Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Surplus Kekuasaan?

28 September 2024   18:12 Diperbarui: 28 September 2024   18:12 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Indonesian-  Machiavelli  Antara Kekuasaan Politik & Pengkhianatan.

"Kita Harus Sinis Pada Kekuasaan": Sebuah Refleksi Kritis.

The Indonesian - Antara Ambisi Kekuasaan Politik & Pengkhianatan.


Pernyataan Rocky Gerung bahwa "Kita Harus Sinis Pada Kekuasaan" mengundang kita untuk merefleksikan hubungan antara masyarakat dan penguasa dalam konteks demokrasi modern. Sinisme yang dimaksud di sini bukanlah sikap apatis atau pesimis, melainkan sebuah bentuk kewaspadaan kritis terhadap dinamika kekuasaan.

Dalam sebuah sistem demokrasi yang sehat, masyarakat memiliki peran penting sebagai pengawas kekuasaan. Sikap sinis dalam hal ini dapat diartikan sebagai ketidakbersediaan untuk menerima begitu saja apa yang dikatakan atau dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Ini adalah bentuk skeptisisme yang konstruktif, yang mendorong masyarakat untuk selalu mempertanyakan, mengevaluasi, dan mengkritisi kebijakan dan tindakan pemerintah.

Mengapa sikap sinis ini penting? Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa kekuasaan memiliki potensi untuk disalahgunakan. Lord Acton pernah mengatakan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Tanpa pengawasan dan kritik yang memadai, para pemimpin mungkin tergoda untuk menggunakan kekuasaan mereka demi kepentingan pribadi atau kelompok, bukan untuk kesejahteraan masyarakat luas.

Namun, penting untuk dicatat bahwa sinisme yang dimaksud Rocky Gerung bukanlah sinisme yang destruktif atau tanpa tujuan. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk melakukan pengawasan yang cerdas dan berprinsip. Masyarakat didorong untuk tidak hanya mengkritik, tetapi juga untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi, memahami isu-isu kompleks yang dihadapi negara, dan mengajukan solusi alternatif.

Sikap sinis terhadap kekuasaan juga dapat berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang dalam demokrasi. Ini mendorong transparansi dan akuntabilitas dari pihak pemerintah. Ketika masyarakat mempertanyakan dan menuntut penjelasan, pemerintah terdorong untuk lebih terbuka tentang proses pengambilan keputusan dan dampak dari kebijakan mereka.

Di era informasi ini, di mana berita palsu dan propaganda dapat dengan mudah menyebar, sikap sinis yang kritis menjadi semakin penting. Masyarakat perlu mengembangkan kemampuan untuk memilah informasi, memverifikasi klaim, dan membentuk pendapat mereka sendiri berdasarkan fakta dan analisis yang cermat.

Namun, kita juga harus berhati-hati agar sinisme tidak berubah menjadi sinisme total yang dapat melumpuhkan demokrasi. Tujuan akhirnya bukanlah untuk menolak semua bentuk otoritas, tetapi untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat antara pemerintah dan masyarakat, di mana kekuasaan dijalankan dengan bijaksana dan untuk kepentingan bersama.

Kesimpulannya, ajakan Rocky Gerung untuk bersikap sinis terhadap kekuasaan adalah seruan untuk menjadi warga negara yang kritis, aktif, dan bertanggung jawab. Ini adalah pengingat bahwa dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, dan kita memiliki tanggung jawab untuk terus mengawasi dan mempertanyakan bagaimana kekuasaan itu dijalankan atas nama kita. Dengan sikap kritis yang konstruktif, kita dapat berkontribusi pada penguatan demokrasi dan tata kelola yang lebih baik untuk kepentingan bersama.


Surplus Kekuasaan dan Manipulasi Sumberdaya: Tantangan Berkelanjutan dalam Demokrasi Indonesia.

Kekuasaan itu membutakan. Pos Kota.
Kekuasaan itu membutakan. Pos Kota.

Kekuasaan Itu Membutakan. Pos Kota.

Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah mengalami perjalanan panjang dalam upaya mewujudkan demokrasi yang sehat dan pemerintahan yang bersih. Namun, dalam perjalanan ini, dua isu krusial terus menghantui: surplus kekuasaan dan manipulasi sumberdaya. Esai ini akan mengeksplorasi bagaimana kedua konsep ini saling terkait dan dampaknya terhadap perkembangan sosial-politik di Indonesia.

Surplus Kekuasaan: Warisan Masa Lalu yang Bertahan.

Surplus kekuasaan, atau kelebihan wewenang yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, bukanlah fenomena baru di Indonesia. Berakar dari era kolonial dan diperkuat selama masa Orde Baru, surplus kekuasaan telah menjadi ciri khas dalam lanskap politik Indonesia.
Selama 32 tahun pemerintahan Soeharto, kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elit. Transisi menuju demokrasi pasca-1998 membawa harapan akan distribusi kekuasaan yang lebih merata. Namun, realitanya, pola-pola lama masih bertahan:

1. Oligarki politik-bisnis yang kuat
2. Dominasi partai-partai besar dalam pengambilan keputusan
3. Pemusatan kekuasaan di tangan eksekutif, baik di tingkat nasional maupun daerah
Desentralisasi, yang awalnya dirancang untuk mendistribusikan kekuasaan, dalam beberapa kasus justru menciptakan "raja-raja kecil" di tingkat lokal, menggeser surplus kekuasaan dari pusat ke daerah tanpa benar-benar menyelesaikan masalah dasarnya.

Manipulasi Sumberdaya: Konsekuensi Logis dari Surplus Kekuasaan.

Ketika kekuasaan terkonsentrasi secara berlebihan, manipulasi sumberdaya menjadi konsekuensi yang nyaris tak terelakkan. Di Indonesia, hal ini termanifestasi dalam berbagai bentuk:
1. Korupsi sistemik : Dari kasus-kasus besar seperti Bank Century hingga korupsi di tingkat desa, penyalahgunaan dana publik masih menjadi momok.
2. Eksploitasi sumber daya alam: Pemberian izin tambang dan perkebunan yang tidak transparan, seringkali merugikan masyarakat adat dan lingkungan.
3. Nepotisme dan kronisme: Penempatan kerabat atau rekan dalam posisi-posisi strategis, mengabaikan prinsip meritokrasi.
4. Manipulasi informasi: Penggunaan media dan teknologi untuk mengendalikan narasi publik, terutama menjelang pemilu.

Dampak terhadap Demokrasi dan Pembangunan.

Kombinasi surplus kekuasaan dan manipulasi sumberdaya memiliki dampak mendalam:

1. Erosi kepercayaan publik: Masyarakat menjadi apatis terhadap proses politik.
2. Ketimpangan ekonomi: Konsentrasi kekayaan pada segelintir elit.
3. Degradasi lingkungan: Eksploitasi berlebihan demi keuntungan jangka pendek.
4. Hambatan reformasi: Pihak-pihak yang diuntungkan oleh status quo menolak perubahan.

Upaya Perbaikan dan Tantangan ke Depan

Meskipun gambarannya tampak suram, Indonesia telah menunjukkan kemajuan:

1. Penguatan lembaga anti-korupsi seperti KPK
2. Peningkatan partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan pemerintah
3. Reformasi birokrasi dan sistem pelayanan publik
4. Pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan transparansi

Namun, tantangan masih besar. Diperlukan upaya sistematis dan berkelanjutan untuk:

1. Memperkuat checks and balances antar lembaga negara
2. Mendorong pendidikan politik dan partisipasi aktif warga negara
3. Meningkatkan transparansi dalam pengelolaan sumberdaya
4. Mereformasi sistem kepartaian dan pemilu untuk mencegah oligarki

Surplus kekuasaan dan manipulasi sumberdaya merupakan dua sisi mata uang yang sama dalam konteks politik Indonesia. Keduanya saling memperkuat dan menciptakan lingkaran setan yang mengancam kualitas demokrasi dan pembangunan berkelanjutan. Meskipun tantangan besar, Indonesia memiliki potensi untuk memutus rantai ini. Dibutuhkan komitmen dari seluruh elemen masyarakat, dari pemerintah hingga warga negara, untuk terus mendorong reformasi dan memperkuat institusi demokrasi. Hanya dengan upaya kolektif dan berkelanjutan, Indonesia dapat berharap untuk mewujudkan cita-cita demokrasi yang bersih, adil, dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.

Forensik dan Diagnosa Gesture Publik yang Sekarat

Gesture publik, atau sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh publik, merupakan aspek penting dalam komunikasi politik dan sosial. Namun, belakangan ini, kita menyaksikan fenomena di mana gesture publik ini seolah-olah sedang sekarat. Analisis forensik dan diagnosa terhadap fenomena ini dapat membantu kita memahami akar permasalahan dan implikasinya terhadap masyarakat.

Forensik Gesture Publik

1. Erosi Autentisitas

- Gejala: Gesture publik terlihat semakin direkayasa dan tidak autentik.
- Bukti: Peningkatan penggunaan konsultan citra dan media training yang ekstensif.
- Analisis: Upaya untuk mengontrol citra secara berlebihan justru menghilangkan kesan kemanusiaan dan ketulusan.

2. Polarisasi Ekstrem

- Gejala: Gesture publik cenderung terpolarisasi ke ekstrem kiri atau kanan.
- Bukti: Retorika yang semakin tajam dan menurunnya sikap moderat dalam wacana publik.
- Analisis: Polarisasi ini mencerminkan dan sekaligus memperdalam perpecahan dalam masyarakat.

3. Kecepatan Informasi vs Kedalaman Refleksi.


-Gejala: Gesture publik menjadi reaktif dan dangkal.
- Bukti: Meningkatnya penggunaan media sosial untuk merespon isu-isu kompleks secara singkat dan cepat.
- Analisis: Tuntutan untuk selalu "up-to-date" mengorbankan kedalaman pemikiran dan nuansa.


4. Krisis Kepercayaan

- Gejala: Publik semakin skeptis terhadap gesture para tokoh.
- Bukti: Menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi dan tokoh publik.
- Analisis: Skeptisisme yang berlebihan dapat mengancam kohesi sosial dan legitimasi institusi.

Diagnosa.

1. Overdosis Exposure: Paparan media yang berlebihan membuat tokoh publik kehilangan ruang privasi untuk berefleksi dan bersikap autentik.
2. Sindrom Echo Chamber: Tokoh publik terjebak dalam lingkaran umpan balik yang memperkuat bias dan pandangan sempit mereka.
3. Kemandekan Empati: Gesture publik yang semakin terpolarisasi menunjukkan menurunnya kemampuan untuk berempati dengan pihak yang berbeda pandangan.
4. Erosi Integritas: Gesture yang tidak konsisten dan sering berubah-ubah menandakan lemahnya integritas dan prinsip yang dipegang.
5.  Kepemimpinan: Gesture publik yang sekarat mencerminkan krisis dalam model kepemimpinan yang efektif dan inspiratif.

Implikasi dan Langkah ke Depan.


1. Edukasi Media Literasi: Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk menganalisis gesture publik secara kritis.
2. Revitalisasi Ruang Publik: Menciptakan ruang-ruang dialog yang memungkinkan interaksi lebih autentik antara tokoh publik dan masyarakat.
3. Reformasi Media: Mendorong jurnalisme yang lebih mendalam dan tidak hanya berfokus pada sensasi.
4. Kultivasi Kepemimpinan Etis: Mengembangkan model kepemimpinan yang menekankan integritas, empati, dan kebijaksanaan.
5. Penguatan Institusi Demokrasi: Memperkuat checks and balances untuk mencegah penyalahgunaan gesture publik demi kepentingan sempit.
Gesture publik yang sehat dan autentik adalah fondasi penting bagi demokrasi yang sehat. Mendiagnosa dan memperbaiki "penyakit" dalam gesture publik bukan hanya tanggung jawab para tokoh, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun