Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karmi dan Matrealisme Cinta

28 September 2024   05:32 Diperbarui: 28 September 2024   07:21 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nilai, & Trigger Utopia Idealis Suatu Keadaan - Sebuah Pemikiran Matrelisme Cinta.

Kompasiana.com

1. Pilihan Neng Karmi.

- cerpen.

Senja merayap perlahan di kaki Gunung Ciremai. Neng Karmi duduk termenung di beranda rumah bambunya, matanya menerawang jauh ke arah lembah yang mulai diliputi kabut. Pikirannya melayang pada kejadian setahun lalu, saat Kang Jaya, kekasihnya, berjanji akan menikahinya.

"Karmi, aku akan mencintaimu selamanya," ujar Kang Jaya waktu itu, matanya berbinar penuh keyakinan. "Tapi kamu harus buktikan cintamu padaku. Kamu harus mendaki Gunung Ciremai sendirian, tanpa bekal. Kalau kamu berhasil, aku akan menikahimu."

Neng Karmi, yang saat itu masih muda dan dipenuhi idealisme cinta, menyanggupi tanpa pikir panjang. Ia tak menyadari bahwa permintaan Kang Jaya adalah bentuk egoisme terselubung, bukan bukti cinta sejati.

Dengan tekad membara, Neng Karmi memulai pendakiannya keesokan hari. Tiga hari berlalu tanpa kabar. Seluruh desa cemas, termasuk Kang Jaya yang mulai disiksa rasa bersalah.

Pada hari keempat, seorang pendaki menemukan Neng Karmi tergeletak lemah di dekat puncak. Ia selamat, namun mengalami hipotermia dan kelelahan hebat. Selama berminggu-minggu, Neng Karmi terbaring di tempat tidur, berjuang untuk pulih.

Kang Jaya, dihantui rasa bersalah, tak pernah menampakkan diri lagi. Kabar terakhir menyebutkan ia merantau ke Jakarta, meninggalkan janji dan kenangan.

Setahun berlalu. Neng Karmi telah pulih secara fisik, namun hatinya masih menyimpan luka. Pengalaman itu mengajarkannya bahwa cinta tak bisa diukur dari besarnya pengorbanan atau indahnya janji. Cinta sejati, pikirnya, harusnya membawa kebaikan dan pertumbuhan, bukan kehancuran.

"Neng Karmi," sebuah suara membuyarkan lamunannya. Mas Rahmat, pemuda dari desa sebelah yang rajin membantunya selama pemulihan, berdiri di pagar bambunya dengan senyum hangat.

"Mas Rahmat," Neng Karmi tersenyum, ada kehangatan yang perlahan tumbuh di hatinya.

"Sudah siap untuk ke pasar besok? Saya akan bantu bawa hasil tenun Neng ke sana."

Neng Karmi mengangguk. Ia sadar, selama ini Mas Rahmat selalu ada untuknya, tanpa pernah meminta bukti cinta yang muluk-muluk. Kehadirannya konsisten, membantunya bangkit dari keterpurukan tanpa mengharapkan imbalan.

Saat memandang Mas Rahmat, Neng Karmi menyadari bahwa inilah bentuk cinta yang nyata. Bukan yang dipenuhi janji-janji manis atau menuntut pengorbanan besar, tapi yang hadir dalam keseharian, yang membantu kita tumbuh menjadi versi terbaik diri kita.

"Mas," kata Neng Karmi lembut, "maukah Mas mampir untuk minum teh?"

Mas Rahmat mengangguk, senyumnya melebar. Saat mereka duduk bersama menikmati teh dan singkong rebus, Neng Karmi merasakan kedamaian yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sadar, cintanya pada Kang Jaya dulu hanyalah utopia, gambaran ideal yang jauh dari realitas.

Kini, bersama Mas Rahmat, ia belajar tentang cinta yang tumbuh perlahan namun kokoh, seperti pohon di lereng Gunung Ciremai. Cinta yang tak perlu pembuktian dramatis, tapi hadir dalam setiap bantuan kecil dan perhatian tulus sehari-hari.

Saat matahari akhirnya tenggelam di balik gunung, Neng Karmi tersenyum. Ia telah menemukan makna cinta yang sesungguhnya, jauh dari khayalan romantis masa mudanya. Dan dalam penemuan itu, ia merasakan dirinya utuh kembali, siap menyongsong hari esok dengan harapan baru.

  •                      2.  Nilai, & Trigger Utopia Idealis Suatu Keadaan - Sebuah Pemikiran                                           Matrelisme Cinta.

Dalam lautan kehidupan yang penuh dengan gelombang paradoks, kita sering menemukan diri kita terombang-ambing antara idealisme dan realitas. Kisah sang satria yang rela menerjunkan diri ke jurang demi janji cinta abadi, hanya untuk melihat kekasihnya berpaling pada pangeran lain, menjadi cermin yang memantulkan kompleksitas hubungan manusia dan konsep cinta itu sendiri.

Utopia cinta sering digambarkan sebagai sebuah keadaan di mana pengorbanan dan kesetiaan menjadi mata uang yang tak ternilai harganya. Namun, realitas kerap kali menghadirkan skenario yang jauh berbeda. Sang satria, dalam kegigihannya membuktikan cinta, justru menjadi korban dari idealismenya sendiri. Sementara itu, sang wanita yang mengucapkan janji kesetiaan abadi ternyata memilih jalan pragmatis dengan menikahi pangeran lain.

Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar tentang nilai sejati dari sebuah hubungan. Apakah cinta sejati diukur dari besarnya pengorbanan? Atau justru dari kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi dalam menghadapi realitas kehidupan? Materialisme cinta, dalam konteks ini, bukan hanya berbicara tentang harta benda, tetapi juga tentang bagaimana kita "mematerialkan" atau mewujudkan konsep-konsep abstrak seperti cinta dan kesetiaan dalam tindakan nyata.

Trigger utopia idealis dalam cerita ini adalah janji cinta abadi yang diucapkan sang wanita. Janji ini menjadi katalis yang mendorong sang satria untuk melakukan tindakan ekstrem. Namun, ironi tajam muncul ketika janji itu sendiri yang kemudian diingkari. Ini menggambarkan bagaimana ucapan dan tindakan dapat menjadi dua entitas yang sangat berbeda dalam realitas hubungan manusia.

Pemikiran materialisme cinta mengajak kita untuk merefleksikan kembali konsep nilai dalam hubungan. Apakah nilai sebuah hubungan terletak pada janji-janji manis yang diucapkan, atau pada konsistensi tindakan sehari-hari? Apakah pengorbanan besar sesaat lebih bernilai dibandingkan komitmen jangka panjang yang mungkin terlihat kurang dramatis?

Lebih jauh lagi, cerita ini membuka diskusi tentang ekspektasi dan realitas dalam hubungan. Seringkali, kita terjebak dalam narasi romantis yang kita ciptakan sendiri, mengabaikan kompleksitas dunia nyata. Sang satria, dalam usahanya membuktikan cinta, justru kehilangan kesempatan untuk membangun hubungan yang nyata dan berkelanjutan.

Di sisi lain, tindakan sang wanita yang berpaling pada pangeran lain bisa dilihat sebagai bentuk adaptasi terhadap realitas. Meskipun hal ini mungkin dianggap sebagai pengkhianatan terhadap janji cinta abadi, ini juga bisa diinterpretasikan sebagai pilihan pragmatis dalam menghadapi kehidupan yang terus berlanjut.

Pada akhirnya, pemikiran materialisme cinta mengajak kita untuk melihat cinta bukan hanya sebagai konsep abstrak atau janji muluk, tetapi sebagai rangkaian tindakan dan keputusan nyata yang kita ambil sehari-hari. Ini mendorong kita untuk menyelaraskan idealisme dengan realitas, memahami bahwa cinta sejati mungkin tidak selalu tampak heroik atau dramatis, tetapi konsisten dan bertahan dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata.

Cerita sang satria dan wanita ini menjadi pengingat bahwa dalam mengejar utopia cinta, kita harus tetap berpijak pada realitas. Nilai sejati dari sebuah hubungan mungkin tidak terletak pada gestur besar atau janji muluk, melainkan pada kemampuan untuk tumbuh bersama, saling memahami, dan tetap setia meskipun dihadapkan pada kompleksitas hidup yang tak terelakkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun