"Neng Karmi," sebuah suara membuyarkan lamunannya. Mas Rahmat, pemuda dari desa sebelah yang rajin membantunya selama pemulihan, berdiri di pagar bambunya dengan senyum hangat.
"Mas Rahmat," Neng Karmi tersenyum, ada kehangatan yang perlahan tumbuh di hatinya.
"Sudah siap untuk ke pasar besok? Saya akan bantu bawa hasil tenun Neng ke sana."
Neng Karmi mengangguk. Ia sadar, selama ini Mas Rahmat selalu ada untuknya, tanpa pernah meminta bukti cinta yang muluk-muluk. Kehadirannya konsisten, membantunya bangkit dari keterpurukan tanpa mengharapkan imbalan.
Saat memandang Mas Rahmat, Neng Karmi menyadari bahwa inilah bentuk cinta yang nyata. Bukan yang dipenuhi janji-janji manis atau menuntut pengorbanan besar, tapi yang hadir dalam keseharian, yang membantu kita tumbuh menjadi versi terbaik diri kita.
"Mas," kata Neng Karmi lembut, "maukah Mas mampir untuk minum teh?"
Mas Rahmat mengangguk, senyumnya melebar. Saat mereka duduk bersama menikmati teh dan singkong rebus, Neng Karmi merasakan kedamaian yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sadar, cintanya pada Kang Jaya dulu hanyalah utopia, gambaran ideal yang jauh dari realitas.
Kini, bersama Mas Rahmat, ia belajar tentang cinta yang tumbuh perlahan namun kokoh, seperti pohon di lereng Gunung Ciremai. Cinta yang tak perlu pembuktian dramatis, tapi hadir dalam setiap bantuan kecil dan perhatian tulus sehari-hari.
Saat matahari akhirnya tenggelam di balik gunung, Neng Karmi tersenyum. Ia telah menemukan makna cinta yang sesungguhnya, jauh dari khayalan romantis masa mudanya. Dan dalam penemuan itu, ia merasakan dirinya utuh kembali, siap menyongsong hari esok dengan harapan baru.
           2.  Nilai, & Trigger Utopia Idealis Suatu Keadaan - Sebuah Pemikiran                      Matrelisme Cinta.
Dalam lautan kehidupan yang penuh dengan gelombang paradoks, kita sering menemukan diri kita terombang-ambing antara idealisme dan realitas. Kisah sang satria yang rela menerjunkan diri ke jurang demi janji cinta abadi, hanya untuk melihat kekasihnya berpaling pada pangeran lain, menjadi cermin yang memantulkan kompleksitas hubungan manusia dan konsep cinta itu sendiri.
Utopia cinta sering digambarkan sebagai sebuah keadaan di mana pengorbanan dan kesetiaan menjadi mata uang yang tak ternilai harganya. Namun, realitas kerap kali menghadirkan skenario yang jauh berbeda. Sang satria, dalam kegigihannya membuktikan cinta, justru menjadi korban dari idealismenya sendiri. Sementara itu, sang wanita yang mengucapkan janji kesetiaan abadi ternyata memilih jalan pragmatis dengan menikahi pangeran lain.