Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cinta & Simbolisme Modern

16 Juli 2024   22:13 Diperbarui: 16 Juli 2024   22:20 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Sains : (simbolisme) Stagnasi Filsafat yang Berubah Menjadi Limitasi Pembatas, Hasrat Kemanusiaan yang Tak Pernah Usai" 

Oleh : A.W. Al-faiz 

Pendahuluan. 

        Sains, yang pada awalnya merupakan cabang dari filsafat alam, telah berkembang menjadi disiplin yang dominan dalam membentuk pemahaman kita tentang realitas. Namun, perkembangan ini juga membawa paradoks: sementara sains memperluas pengetahuan kita, ia juga dapat menciptakan batasan-batasan yang membatasi eksplorasi manusia terhadap realitas. 

Transformasi Filsafat Alam menjadi Sains Modern

a) Revolusi Ilmiah: 

Pergeseran dari filsafat spekulatif ke metode empiris yang dimulai oleh Bacon, Galileo, dan Newton mengubah cara kita memahami alam. 

b) Positivisme Logis: Gerakan ini, yang dipelopori oleh Lingkaran Wina, berusaha membatasi pengetahuan yang sah hanya pada proposisi yang dapat diverifikasi secara empiris. Pembahasan. Sains sebagai Limitasi 

a) Reduksionisme: Kecenderungan sains untuk mereduksi fenomena kompleks menjadi komponen-komponen yang dapat diukur dan dikuantifikasi dapat mengaburkan pemahaman holistik tentang realitas. 

b) Verifikasionisme: Prinsip bahwa hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris yang bermakna telah membatasi ruang lingkup penyelidikan ilmiah. 

c) Paradigma Dominan: Thomas Kuhn dalam "The Structure of Scientific Revolutions" menunjukkan bagaimana paradigma ilmiah yang dominan dapat membatasi eksplorasi ide-ide alternatif. Hasrat Kemanusiaan yang Tak Pernah Usai a) Dorongan Metafisis: Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang melampaui cakupan sains empiris. 

b) Kreativitas dan Imajinasi: Einstein menekankan pentingnya imajinasi dalam sains, menunjukkan bahwa intuisi dan kreativitas sering mendahului pembuktian empiris. 

c) Pencarian Makna: Viktor Frankl, dalam logoterapi, menekankan bahwa pencarian makna adalah motivasi utama dalam hidup manusia, sesuatu yang tidak selalu dapat dijawab oleh sains. Dialektika antara Sains dan Hasrat Kemanusiaan 

a) Tensi Produktif: Pertentangan antara batasan metodologis sains dan hasrat manusia untuk memahami hal-hal di luar batasan tersebut dapat menjadi sumber kreativitas dan inovasi. 

b) Interdisiplinaritas: Pendekatan interdisipliner yang menggabungkan sains dengan humaniora dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan empiris dan pencarian makna. 

c) Sains Pos-normal: Konsep yang diperkenalkan oleh Funtowicz dan Ravetz untuk menangani kompleksitas dan ketidakpastian dalam masalah-masalah kontemporer. Implikasi dan Tantangan a) Etika Sains: Perlunya kerangka etis yang lebih kuat dalam penelitian ilmiah untuk memastikan bahwa kemajuan sains sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. 

b) Pendidikan Holistik: Pentingnya sistem pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengetahuan teknis, tetapi juga mengembangkan kapasitas refleksi filosofis dan etis. 

c) Dialog Sains-Masyarakat: Perlunya meningkatkan komunikasi antara komunitas ilmiah dan masyarakat luas untuk mengatasi kesenjangan pemahaman dan ekspektasi. Kesimpulan Sains, meskipun telah membawa kemajuan luar biasa dalam pemahaman kita tentang dunia, juga berpotensi menciptakan batasan-batasan yang membatasi eksplorasi manusia terhadap realitas yang lebih luas. Hasrat kemanusiaan yang tak pernah usai untuk memahami dan mencari makna terus mendorong kita melampaui batasan-batasan ini. Tantangan ke depan adalah bagaimana menyeimbangkan rigiditas metodologis sains dengan keterbukaan terhadap misteri dan kompleksitas eksistensi manusia. Ini mungkin melibatkan: Pengembangan pendekatan epistemologis yang lebih inklusif dan fleksibel. Integrasi yang lebih baik antara sains, filsafat, dan seni dalam upaya memahami realitas. Kultivasi sikap kerendahan hati epistemik yang mengakui keterbatasan pengetahuan manusia. 

Dengan demikian, kita mungkin dapat mengatasi stagnasi yang ditimbulkan oleh batasan-batasan sains sambil tetap memanfaatkan kekuatan metodologisnya, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih kaya dan multidimensi tentang realitas dan tempat kita di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun