Dengan menghargai dan mendengarkan berbagai "suara" dari tubuh kita - baik yang bersifat naluriah maupun intuitif - kita dapat mengembangkan hubungan yang lebih harmonis dengan diri kita sendiri dan lingkungan kita. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi tentang berkembang dan mencapai potensi penuh kita sebagai makhluk yang memiliki dimensi fisik dan metafisik.
Referensi
[1] Damasio, A. R. (1994). Descartes' Error: Emotion, Reason, and the Human Brain. Putnam.
[2] Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. SUNY Press.
[3] Hossain, M. A. (2012). Language and the Perception of Cultural Reality: A Linguistic Analysis. Asian Social Science, 8(12), 21-26.
[4] Eliade, M. (1958). Patterns in Comparative Religion. Sheed & Ward.
[5] Lipton, B. H. (2005). The Biology of Belief: Unleashing the Power of Consciousness, Matter & Miracles. Mountain of Love Productions.
[6] Damasio, A. R. (2003). Looking for Spinoza: Joy, Sorrow, and the Feeling Brain. Harcourt.
[7] Volz, K. G., & von Cramon, D. Y. (2006). What Neuroscience Can Tell about Intuitive Processes in the Context of Perceptual Discovery. Journal of Cognitive Neuroscience, 18(12), 2077-2087.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H