Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedudukan Perkara Alzaytun dalam Ruang Publik dan Undang-Undang Penistaan Agama

30 Juli 2023   13:33 Diperbarui: 30 Juli 2023   13:38 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kbbi.web.id/nista.html

KEDUDUKAN PERKARA ALZAYTUN; DALAM RUANG PUBLIK, ; DAN UNDANG-UNDANG PENISTAAN AGAMA DALAM, PARAMETER NOMINA, PRESFEKTIF; LINGUISTIK.

Tentu, saja hal yang terkait hal ini, deviasi atau suatu penyimpangan suatu sikap, moralitas dan etika kejelasan norma agama di dalam beragama, tidaklah, tepat sebagai suatu problematika yang mestinya di akomodasi oleh suatu ajaran, agama, secara normatif atau dalam tindakan yang nyata, dalam proporsi dan kapasitas seperti kelembagaan MUI, dalam pengertian, Majelis Ulama Indonesia yang berkonsentrasi pada pengembangan keilmuan agama, sebagai tenaga ahli, di bidangnya, melainkan, sebagian dari ranah tugas dari apratur negara, dalam memberi ruang stabilitas keamanan, setingkat kepolisian, dengan meminta pertimbangan ahli, di bidang tersebut, terkait persoalan ini, dan kelembagaan terkait yang memiliki kapasitas fungsional, fungsi kelembagaannya, yang kompeten, terhadap konsentrasi terhadap objek tersebut, terkait. Alih-alih, persoalan serius ini, tidaklah lagi membutuhkan, peran serta para mubaligh, dalam menyampaikan himbauan, terhadap konteks yang benar menurut suatu nilai ajaran agama tertentu.

Tidaklah, hanya sekedar ketidak-terpenuhan syarat, dari kelembagaan Al-zaytun, dalam kapasitas fungsi kelembagaan, dengan label pesantren, untuk menyebut diri mereka, sebagai pesantren. Ketika, mungkin saja secara administratif terkait izin kelembagaan tertentu, pada dinas kepemerintahan, dan kementerian, terkait akomodasi, perizinan dalam kategori tertentu, yang menyoal, keberadaan kelembagaan Al-zaytun. Dimana, dalam parameter, tradisi pesantren, justru, Al-zaytun, bertolak belakang dari arus kultur dan kebiasaan pesantren secara umum. Di tinjauan dari, peran, serta, dan pergulatan pesantren sebagai kelembagaan pendidikan yang mengacu pada suatu bentuk pendekatan metodelogi keilmuaan tertentu, di dalam nomenklatur dan literatur Islam yang ada.

Maraknya, Al-zaytun, sebagai fenomena dalam kapasitas isue, dan wacana agama, yang belakangan muncul, bersamaan dengan berlangsungnya proses pemilu. Yang dianggap sebagai bentuk lain dari pengalihan isue terhadap konstelasi politik, di tengah penyelenggaraan pemilu, sebagai sistem penyelenggaraan kepemimpinan nasional, di tingkatan kelembagaan negara. 

 Terutama, hal ihwal Al-zaytun, yang menjadi polemik, bagi keberlangsungan keberagamaan, di Indonesia. Yang tentunya tidak terlepas dari keruh dan kisruhnya, dugaan penistaan agama yang diatur dalam undang-undang, penistaan agama. Tidak kalah, menarik dimana MUI juga mengeluarkan, statement, terkait dengan keterpenuhan syarat, atas dugaan kesesatan, dan juga masih terkait dalam ihwal dugaan penistaan agama, oleh pimpinan pondok pesantren Al-zaytun, Panji Gumilang. Selain hal tersebut, di atas kemudian adalah labelisasi pesantren yang dilekatkan dalam kapasitas kelembagaan al-zaytun, mengacu kepada tradisi, dan nilai sentral, dari kultur pesantren sebagai kelembagaan pendidikan, yang dimaksud sebagaimana sebutan, pesantren, dalam kapasitas yang sesuai dengan sejarah, yang menjelaskan peran, dan serta, tradisi terkait pondok pesantren. Yang, setidaknya dapat dilihat selintas bahwa, Al-zaytun bukanlah kriteria terkait dengan labelisasi pesantren yang dimaksud, dalam kisruh polemik, terhadap isue, dan wacana yang bergulir terkait, status dari pernyataan-pernyataan, kontradiksi, dan kontraversi, yang di nyatakan Panji Gumilang dengan mengutip beberapa ihwal terkait, dalil, kita suci, dalam tradisi yang selama ini diyakini tidak demikian, keberadaannya, oleh kalangan masyarakat secara umum, dan meluas. 

Alih-alih, menyoal kembali undang-undang penistaan agama, dalam struktur bahasa dan tata bahasa, secara gramatikal, dalam struktur yang rancu, kacau, dan membingungkan, pada struktur makna yang berkemungkinan dapat dipahami, oleh logika akal sehat, dalam memahami keberadaan serta konteks, dari isi undang-undang tersebut bila, atau jika dilihat dari frase awal yang menyebut, mengenai delik tentang penistaan agama. Yang berkemungkinan, berisikan, kontradusir, dari pertentangan-pertentangan, yang jika, benar maka, hal ini adalah upaya yang sia-sia, terhadap cita-cita, kerukunan, dan toleransi beragama di Indonesia, dimana, logika-logika kontradiktif, tentunya akan berakhir, pada resultan nilai, yang nihil, dan nol, sebagai hasilnya, yang hanya menghabiskan anggaran negara dalam memberi ruang penegakan kebijakan tersebut, sebagai undang-undang terkait, akomodasi pemerintah, oleh negara, perihal agama, dan ummat beragama, di Indonesia, sebagai bagian dari pembanguanan nasional.

SEMANTIK CONFUSION.

Dalam, kamus besar bahasa Indonesia singular "agama" diletakan sebagai nomina, atau suatu subjek atau objek yang memiliki komposisi materil, dalam metrum bahasanya, sebagai kata benda, atau nomina.

KBBI

Dan, kemudian kata penistaan sendiri bukanlah suatu komposisi baku, dalam perubahan bentuk kata, yang dapat diartikan maknanya melalui afirmasi oleh KBBI yang artinya, makna tersebut secara kaidah bahasa Indonesia tidak dapat dipertangung jawabkan, secara kaidah, dan tidak dapat diketahui makna sebenarnya, dari apa yang disebut penistaan tersebut, dalam frase terkait kebijakan, undang-undang penistaan agama. Hal, ini juga secara implementatif linguistik tidak diketahui objeknya. 

Sementara, keberadaan tata kata yang paling mendekati, yang tertulis di dalam KBBI, ialah, kata penista, sebagai bentuk kata kerja, atau verb, yang berarti orang yang menista (kan); sebagaimana contoh gambar berikut. 

Lihat, KBBI.

https://kbbi.web.id/nista.html
https://kbbi.web.id/nista.html

Secara, aspek logis di dalam logika akal sehat, saya sendiri tidak dapat membayangkan, jika saja kemudian delik tersebut sebagai, suatu yang ditujukan kepada struktur perbuatan atau prilaku pelanggaran terhadap suatu kebijakan, dan undang-undang dalam hukum di dalam asas, tertentu. Yang sebagaimana, di atas mengarah dan di arahkan kepada suatu objek benda, secara materil, yakni agama, sementara keyakinan beragama, ialah suatu subtansi nilai yang imperatif sifatnya. Yang dapat, dikatakan bukanlah sebagai "berhala" dalam bentuk-bentuk nalar, berupa, patung-patung, atau monumental monument, tertentu, yang bisa juga diartikan, bahwa, agama merupakan suatu bentuk kesadaran terhadap nilai, yang terimplementasi dalam tindakan, perbuatan, dan prilaku, yang mengimani, dan meyakini keberadaan suatu agama tersebut, sebagai nilai yang bersifat dan bertendensi religius, dan spritual. Sehingga, aspek dari suatu sumberdaya spritulitas, yang mengarah pada suatu etika, tindakan, dan perbuatan, dalam implementasi keberagamaannya, yang merugikan, (baik, formil, atau materil) adalah suatu bentuk dari deviasi, atau penyimpangan dari suatu pemahaman etika spritualitas tertentu, yang bisa saja karena tidak menyentuh dasar dari subtansi suatu nilai ajaran dari suatu ajaran agama tersebut. Dengan, demikian dapat dikatakan bahwasannya, agama pada dasarnya suatu fitrah yang sakral, bagi manusia, dan menjadi sesuatu yang dangkal atau juga profane, atau sebaliknya, dalam menjalankannya, adalah karena kapasitas kemanusiaannya, dalam memahami nilai, ajaran tersebut. Yakni, bertolak belakang, dari bentuk-bentuk kesadaran, nilai tersebut, sebagai bentuk dari kecondongan dan kecenderungan prilaku tertentu, tentu saja, demikian. Dimana, agama ditujukan, bagi ummat manusia, atau sebagai bagian dari kehidupan ummat manusia sebagai objeknya dari perintah, larangan, dan kewajiban,.di dalam beragama, yang tentunya, tidaklah terlepas, dari kebutuhan manusia itu sendiri dalam menata sumberdaya spiritualitasnya, sebab agama diperuntukan bagi manusia, secara menyeluruh dan universal. Untuk, dapat saling memberi tuntunan bagi manusia lainnya, dalam menjalankan kehidupan di dunia. Dalam, bentuk suatu sikap, perbuatan, dan prilaku yang bertanggung jawab, bagi seluruh aspek kehidupan yang terlibat di dalam semesta alam raya ini. Yang tentunya mengherankan, bagi saya, jika kemudian, suatu konteks dari suatu sumberdaya prilaku manusia, disikapi sebagai suatu pokok dalam dimensi spiritual, dalam, asas-asas keberagamaan, dalam ajaran agama tertentu, sebagai tolak ukur dari indikator penyelesaian, masalahnya, yang lebih memungkin sebagai suatu tindakan deviasi, atau dengan kata lain penyimpangan, dalam kapasitas ajaran agama tertentu, yang ada di Indonesia. Dan, juga lebih kurang adalah suatu bentuk manipulasi dan rekayasa, suatu kelompok terhadap agama, atau ajaran agama tertentu, yang lebih tepatnya, menggunakan dalil-dalil agama sebagai komoditi, dan legitimasi terhadap perbuatan yang dilakukannya di ranah kehidupan sosiologis bersama kita semua, sebagai gejala patologi sosial dari masyarakat, atau kelompok agama tertentu. Yang menyokong, provokasi dan kontroversi, teror, dan dan ketidak nyamanan, bagi ummat beragama itu sendiri, atau ummat beragama lain, yang tengah, menjalankan keyakinannya.

Bandar Lampung, 25 Juli 2023.

A.W. Al-faiz.

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun