Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedudukan Perkara Alzaytun dalam Ruang Publik dan Undang-Undang Penistaan Agama

30 Juli 2023   13:33 Diperbarui: 30 Juli 2023   13:38 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kbbi.web.id/nista.html

Sementara, keberadaan tata kata yang paling mendekati, yang tertulis di dalam KBBI, ialah, kata penista, sebagai bentuk kata kerja, atau verb, yang berarti orang yang menista (kan); sebagaimana contoh gambar berikut. 

Lihat, KBBI.

https://kbbi.web.id/nista.html
https://kbbi.web.id/nista.html

Secara, aspek logis di dalam logika akal sehat, saya sendiri tidak dapat membayangkan, jika saja kemudian delik tersebut sebagai, suatu yang ditujukan kepada struktur perbuatan atau prilaku pelanggaran terhadap suatu kebijakan, dan undang-undang dalam hukum di dalam asas, tertentu. Yang sebagaimana, di atas mengarah dan di arahkan kepada suatu objek benda, secara materil, yakni agama, sementara keyakinan beragama, ialah suatu subtansi nilai yang imperatif sifatnya. Yang dapat, dikatakan bukanlah sebagai "berhala" dalam bentuk-bentuk nalar, berupa, patung-patung, atau monumental monument, tertentu, yang bisa juga diartikan, bahwa, agama merupakan suatu bentuk kesadaran terhadap nilai, yang terimplementasi dalam tindakan, perbuatan, dan prilaku, yang mengimani, dan meyakini keberadaan suatu agama tersebut, sebagai nilai yang bersifat dan bertendensi religius, dan spritual. Sehingga, aspek dari suatu sumberdaya spritulitas, yang mengarah pada suatu etika, tindakan, dan perbuatan, dalam implementasi keberagamaannya, yang merugikan, (baik, formil, atau materil) adalah suatu bentuk dari deviasi, atau penyimpangan dari suatu pemahaman etika spritualitas tertentu, yang bisa saja karena tidak menyentuh dasar dari subtansi suatu nilai ajaran dari suatu ajaran agama tersebut. Dengan, demikian dapat dikatakan bahwasannya, agama pada dasarnya suatu fitrah yang sakral, bagi manusia, dan menjadi sesuatu yang dangkal atau juga profane, atau sebaliknya, dalam menjalankannya, adalah karena kapasitas kemanusiaannya, dalam memahami nilai, ajaran tersebut. Yakni, bertolak belakang, dari bentuk-bentuk kesadaran, nilai tersebut, sebagai bentuk dari kecondongan dan kecenderungan prilaku tertentu, tentu saja, demikian. Dimana, agama ditujukan, bagi ummat manusia, atau sebagai bagian dari kehidupan ummat manusia sebagai objeknya dari perintah, larangan, dan kewajiban,.di dalam beragama, yang tentunya, tidaklah terlepas, dari kebutuhan manusia itu sendiri dalam menata sumberdaya spiritualitasnya, sebab agama diperuntukan bagi manusia, secara menyeluruh dan universal. Untuk, dapat saling memberi tuntunan bagi manusia lainnya, dalam menjalankan kehidupan di dunia. Dalam, bentuk suatu sikap, perbuatan, dan prilaku yang bertanggung jawab, bagi seluruh aspek kehidupan yang terlibat di dalam semesta alam raya ini. Yang tentunya mengherankan, bagi saya, jika kemudian, suatu konteks dari suatu sumberdaya prilaku manusia, disikapi sebagai suatu pokok dalam dimensi spiritual, dalam, asas-asas keberagamaan, dalam ajaran agama tertentu, sebagai tolak ukur dari indikator penyelesaian, masalahnya, yang lebih memungkin sebagai suatu tindakan deviasi, atau dengan kata lain penyimpangan, dalam kapasitas ajaran agama tertentu, yang ada di Indonesia. Dan, juga lebih kurang adalah suatu bentuk manipulasi dan rekayasa, suatu kelompok terhadap agama, atau ajaran agama tertentu, yang lebih tepatnya, menggunakan dalil-dalil agama sebagai komoditi, dan legitimasi terhadap perbuatan yang dilakukannya di ranah kehidupan sosiologis bersama kita semua, sebagai gejala patologi sosial dari masyarakat, atau kelompok agama tertentu. Yang menyokong, provokasi dan kontroversi, teror, dan dan ketidak nyamanan, bagi ummat beragama itu sendiri, atau ummat beragama lain, yang tengah, menjalankan keyakinannya.

Bandar Lampung, 25 Juli 2023.

A.W. Al-faiz.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun