Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Beyond Reasonable Doubt, Sebagai Fakta Secara Prinsip.

5 September 2024   07:47 Diperbarui: 5 September 2024   07:54 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fakta, Pembuktian, dan Epistemologi dalam Hukum: Menelusuri Batas antara Prinsip dan Aturan.



Dalam diskursus hukum kontemporer, pertanyaan tentang status epistemologis fakta dan pembuktian terus menjadi topik yang menarik perhatian. Apakah konsep-konsep ini merupakan sekadar "rules" atau "aturan" prosedural, ataukah mereka sesungguhnya adalah "prinsip-prinsip epistemologis" yang lebih fundamental? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelisik beberapa konsep kunci dan pemikiran dari berbagai tokoh.


Rokcy Gerung : "Beyond Reasonable Doubt" dan Standar Pembuktian.


Konsep "Beyond Reasonable Doubt" atau "di luar keraguan yang beralasan" adalah standar pembuktian dalam hukum pidana yang mengharuskan jaksa untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Ini bukan sekadar aturan prosedural, melainkan mencerminkan prinsip epistemologis yang mendalam: bahwa kita harus sangat yakin tentang fakta-fakta sebelum mengambil keputusan yang dapat mengubah hidup seseorang. Rocky Gerung, seorang filsuf dan pengamat sosial Indonesia, sering menekankan pentingnya fakta dan bukti dalam diskursus publik dan hukum. Meskipun konteksnya sering politik, argumennya relevan dengan epistemologi hukum. Gerung mungkin akan berpendapat bahwa fakta dan bukti bukan sekadar alat prosedural, melainkan fondasi epistemologis untuk membangun kebenaran dan keadilan.

Teori Kebenaran Korespondensi dan Implikasinya.

Teori Kebenaran Korespondensi menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas. Dalam konteks hukum, ini berarti bahwa keputusan hukum harus berkorespondensi dengan fakta-fakta yang dapat diverifikasi di dunia nyata. Ini lebih dari sekadar aturan; ini adalah prinsip epistemologis yang mendasari seluruh proses peradilan.

"Cawe-cawe" dan Intervensi dalam Proses Hukum ?

Istilah "cawe-cawe" dalam bahasa Jawa, yang secara kasar berarti "ikut campur", dapat digunakan untuk menggambarkan intervensi yang tidak semestinya dalam proses hukum. Ini menimbulkan pertanyaan epistemologis: bagaimana kita dapat memastikan bahwa fakta dan bukti yang disajikan dalam pengadilan benar-benar objektif dan bebas dari manipulasi ? implikasi cawe-cawe belakangan yang saya pahami, adalah mengacu, pada Konsep "Beyond Reasonable Doubt" atau "di luar keraguan yang beralasan" adalah standar pembuktian dalam hukum pidana yang mengharuskan jaksa untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Namun, dalam konteks ini adalah dimana logikanya harus dibaca terbalik, dimana keraguan yang beralasan, menjadi suatu fakta dan bukti hukum terkait tidak adanya, suatu keraguan yang tidak beralasan. dalam konteks persoalan "cawe-cawe".

sebagai, analogi sederhana, adalah :

A : "Bahwa meragukan jika pencuri mangga, adalah selain si a"

Q : Lalu, kenapa si a harus diragukan dengan menyebutnya sebagai pencuri ?"

Bahwa, keraguan tersebut, kemudian, menjadi beralasan sebagai bukti, di luar keraguan yang beralasan. Atas, tidak adanya keraguan yang tidak beralasan. Sebab si a bukanlah pemilik mangga, sebagai dalil keraguan yang tidak diragukan secara prinsipil dalam fakta dan pembuktian yang menyikapi keraguan tersebut, maka, pelaku sebenarnya, di luar pelaku yang sebenarnya, adalah pelaku sebenarnya.

Kasus, "cawe-cawe" justru membuktikan, yang menjadi sasaran hukumannya, bukanlah orang melakukan perihal tersebut, secara (berkepentingan), melainkan, yang berkepentingan justru tidak melakukan hal tersebut membuktikan otorisasi yang berada pada bentuk "cawe-cawe".


Prinsip Epistemologis atau Aturan ?

Setelah mempertimbangkan berbagai aspek di atas, menjadi jelas bahwa fakta dan pembuktian dalam hukum bukanlah sekadar aturan prosedural. Mereka adalah prinsip-prinsip epistemologis yang fundamental, yang membentuk dasar bagaimana kita memahami dan menegakkan keadilan. Standar seperti "Beyond Reasonable Doubt", penekanan pada fakta dan bukti, dan adherensi pada Teori Kebenaran Korespondensi semuanya mencerminkan komitmen epistemologis yang mendalam. Mereka bukan hanya tentang bagaimana kita menjalankan sistem peradilan, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami dan membangun pengetahuan dalam konteks hukum.

Namun, penting untuk diingat bahwa prinsip-prinsip ini juga dimanifestasikan dalam bentuk aturan-aturan konkret dalam sistem hukum. Jadi, mungkin yang paling tepat adalah mengatakan bahwa fakta dan pembuktian dalam hukum beroperasi pada dua tingkat: sebagai prinsip epistemologis yang mendasar, dan sebagai aturan prosedural yang mengoperasionalisasikan prinsip-prinsip tersebut. Dengan pemahaman ini, kita dapat lebih baik dalam mengevaluasi dan memperbaiki sistem hukum kita, memastikan bahwa ia tidak hanya adil dalam prosedur, tetapi juga dalam substansi epistemologisnya.

Penegakan Hukum Tanpa Pemahaman Prinsip: Analisis Kritis.

Penegakan hukum yang hanya berfokus pada aturan tertulis tanpa memahami prinsip-prinsip hukum yang mendasarinya dapat menimbulkan berbagai masalah. Berikut adalah analisis tentang implikasi dan risiko dari pendekatan ini:

Rigiditas dan Ketidakadilan

- **Penerapan Kaku**: Tanpa pemahaman prinsip, penegak hukum cenderung menerapkan aturan secara kaku, yang dapat mengabaikan konteks dan nuansa kasus.
- **Ketidakadilan Substantif**: Meskipun secara prosedural benar, keputusan yang diambil mungkin tidak mencerminkan keadilan yang sesungguhnya.

 Kehilangan Tujuan Hukum

- **Tujuan Terabaikan**: Prinsip hukum sering mencerminkan tujuan dan nilai-nilai yang ingin dicapai. Tanpa ini, penegakan hukum bisa kehilangan arah.
- **Formalisme Berlebihan**: Fokus berlebih pada bentuk daripada substansi hukum.

Kesulitan dalam Kasus Kompleks.

- **Ketidakmampuan Adaptasi**: Kasus-kasus kompleks seringkali memerlukan interpretasi prinsip untuk penyelesaian yang adil.
- **Kesulitan Penyelesaian Konflik Hukum**: Tanpa pemahaman prinsip, sulit untuk menyelesaikan konflik antara berbagai aturan hukum.

Erosi Kepercayaan Publik.

- **Persepsi Ketidakadilan**: Masyarakat dapat melihat penegakan hukum sebagai tidak adil atau tidak masuk akal.
- **Penurunan Legitimasi**: Kepercayaan terhadap sistem hukum dapat menurun jika masyarakat merasa hukum diterapkan tanpa pertimbangan moral atau etis.

Hambatan Perkembangan Hukum.


- **Stagnasi Hukum**: Prinsip hukum penting untuk evolusi dan adaptasi hukum terhadap perubahan sosial.
- **Kesulitan Interpretasi**: Tanpa pemahaman prinsip, sulit untuk menginterpretasikan hukum dalam konteks baru.

Pelanggaran Hak Asasi

- **Potensi Pelanggaran**: Fokus sempit pada aturan dapat mengabaikan hak-hak fundamental yang dijamin oleh prinsip-prinsip hukum yang lebih luas.
- **Ketidakseimbangan Kekuasaan**: Dapat memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan antara negara dan individu.

Ineffisiensi Sistem Peradilan.

- **Peningkatan Litigasi**: Ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah secara fleksibel dapat meningkatkan jumlah kasus yang masuk ke pengadilan.
- **Beban Sistem**: Sistem peradilan dapat menjadi terbebani dengan kasus-kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan pemahaman prinsip yang lebih baik.

Kesulitan dalam Kerjasama Internasional.

- **Konflik Yurisdiksi**: Tanpa pemahaman prinsip bersama, kerjasama hukum internasional menjadi lebih sulit.
- **Hambatan Harmonisasi**: Sulit untuk menyelaraskan sistem hukum berbeda tanpa merujuk pada prinsip-prinsip umum.

Penegakan hukum tanpa pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip hukum dapat menghasilkan sistem yang kaku, tidak adil, dan tidak efektif. Meskipun aturan tertulis penting untuk kepastian hukum, interpretasi dan aplikasi yang bijaksana dari prinsip-prinsip hukum sama pentingnya untuk mencapai keadilan yang substansial dan mempertahankan legitimasi sistem hukum.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan:
1. Pendidikan hukum yang lebih komprehensif
2. Pelatihan berkelanjutan bagi penegak hukum
3. Sistem checks and balances yang kuat
4. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan hukum
5. Ruang untuk diskusi dan debat publik tentang prinsip-prinsip hukum

Dengan pendekatan yang seimbang antara aturan dan prinsip, sistem hukum dapat lebih baik dalam memenuhi fungsinya sebagai instrumen keadilan dan keteraturan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun