Tarian Rumit Nalar Logis dan "Akal Sehat": Sebuah Perjalanan Melalui Labirin Pemikiran Manusia.
Di sebuah ruang rapat yang remang-remang di lantai teratas gedung pemerintahan, Menteri Kebijakan Publik, Dr. Amelia Wijaya, duduk termenung. Di hadapannya terbentang proposal kebijakan yang telah ia susun selama berbulan-bulan. Logika di balik setiap poin kebijakan tak terbantahkan---angka-angka yang rapi, grafik yang meyakinkan, dan prediksi yang akurat berdasarkan model-model canggih. Namun, ada keraguan yang menggelayut di sudut pikirannya.
"Apa yang salah?" tanya asistennya, Budi, yang telah lama bekerja sama dengannya.
Dr. Amelia menghela napas panjang. "Semuanya benar secara logis, Budi. Tapi entah mengapa, rasanya ada yang kurang."
Inilah dilema klasik yang sering dihadapi para pembuat kebijakan: ketegangan antara nalar logis dan apa yang sering disebut sebagai "akal sehat".
Dua Sisi Mata Uang Pemikiran
Nalar logis dan "akal sehat" seringkali dipandang sebagai dua entitas yang berbeda, bahkan kadang bertentangan. Nalar logis adalah anak kandung dari Revolusi Ilmiah---metodis, terstruktur, dan berdasarkan bukti empiris. Di sisi lain, "akal sehat" adalah produk evolusi sosial manusia---intuitif, cepat, dan sering kali emosional.
Dr. Amelia teringat perdebatan sengit di media sosial beberapa hari lalu. Kebijakannya untuk mengurangi subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkannya ke energi terbarukan menuai kritik pedas. "Tidak masuk akal!" teriak para penentangnya. "Bagaimana mungkin menaikkan harga BBM bisa membuat hidup rakyat lebih baik?"
Secara logis, kebijakan ini akan mendorong inovasi di sektor energi bersih, menciptakan lapangan kerja baru, dan dalam jangka panjang menurunkan biaya energi. Namun, "akal sehat" publik meneriakkan hal yang berbeda: kenaikan harga BBM sama dengan penderitaan rakyat.
Tarian Rumit dalam Arena Kebijakan
Relasi antara nalar logis dan "akal sehat" bukanlah hubungan yang hitam putih. Keduanya sering kali menari dalam sebuah tarian rumit, kadang bersatu, kadang bertentangan, namun selalu saling mempengaruhi.
Dr. Amelia teringat kata-kata mentornya dulu: "Kebijakan yang baik bukan hanya yang logis, tapi juga yang bisa dipahami dan diterima oleh rakyat."
Ini mengarah pada pemahaman bahwa relasi strategis antara nalar logis dan "akal sehat" terletak pada kemampuan untuk menjembatani keduanya. Kebijakan yang efektif harus mampu menerjemahkan logika yang rumit menjadi narasi yang resonan dengan pemahaman umum masyarakat.
Jembatan di Atas Jurang Pemahaman
Dr. Amelia mulai memahami bahwa tugasnya bukan hanya merancang kebijakan yang logis, tapi juga membangun jembatan pemahaman. Ia mulai merevisi proposalnya, kali ini dengan pendekatan yang berbeda.
1. Narasi yang Menghubungkan: Ia menambahkan cerita-cerita nyata tentang bagaimana transisi energi telah mengubah kehidupan masyarakat di negara lain.
2. Visualisasi yang Intuitif: Grafik-grafik rumit diganti dengan infografis yang lebih mudah dipahami, menunjukkan dampak kebijakan dalam konteks kehidupan sehari-hari.
3. Implementasi Bertahap: Kebijakan diubah menjadi tahapan-tahapan kecil yang lebih mudah diterima, alih-alih perubahan besar yang mengejutkan.
4. Dialog Terbuka: Rencana untuk melibatkan masyarakat dalam diskusi dan mendapatkan umpan balik ditambahkan, menciptakan rasa kepemilikan bersama atas kebijakan.
Epilog: Harmoni dalam Kebijakan.
Beberapa bulan kemudian, Dr. Amelia berdiri di podium, mempresentasikan kebijakannya yang telah direvisi. Kali ini, tanggapan yang ia terima jauh berbeda. Ada anggukan pemahaman, pertanyaan yang konstruktif, bahkan dukungan dari kelompok yang sebelumnya menentang.
Nalar logis dan "akal sehat" akhirnya menemukan harmoni dalam kebijakan ini. Bukan berarti semua orang setuju, tapi setidaknya ada pemahaman bersama. Dr. Amelia tersenyum, menyadari bahwa inilah esensi dari pembuatan kebijakan yang efektif: memadukan kecerdasan analitis dengan kebijaksanaan kolektif masyarakat.
Dalam perjalanan pulang, Dr. Amelia merenungkan kembali prosesnya. Ia menyadari bahwa relasi strategis antara nalar logis dan "akal sehat" bukanlah tentang memilih salah satu, melainkan tentang orchestrasi keduanya dalam simfoni kebijakan yang harmonis. Inilah tantangan sejati bagi para pembuat kebijakan di era modern---menjadi konduktor yang mahir dalam memadukan nada-nada logika dengan melodi intuisi publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H