dalam dinamisme penafsiran. Bahwa, legitimasi yang menentukan otoritas dalam menafsirkan Pancasila, Kemudian berupa polarisasi, dalam potensi konflik akibat perbedaan tafsir.
Pancasila Dalam Jarak Relevansi Yang Menjembatani Masa Lalu dan Kini.
Menyoal jarak didalam forum-forum perdebatan, dimana memunculkan, kemudian kita sebut sebagai, Reinterpretasi historis dalam hal memahami konteks historis setiap tafsir Pancasila. Namun, relevansi tersebut merupakan jarak bagi kontekstualisasi, yang menerjemahkan nilai-nilai Pancasila ke dalam realitas kontemporer, sebagai, dialog lintas generasi, yang bahkan, tidak menjembatani pemahaman antara generasi yang berbeda. Meski yang diharapkan adalah, sebaliknya, setidaknya perihal, dalam rangka menuju, pendidikan kritis yang mengajarkan sejarah dan filosofi Pancasila secara kritis.
Kosakata Logis Realitas Waktu dan Sejarah ?
Dalam mengemukakan dinamisme bahwasannya, keberadaan dari apa yang kita sebut sebagai, "Kontinuitas dan perubahan" adalah tolak ukur dalam mengidentifikasi elemen-elemen Pancasila yang tetap dan yang berubah, di dalam kapasitas logika zaman dalam penafsirannya. Perihal "Anachronisme" dalam logika zaman yang bergeser peredarannya dalam akibat dari inovasi dan progresifitasa zaman, tentu seharusnya, menghindari penilaian masa lalu dengan standar masa kini, sebagai suatu yang stagnan, dan konteksnya kemudian, adalah konteks yang "temporal" sebagai kebenaran penafsiran, dalam rangka, memahami setiap tafsir dalam konteks zamannya. Sebagai, bagian dari, "relevansi historis" yang mengevaluasi bagaimana setiap tafsir merespon tantangan zamannya.